BAHAYA! Putri Mantan Presiden Sebut Sebagian, Ekonom Ini Sebut yang Demo Pendukung Jokowi Semua
TRIBUN-TIMUR.COM - Tanggal 24 September 2019 lalu, Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko bertemu 13 tokoh Gerakan Suluh Kebangsaan.
Pertemuan digelar untuk menyikapi situasi terakhir dimana terjadi unjuk rasa di sejumlah kota di Indonesia menolak RKUHP dan mendesak pencabutan UU KPK yang baru direvisi.
Benarkah Karena Ingin Nyapres 2024? Puan Maharani Putri Megawati Milih Ketua DPR Ketimbang Menteri
Mereka Tak Terpilih Lagi di DPR Jubir TKN Jokowi hingga Lawan Debat Dhandy Budiman & Ponakan Prabowo
Dialog sambil makan malam itu berlangsung hampir 3 jam pada Selasa (24/9/2019) malam, di kediaman Moeldoko, Jakarta Pusat.
“Pemerintah berupaya mendengar dan mencari masukan dari para tokoh yang hadir,” kata Moeldoko dalam siaran pers resmi Kantor Staf Kepresidenan.
Para tokoh suluh kebangsaan yang hadir yakni Mahfud MD, Franz Magnis Suseno, Sarwono Kusumaatmadja, Helmy Faishal, Ahmad Suaedy, Alissa Wahid, A Budi Kuncoro, Syafi Ali, Malik Madany, Romo Benny Susetyo, Rikad Bagun, Alhilal Hamdi dan Siti Ruhaini.
Mahfud MD dalam kesempatan itu menyampaikan bahwa akan lebih bijak jika pemerintah dan mahasiswa menempuh jalur hukum daripada aksi jalanan.
Puteri Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid, Alissa Wahid, meminta Presiden lebih peka terhadap masukan dari pengunjuk rasa.
"Mereka yang berunjukrasa sebagian adalah pendukung Jokowi. Presiden harus lebih peka terhadap kritik yang disampaikan," kata Alissa Wahid.
Moeldoko pun memastikan bahwa Presiden selalu mendengar masukan dari masyarakat, termasuk dari tokoh suluh kebangsaan.
Ia mengaku sudah menyampaikan masukan para tokoh itu kepada Presiden.
Presiden Jokowi pun berkeinginan untuk bertemu langsung dengan para tokoh suluh kebangsaan.
"'Oke, nanti kita ketemu, Pak Moeldoko siapkan untuk kita bertemu para tokoh-tokoh semuanya yang lebih besar untuk bisa dialog sambil enaklah begitu,' nanti kita siapkan," kata Moeldoko menirukan pernyataan Jokowi.
Adapun soal tuntutan mahasiswa pengunjuk rasa, Moeldoko menyebut Presiden juga sudah menindaklanjutinya dengan menunda pengesahan RUU KUHP dan RUU Pemasyarakatan.
Namun untuk revisi UU KPK, Moeldoko meminta masyarakat yang menolak menggugat langsung UU tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Sebab revisi UU KPK sudah terlanjur disahkan menjadi UU oleh DPR dan pemerintah.
Ia memastikan Presiden tak akan memenuhi tuntutan demonstran untuk mencabut UU KPK lewat peraturan pemerintah pengganti undang-undang. "
Kan ada mekanisme yang lain. Bisa di-judicial review (ke MK)," kata mantan Panglima TNI ini.
Sementara secara terpisah dikutip dari Warkota, EKONOM Senior Indef Faisal Basri mengatakan, peserta aksi unjuk rasa dua pekan belakangan berasal dari pemilih Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kecewa.
Ia menyampaikan, pendukung Jokowi yang kecewa tersebut tidak memiliki kepentingan untuk menggulingkan pemerintahan.
"Itu pendukung Jokowi semua, mereka tidak punya kepentingan."
"Mereka sayang sama Jokowi dan ingin tanggung jawab dengan mengawal terus, tidak sekadar mendukung, kemudian diam," ujarnya di kantor Indef, Jakarta, Senin (30/9/2019).
Faisal Basri pun mengaku tidak menyangka demonstran sekarang berbanding terbalik dari 1998 silam, yang mayoritas bukan pendukung presiden terpilih.
"Tidak sangka ini berbeda dengan gerakan mahasiswa 1998 yang konsolidasinya panjang," katanya.
Menurutnya, demonstrasi yang dilakukan sekarang bisa dikatakan berlangsung seketika, karena mereka sudah pada level merasa terancam masa depannya.
"Anak muda ini punya keresahan yang berbeda. Mereka kumpul semua dan Pak Jokowi juga merenung," tuturnya.
Sehingga, ia menambahkan, demonstrasi mahasiswa itu diharapkan membantu Jokowi keluar dari cengkeraman pembisik di sekitar Istana.
"Itu jadi masukkan mahasiswa dan Jokowi akan introspeksi, keluar dari cengkeraman oligarki."
"Pilihannya dia mau di ketiak oligarki atau tidak?" Tanya Faisal Basri.
Pengaruhi Pertumbuhan Ekonomi
Faisal Basri menilai maraknya aksi demonstrasi pada September ini mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal III 2019.
Faisal Basri memprediksi pertumbuhan ekonomi mentok di level 5,1% yang mayoritas didorong sentimen domestik, satu di antaranya adalah demonstrasi.
"Pertumbuhan ekonomi kuartal III di kisaran 4,9 persen hingga 5,1 persen," ucapnya.
Menurutnya, pertumbuhan ekonomi Indonesia tidak banyak kena pengaruh dari ancaman resesi di beberapa negara akibat perang dagang.
Ancaman resesi global ke Indonesia tersebut dinilai kecil, karena porsi ekspor tidak lebih 100 persen dari produk domestik bruto (PDB).
"Di Singapura itu ekspor 270 persen terhadap PDB, sehingga dampaknya besar jika ada resesi."
"Sedangkan ekspor Indonesia cuma 20 persen, sehingga efeknya cuma 0,7 persen hingga 0,7 persen," ulasnya.
Pertumbuhan ekonomi nasional secara tahunan, Faisal Basri memperkirakan tidak lebih dari 5,4 persen.
"Pertumbuhan ekonomi tahun ini paling rendah 5 persen dan paling tinggi 5,4 persen," cetusnya.
Faisal Basri juga menanggapi pernyataan terkait Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disebut menghambat investasi.
Ia justru mengungkapkan hal sebaliknya, yakni keberadaan KPK justru membuat skor indeks persepsi korupsi di Indonesia membaik.
"Indeks persepsi korupsi membaik, sekarang skornya 38. Masih jauh dari 100, tapi membaik," paparnya.
Selain itu, Faisal Basri menyampaikan, Indonesia dari sisi peringkat negara juga membaik hingga sekarang menduduki peringkat ke-89.
Menurutnya, semua peningkatan tersebut karena adanya KPK yang suka menangkap para koruptor.
Sehingga, investor asing percaya dengan hukum di Indonesia.
"Siapa saja dihukum. Mulai dari menteri hingga bupati," katanya.
Ada pun Indonesia dari sisi kemudahan berbisnis juga naik dari peringkat 114 ke 73, yang membuat investor tertarik, bukan justru lari ke negara lain.
"Moeldoko bilang KPK hambat investasi dan Rosan juga."
"Ini mereka sebagai wakil ketua tim pemenangan dan pihak Istana," ujar Faisal.
Tanggapan PP Muhammadiyah
Pimpinan Pusat Muhammadiyah menghargai aksi mahasiswa Indonesia yang memperjuangkan aspirasi rakyat terkait Undang-Undang KPK dan sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang kontroversial.
PP Muhammadiyah meminta pejabat negara dan elite bangsa untuk tidak melontarkan opini-opini atau pendapat yang dapat memanaskan suasana.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir menghargai aksi mahasiswa Indonesia yang secara murni memperjuangkan aspirasi rakyat berkaitan dengan Undang-Undang KPK hasil revisi dan sejumlah RUU yang kontroversial.
Beberapa di antaranya RUU KUHP, RUU Pertanahan, dan RUU Minerba.
Haedar Nashir menyebut aksi mahasiswa sebagai wujud panggilan nurani kecendekiaan selaku insan kampus.
"Karena itu aksi tersebut harus betul-betul dijaga agar tetap pada tujuan semula dan berjalan dengan damai, tertib, taat aturan, dan tidak menjadi anarki," ujar Haedar Nashir dalam keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Rabu (25/9/2019).
Haedar Nashir berpesan agar polisi menegakkan hukum dan ketertiban dengan benar, adil, obyektif, dan moral yang tinggi.
Selain itu, Haedar Nashir meminta aparat keamanan menjalankan tugas tanpa melakukan tindakan-tindakan represif atau kekerasan dalam bentuk apa pun.
Haedar Nashir berharap polisi bisa semakin menciptakan suasana kondusif.
"Hormati tempat ibadah dan ruang publik agar tetap terjaga dengan baik," ucap Haedar Nashir.
Haedar Nashir menilai, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah menunjukkan langkah yang tepat dengan menunda pembahasan RUU yang kontroversial.
"Hendaknya penundaan sejumlah RUU bukanlah sekadar prosesnya, tetapi harus menyangkut perubahan substansi atau isi agar benar-benar sejalan dengan aspirasi terbesar masyarakat serta mempertimbangkan kepentingan utama bangsa dan negara," kata Haedar Nashir.
Menurut Haedar, pengalaman revisi UU KPK menjadi pelajaran berharga bagi DPR di mana DPR harus benar-benar menyerap aspirasi masyarakat.
"Tidak menunjukkan keangkuhan kuasa yang pada akhirnya menimbulkan ketidakpuasan dan ketidakpercayaan publik," kata Haedar Nashir.
Menurut Haedar Nashir, demo mahasiswa yang murni dan situasi kehidupan bangsa yang memanas hendaknya tidak dipolitisasi atau diperkeruh yang menyebabkan keadaan semakin tidak kondusif.
Haedar Nashir mengatakan, media sosial hendaknya tidak dijadikan sarana menyebarkan hoaks dan segala bentuk provokasi yang dapat merugikan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
"Bangsa ini memiliki banyak masalah dan tantangan yang tidak ringan. Karenanya diperlukan persatuan, kebersamaan, suasana aman dan damai, modal rohani dan akal budi, serta keseksamaan semua pihak dalam berbangsa dan bernegara," kata Haedar Nashir.(*)