Oleh; Fajlurrahman Jurdi Dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin
Tidak ada kesuksesan yang ditempuh dengan cara menanti, melainkan kita harus menjemput dan beburu di hutan belantara zaman. Menanti sukses datang, berarti menunggu ketakpastian.
Orang-orang besar datang dalam gemuruh banjir ambisi, harapan, perjuangan dan kegagalan yang datang silih berganti. Tetapi ada satu ketetapan, bahwa bagi mereka yang tak pernah berhenti, mereka akan dipertemukan dengan cahaya masa depan.
Saya tenggelam bersama catatan hidup seorang Arsunan, ia mengalir seperti air, menempuh lekukan-lekukan waktu yang berputar laksana roda kendaraan yang melaju kencang.
Betul kata kak Alwi dalam pengantarnya, bahwa Chunank (begitu beliau disapa) merefleksikan Soe Hoe Gie. Ia tak kuliah dengan baik, meskipun akhirnya kelar dan menjadi seorang professor.
Bukan karena malas, juga bukan karena tak mampu menjangkau ide dasar akademisnya, tetapi karena organisasinya yang dominan, sehingga banyak waktunya yang tersita disana.
Sebagai mahluk pheriferal dari segi geografis, Arsunan justru menjadi sentral dalam pemikiran. Ia tampil sebagai intelektual organik sebagaimana ungkapan Gramsci, bergerak secara dinamis menembus batas-batas tabu ruang sosial.
Sebagai pemuda kampung, perjalanannya dari Sopeng ke Makassar meninggalkan jejak-jejak kemewahan berpikir sebagai manusia rasional.
Resensi Buku: Judul
Penulis Editor Halaman Penerbit Tahun terbit
: Prof. Dr. A. Arsunan Arsin: Mengalir Melintasi Zaman Menebar Ide dan Gagasan Tanpa Batas
: Prof. Dr. Arsunan Arsin : Anis Kurniawan
: I – xvi dan 1-282
: Penerbit P3i Press,
: Januari 2018
Dalam tubuh personalnya, Arsunan tampil sebagai cahaya gerakan sosial dan lentera pemikiran dekade 80an.
Sedangkan dalam commune, ia menjadi bagian dari anak muda yang “frutasi” memandang rezim yang mulai tak berpihak pada demokrasi dan kebebasan akademik.
Sikap kekuasaan yang “memplester” mulut mereka yang berbeda dengan kehendak rezim, membuat Arsunan gusar.
Pada situasi inilah ia “bertemu” dengan Gramsci dan menterjemahkan makna intelektual organik itu dalam sikap-sikap heroik aktivismenya.
Rumusan yang memadukan antara refleksi dan aksi dalam satu tubuh yang personal mencerminkan luasnya pemikiran dan memperlihatkan kedalaman intelektualitas Arsunan.
Arsunan yang reflektif tercermin pada kemampuannya membangun diskursus diruang publik dengan menulis diberbagai media massa (hlm.33) dan tulisan pertamanya dalam media kampus dengan judul yang agak menakutkan bagi rezim yang memuja kemapanan pada masa itu. Arsunan secara reflektif menghasut mahasiswa dengan kalimat berenergi, “Mahasiswa Sebagai Moral Force”.
Di zaman-zaman despotik, Arsunan seolah menggaruk tubuh kekuasaan yang tak gatal meskipun mengidap kanker yang merambah kebarbagai organ tubuh kekuasaan itu.
Ia tak menampik membaca buku-buku penting sebagai vitamin intelektualnya, seperti Catatan Seorang Demonstran (Soe Hok Gie); Pergolakan Pemikiran Islam (Ahmad Wahib); Keluar Dari Kemelut (E.F Schumacher); Elite dalam Perspektif Sejarah (Disunting oleh Sartono Kartodiharjo); Kecil Itu Indah (E.F Schumacher).
Karena begitu kuatnya Arsunan yang reflektif, maka saat ia berubah menjadi Arsunan yang aktif secara organik, kualitas keaktifannya menjadi potensial mengganggu kenyamanan kekuasaan.
Ia bisa menjadi pemicu bagi terbakarnya “rumah bordil” kekuasaan itu. Untuk memperkuat argumen ini, Arsunan justru terlibat dalam sebuah komunitas mahasiswa yang telah mengukir sejarah aktivisme, yakni Himpunan Mahasiswa Islam (HMI).
Di dalam commune ini, ia menjadi obor geakan sosial. Sekali lagi, ini adalah soal kemampuan mempertemukan refleksi dan aksi. Tak dapat dipungkiri, ia mengulang beberapa kali Soe Hok Gie dengan “Catatan Seorang Demonstran”nya yang memukau anak-anak muda, tidak saja di zaman itu, zaman yang sudah old, tetapi juga di zaman kini, zaman now. Gie begitu berenergi, sehingga bisa memacu mesin perlawanan bagi mereka yang berkenalan dengan pemikiran- pemikirannya.
Buku ini menunjukkan Arsunan yang “the other” bagi siklus zaman. Perjalanan personalnya menunjukan gejala “hijrah radikal” yang semula dari perspektif subaltern dalam arti harfiah berubah menjadi kekuatan dominan dalam konteks intelektual.
Gelar professor yang kini diraihnya adalah merupakan petunjuk untuk mengukur gerak dinamis Arsunan yang personal. Tak ada jabatan akademik lagi diatasnya, dan ini adalah puncak prestasi. Dulu ia adalah “petani” tembakau yang membayangkan dirinya akan menjadi guru, lalu karena tantenya beliau “tersesat” di kedokteran gigi. Bukankah itu membuatnya berbeda?
Buku ini juga menggambarkan Arsunan yang memiliki puncak kesadaran yang disebut oleh Paulo Freire sebagai “Crtitical Consciousness”.
Kesadaran itu pula yang membawanya hingga jauh ke pelosok Merauke untuk melakukan penyuluhan, tinggal dan menyatu bersama masyarakat disana. Seseorang yang memiliki kesadaran kritis dan mengambil jalan intelektual organik dalam perspektif Gramcian jelas tak akan berjarak dengan kenyataan-kenyataan yang dihadapi. Arsunan melebur dan bersatu bersama masyarakat.
Bagi saya, buku ini bukan sekedar autobiografi, tapi soal risalah intelektual seorang pemikir dan aktivis. Ini semacam provokasi energik bagi yang membaca, karena jika kita menikmati tiap halaman bacaannya, seolah-olah kita sedang terlibat dalam kisah hidup sang penulis.
Bagi yang benar-benar mengalami proses yang serupa, atau setidak-tidaknya bergerak dari “pheriferal” ke “sentral” atau dari posisi subaltern dalam makna harfiah bergeser ke posisi “dominan” dalam perspektif intelektual.
Arsunan bergaul di semua generasi dan menyapa setiap lapisan. Ia individu yang gampang melebur bersama setiap orang, sehingga persahabatannya sangat luas. Maka buku ini menjadi “monumen” pengetahuan yang akan abadi sebagai pengingat bagi kami yang generasi selanjutnya. Selamat kepada Prof. Dr. Arsunan Arsin. (*)