BI Rate Naik, Apindo: Pengusaha Dukung Kebijakan BI, Asal?

Penulis: Muhammad Fadhly Ali
Editor: Hasriyani Latif
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

ilustrasi BI-Rate

Laporan Wartawan Tribun Timur, Muhammad Fadhly Ali

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) pada 28-29 Juni 2018 memutuskan menaikkan BI 7-day Reverse Repo Rate sebesar 50 basis poin (bps) menjadi 5,25 persen, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 4,50 persen, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 6,00 persen, berlaku efektif, Jumat (29/7/2018).

Direktur Eksekutif Departement Komunikasi BI, Agusman menuturkan, keputusan kenaikan suku bunga tersebut merupakan langkah lanjutan BI untuk menjaga daya saing pasar keuangan domestik terhadap perubahan kebijakan moneter sejumlah negara.

"Kebijakan tersebut tetap ditopang dengan kebijakan intervensi ganda di pasar valas dan di pasar SBN (Surat Berharga Negara) serta strategi operasi moneter untuk menjaga kecukupan likuiditas khususnya di pasar uang Rupiah dan pasar swap antarbank," katanya.

BI meyakini, sejumlah kebijakan yang ditempuh tersebut dapat memperkuat stabilitas ekonomi khususnya stabilitas nilai tukar Rupiah.

Baca: GenBI Festival 2018 Hadirkan Lomba Untuk Semua Kalangan di Rotterdam

Baca: Buat Warga Makassar, Kini Pesan Bosowa Taksi Bisa Lewat Aplikasi Grab

Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Badan Pengurus Provinsi (DPP) Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Sulsel, Yusran IB Herald menuturkan, langkah BI untuk mengamankan Rupiah perlu didukung.

"Sayangnya tindakan ini berdampak besar kepada pengusaha. Pengusaha boleh saja memberi dukungan tapi pemerintah juga perlu memperhatihan hal yang mendukung kegiatan dunia usaha seperti pungutan dan regulasi yang tidak memberatkan dunia usaha," katanya.

"Karena kenaikan ini tentu memberi beban tetapi di lain sisi ada biaya yang harus dikeluarkan pengusaha yang tidak sedikit jumlahnya," lanjut Yusran.

Ia mencontohkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) Makassar yang belum turun, membuat harga perolehan tanah masih sangat tinggi. Waktu perizinan di beberapa daerah yang masih tergolong ribet, sudah lama biayanya tidak terukur.

"Seperti pembuatan sumur bor untuk sebuah kawasan industri harus mendapat izin ESDM, pengurusan limbah, belum lagi penggunaan genset oleh industri dan pengenaan pajak kendaraan berat dalam area pabrik, yang seperti ini dalam sebuah industri tidak sedikit biayanya," tuturnya.

Belum lagi, masih besarnya biaya pengurusan perizinan untuk ekspor, lalu biaya transportasi ke negara tujuan masih besar, termasuk biaya pengiriman barang antar pulau yang masih sangat mahal.

"Semua ini perlu menjadi perhatian pemerintah. Sehingga biaya produksi bisa ditekan agar bisa bersaing dengan produk impor dari China," kata Yusran.(*)

Berita Terkini