Isdar Yusuf SH, MH
(pengamat hukum penerbangan sipil)
POLEMIK harga tiket pesawat domestik mulai bergeser.
Dari isu jasa layanan maskapai, bagasi, naiknya komponen Passenger Service Charge (PSC) di bandara ke isu harga avtur, bahan bakar pesawat yang dimonopoli BUMN, Pertamina.
Awal pekan lalu, setelah mendengar curhat pelaku usaha perhotelan, PHRI di Jakarta, Presiden Joko Widodo pun mengingatkan menteri ESDM, BUMN, Menkeu dan Menhub untuk serentak meninjau ulang sejumlah regulasi yang dinilai jadi penghambat penurunan harga tiket ke ambang kompetitif yang berpihak ke konsumen.
Lantas mengapa harga tiket tak kunjung turun?
Dua kelompok maskapai domestik; Garuda Group (Garuda, CitiLink dan Sriwijaya Air, NAMair) dan Lion Group (Lion Air, Batik Air dan WingsAir) beralasan harga tiket tiga bulan terakhir masih diambang normal. Low season di akhir dan awal tahun, memicu turunnya minat mobilitas udara publik, dan membuat maskapai menyesuaikan harga jual tiket.
Jika avtur jadi alasan tinggi harga jual tiket di paruh akhir 2018 dan awal 2019 ini juga meragukan.
Setidaknya ada tiga alasan; Pertama; harga fuel 10 tahun lalu di Era pemerintahan SBY, harga avtur
jauh lebih mahal, namun harga tiket tetap murah, dan bandara ramai, dan industri wisata di daerah booming.
Alasan kedua, layanan penumpang di bandara juga kini sudah serba digital, modern dan efisien dari sisi biaya. Loket check ini yang dulu banyak menggunakan tenaga manusia, perlahan digantikan mesin check in mandiri.
Alasan ketiga; satu dekade terakhir Teknologi fuel consumption unit pesawat terkeini lebih irit, safety, dan unitnya lebih banyak ketimbang satu dekade lalu.
Berangkat dari harga minyak dunia (Brent oil) sekarang ini masih di kisaran60 USD perbarrel, atau oleh pengusaha minyak malah cenderung turun. Harga minyak dunia pernah bertengger di harga 100 USD di pemerintahaan SBY (2005-2015).
Secara automatis pengaruh harga avtur setidaknya sangat dipengaruhi harga minyak dunia.
Apa kaitannya dgn harga tiket MAHAL..?
Maskapai menyebutkan avtur menjadi varian penyumbang terbesar biaya operasional. Garuda Indonesia mengakui komponen tersebut menyumbang 38-48 % terhadap seluruh beban biaya operasional Garuda Group.
Tapi, Kementerian Perhubungan tidak melihat begitu. Melalui Dirjen Perhubungan Udara Kemenhub Polana Banguningsih Pramesti justru berdalih, biaya Avtur hanya berkontribusi 24% terhadap biaya operasional maskapai.
Hal serupa juga disampaikan International Air Transport Association (IATA). Data Asosiasi Angkutan Udara Internasional itu mengungkapkan, porsi harga avtur hanya sekitar 24% dari biaya operasional penerbangan.
Lalu siapa yang mesti jadi kambing hitam?
Sejatinya bukan hanya avtur pemicu naiknya harga jual tiket.
Fluktuasi nilai tukar dolar atas rupiah juga berefek langsung.
Masih banyak komponen lainnya; diantaranya: sewa pesawat ang membengkak karena rupiah terpuruk dan dollar semakin naik, biaya sewa tempat di bandara, biaya landing fee, parking Fee, Ron fee untuk pesawat nginap, dan biaya pemeliharaan pesawat.
Tentunya kesemua mnya dibayar dengan kurs dollar, sementara rupiah semakin terpuruk dan daya beli masyarakat semakin rendah.
Masih ada beberapa komponen biaya yg mesti dibayar oleh Operator Airline untuk membuat pesawat nya bisa tetap eksis, biaya percakapan di udara (FIR:Flight information Region) dan biaya surcharge avtur atau biaya pengantaran pertamina ke Tangki pesawat.
Ironis memang kenapa sekarang TIKET JADI MAHAL...?
Padahal beberapa komponen di atas pernah dilalui pemerintah 10 tahun lalu dengan Harga minyak dunia kisaran 100 USD PERBARREL, tapi harga tiket saat itu untuk rute Ujungpandang (Makassar) ke Cengkareng (Jakarta) pernah di kisaran Rp 600 ribuan.
Pascapolemik harga tiket dua bulan terakhir ini, ada upaya sistemik dari pengambil kebijakan, dalam hal ini pemerintah untuk mengintervensi pasar jasa industri penerbangan.
Setelah "teguran" Jokowi di acara Rakernas Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) di Sahid Hotel, menteri dan pejabat eselon teknisnya bersuara.
Menteri ESDM, mengumumkan kembali Keputusan kementerian ESDM No 17/K/10/MEM/2019 tentang formula penghitungan harga dasar bahan bakar avtur.
Formula baru ini dianggap bisa menekan harga tiket ke kevel kompetitif dan meringankan konsumen.
Menteri Keuangan Sri Mulyani juga berjanji akan meninjau ulang pajak avtur. Menteri BUMN dan Menhub juga berjanji akan meminta angkasa pura, untuk meninjau ulang sejumlah regulasi penerbangan dan layanan di bandara, yang dinilai memberatkan maskapai.
Setelah sengkarut polemik harga avtur, akhirnya Menteri Keuangan Sri Mulyani mengatakan pihaknya akan melakukan perbandingan tarif PPN avtur di Indonesia dengan negara lain terlebih dahulu. Sebab, selama ini, harga avtur di dalam negeri dikenai Pajak Pertambahan Nilai (PPN) oleh negara.
Menurut Sri Mulyani, langkah otoritas fiskal demi menciptakan kesetaraan atau level of playing field dengan negara lain. Penyetaraan PPN avtur agar tak ada lagi kompetisi yang tak sehat antara Indonesia dengan negara lainnya.
Komponen Harga Tiket
1. BASIC FARE (harga dasar): Ini ditentukan maskapai. Kira-kira bisa mencapai 60%. ini sudah termasuk harga avtur.
Jika jenis full services seperti Garuda ini mencakup biaya makan, minum, dan bagasi, Batik Air berbeda low cost air line ini tanpa makan, dan biaya bagasi. Besaran tarif tergantung maskapai. Komponen terbesar di sini adalah harga avtur, yang fluktuatif.
2. ASURANSI; Di tiket pesawat disingkat IWJR (Iuran Wajib Jasa Raharja). Besar premi Rp5000, jika kecelakaan penumpang min. Rp.50 juta
3. Government Tax (Pajak Pemerintah) dengan kisaran 10% dari harga dasar (basic fare) tiket pesawat.
4.Airport Tax (Pajak Bandara) atau Passenger Service Charge (PSC) ; Sebelumnya ini dibayar terpisah dan tak tercantum di tiket. Sejak Maret 2015, permenhub dimasukkan langsung di tiket.Ini biaya handling dan pemanfatan jasa bandara. Besarannya yang dibebankan bisa hingga 10 % - 15 %.
5. AIRNav Charge: Biaya yang dikenakan jasa lalu lintas udara. Ini dikenakan ke maskapai. Komponennya lima; Lalu Lintas Udara (PLLU), Telekomunikasi dan informasi Aeronautika (PIA), Informasi Meteorologi Penerbangan (MET) dan SAR. Jasa ini digunakan penerbangan domestik dan intrnasional.
Sebelum 17/1/ 2013 layanan ini dibawah otoritas Angkasa Pura (AP). Kini 26 bandara domestik dibawah AP I dan AP II pakai jasa ini.