Opini

KLAKSON Abdul Karim: Kampanye

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Karim

Oleh: Abdul Karim
Mantan Direktur LAPAR Makassar

SUDAH lebih sebulan musim kampanye berlangsung. Suasana di luar biasa-biasa saja.

Foto, gambar, atau baliho para caleg, calon DPD, bahkan calon presiden/wakil presiden tak seramai pemilu-pemilu lalu. Kini semua itu lenyap. Siapa yang kecewa?

Nasruddin, karyawan sebuah usaha percetakan di kota ini, mengeluh plus heran. “Pemilu ini sepi orderan. Beda pemilu lalu,” katanya.

Padahal, jauh-jauh hari, Nasruddin sudah bersiap sedia terima bonus. Sebab dengan bonus itu, cicilan motornya selama dua bulan bisa teratasi.

Dg Alle, pria senja penarik bentor di kota ini, juga merasakan sepi rezeki kampanye pemilu kali ini. Tadinya ia berharap dapat rezeki dadakan dalam kampanye.

Baca: OPINI - BEM Unhas dan Titik Balik Pengkaderan Mahasiswa

“Pada kampanye pemilu lalu, banyak baju kaos caleg saya dapat. Pembeli bensin juga lumayan,” akunya.

Politik tak pernah letih. Tetapi kampanye sepi rezeki bagi Nasruddin, Dg Alle, dan kaum lain yang seringkali terpercik oleh hingar bingar kampanye politik pada masa lampau.

Tetapi dengan itu, kita segera paham bahwa pada masa lalu, kampanye bukanlah ruang mempertaruhkan gagasan politik.

Ia malah berubah menjadi ruang bersemai bagi kapitalisme. Sebab disana, ada pertukaran keringat dengan selembar baju kaos.

Ada aksi transaksi yang membarter peluh dengan pembeli seliter bensin plus sebungkus rokok.

Kampanye politik pada masa lampau tak ubahnya bazar akbar dengan kupon gratis yang terbagi. Di atas, politik dikelola dengan transaksi berkedok koalisi.

Di lapis bawah politik pun dikelola dengan transaksi di ruang kampanye, dengan selembar kaos tipis, dengan seliter bensin ditangki motor.

Ditengah terik, orang-orang berkerumun tanpa tujuan pasti selain membagi dan dibagikan kaos dan pembeli bensin.

Baca: OPINI - Dana Kelurahan di Tahun Politik

Politik pada masa itu sebenarnya mempertontonkan kekuatan harta benda, bukan memperlihatkan gagasan politik. Tidak menawarkan visi perubahan.

Untuk bisa meraih kursi parlamen, seorang politisi mesti melakukannya. Mesti rajin membagi baju kaos, mesti aktif mengisi bensin motor bentor.

Di sini, kursi parlamen berpeluang bagi kaum yang ber-uang. Sementara politisi yang tak berduit harus ikhlas menjadi aksesoris kertas suara belaka.

Tetapi di balik itu, ada keserakahan yang menyusup yang tak tampak saat kampanye. Wujudnya terlihat saat kursi berhasil diduduki.

Segala biaya politik yang keluar mesti kembali. Prinsipnya, yang pergi harus kembali dengan lebih. Di sinilah, keserakahan beroperasi.

Politik kita tak pernah benar-benar ampuh menghentikan keserakahan.

Kita tahu, keserakahan tak pernah menyelamatkan demokrasi. Ia justeru mala bagi demokrasi.

Jika bukan karena keserakahan itu, apa yang membuat Nasruddin terjepit hidupnya? Apa yang membuat Dg Alle tercekik hidupnya? (*)

CATATAN: Tulisan di atas telah terbit di kolom Klakson halaman Opini Tribun Timur edisi cetak Rabu 31 Oktober 2018

Berita Terkini