Bom yang dipakai Abdurrahman saat itu memakai detonator jarak jauh.
Hati nurani Abdurrahman sebenarnya menolak beberapa doktrin yang diajarkan oleh pelarian teroris dari Singapura itu.
Seperti menganggap polisi dan TNI adalah ansharut thaghut atau pembela kafir.
Tapi Abdurrahman tidak punya pengetahuan yang cukup untuk menyanggahnya.
"Tapi saya untuk menolak polisi, TNI, dan penegak hukum (bahwa) tidak kafir, saya tidak punya ilmunya karena di sekeliling saya alirannya begitu," katanya.
Abdurrahman mengaku tidak mudah mengubah pola pikir orang yang sudah terpapar paham radikal.
Hingga akhirnya, Farid Junaedi yang merupakan Kepala Lapas (Kalapas) Merah Mata Palembang waktu itu mendekatinya. Saat itu, Abdurrahman menjalani masa tahanan di lapas tersebut.
"Pak Farid ini mendekati kami sehingga kami menganggap sebagai manusia yang dimanusiakan," katanya.
Baca: Ini 4 Wanita Cantik yang Mengisi Kisah Cinta Presiden Soekarno
Baca: Unjuk Rasa Warga Kale Komara Takalar Masih Akan Berlanjut, Ini Tuntutannya
Saat itu Farid yang sekarang menjadi Kepala Lapas Lowokwaru, Kota Malang, Jawa Timur, memintanya untuk diajari mengaji oleh Abdurrahman.
Melihat kesungguhan Farid untuk belajar mengaji membuat Abdurrahman trenyuh.
Kondisi itu lantas menjadi salah satu penyebab Abdurrahman melepas paham radikal yang dianutnya.
"Awalnya saya yang ngajari memang. Tapi saya belum pernah mengamalkan ngaji sehari satu jus (Al Quran). Dia bisa sehari satu jus. Saya gurunya kok tidak bisa. Beliau ini Kalapas kemudian ngajinya baik, shalatnya baik, tahajud pula," katanya.
Hubungan persahabatan dengan kalapas itu terus membaik dan Abdurrahman mendapatkan surat keputusan (SK) bebas bersyarat pada tahun 2015. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul Kisah Seorang Napi Teroris yang Gagal Ledakkan Bom karena Wanita Berjilbab