TRIBUNMAMASA.COM, MAMASA - Di Kabupaten Mamasa, Sulawesi Barat, terdapat 27 desa di sembilan kecamatan mengalami stunting.
Dari 27 desa tersebut, satu diantaranya prevalensi stunting hingga 97 persen.
Satu diantaranya yakni Desa Rantebulahan, Kecamatan Mambi.
Jumlah anak stunting di Desa tersebut yang mengalami stunting, dengan pendek dan sangat pendek mencapai 37 orang.
Sementara dari jumlah desa lainnya yang memgalami stunting, prevalensinya di atas 50 persen hingga 90 persen.
Secara keseluruhan prevalensi stunting di Mamasa mencapai 41 persen.
Hal ini berdasarkan data Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa tahun 2018-2019.
Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Mamasa, Hajai S Tanga menjelaskan, pada umumnya anak yang mengalami stunting di Mamasa disebabkan kekurangan asupan gizi.
Baik masih dalam kandungan, saat menyusui, hingga usia dua tahun.
Ia menjelakan, ada tiga penyebab langsung dari stunting tersebut, yaitu rendahnya asupan gizi, pola asuh anak, dan penyakit yang diderita.
"Ini yang merupakan penyebab langsung yang spesifik," ungakap Hajai Selasa (23/7/2019 siang tadi.
Sementara penyebab sensitif kata dia adalah minimnya sumber air bersih dan sanitasi yang baik.
Sekaitan dengan asupan gizi, Hajai mengatakan, pihaknya telah melakukan Intervensi.
Mislnya, pemeberian Tablet Tambah Darah (TTD), imunisasi, pemberian makanan tambaham bagi ibu hamil dan bayi.
Namun persoalannya lanjut dia adalah, hanya cakupan pemberian, tetapi penggunanya belum tentu efektif.
"Misalnya, apakah TTD yang diberikan itu, benar-benar diminum atau tidak," terangnya.
Sekaitan dengan penanganan stunting ini, pemerintah telah menetapkan lokus terhadap 27 desa di Kabupaten Mamasa.
Dengan prevalensi 41 persen, Guru Besar Unhas, Prof Dr dr Abdul Razak Thaha MSc SpGK sekligus mewakili Kementerian Kesehatan menegaskan stunting dengan angka 41 persen menjadi ancaman bagi generasi Kabupaten Mamasa.
Hal itu dikatakan Prof Abdul Razak saat menghadiri rembuk aksi percepatan penurunan stunting di Mamsa, sebagai pemateri, di Aula Dinas Pendidikan Kabupaten Mamasa siang tadi.
Menurut dia, ancaman yang ditimbulkan dari stunting itu, yakni anak yang menderita stunting, cenderung memiliki intelligence quotient (IQ) yang lebih rendah, sering sakit dan kondisi fisik lemah.
Selain itu, dampak yang ditimbulkan oleh anak penderita stunting, cenderung menjadi kriminal akibat putus sekolah.
Dengan demikian menurut Prof Abdul Razak, penanganan stunting semestinya ada komitmen dari unsur pimpinan daerah untuk mengintervensi stunting tersebut.
Jika komitmen tersebut berjalan tutur dia, maka yang sebaiknya dilakukan adalah pimpinan daerah mengkoordinasikan program penanganan stunting ke desa-desa.
"Itu baru tingkat perencanaan, yang berikut adalah, Bappeda harus punya aplikasi yang menjamin bahwa perencanaan itu sudah dilaksanakan," tuturnya.
Selanjutnya menurut dia adalah pengalokasian penanganan stunting.
"Jangam hanya direncanakan, tetapi dialokasiakan," lanjutnya.
Hal itu menurutnya masih tanggung jawab pimpinn di kabupaten.
Lebih jauh dijelaskan, untuk penanganan stunting, semestinya ada tanggung jawab tingkat kecamatan.
"Kecamatan ini memastikan aoakah asupan gizi yang dialokasikan sampai di desa atau keluarga yang membutuhkan," jelasnya.
"Itu harus diyakinkan oleh tingkat kecamatan, yang disebut Pokja, sesuai konfirmasi kepala desa," tambahnya.
Laporan wartawan @rexta_sammy