Klakson

Ambisi

Editor: Jumadi Mappanganro
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Abdul Karim

Oleh: Abdul Karim

Kita simak ambisi membuncah dimana-mana. Tumpah ruah dengan derasnya. Dan kitapun terpekur, lalu cemas.

Kita cemas sebab orang-orang dengan semangat bergairah berlomba mempertontonkan ambisinya.

Ambisi untuk kekuasaan dan ambisi untuk menyokong para pecinta kekuasaan. Seolah tak ada penghalangnya, tak ada pengendalinya.

Parade pun digelar disetiap sudut. Parade tentang bekal dan cara mewujudkan ambisi itu.

Parade itu berlangsung ditengah atau sudut-sudut kota yang padat, hingga ujung pelosok kampung yang sunyi.

Ada suara yang menggelegar. Ada gambar yang bertaburan dan seolah mencengkram, bahkan menghantui.

Kita seakan tersudut, dan seringkali bersungut-sungut dengan keadaan itu.

Tetapi kita tak mampu mengelak. Sebab ambisi itu datang menyergap setiap jelang pemilihan.

Kian dekat pemilihan, ambisi itu kian padat merebak. Tak ada celah untuk kita lari darinya, bahkan celah seluas lubang tikus sekalipun kita tak temukan.

Kita lalu berhamburan berperan mensukseskan ambisi para pecinta kekuasaan itu. Entah peran kecil, entah peran akbar.

Mula-mula kita dididik untuk fasih mengeja kata “perjuangan”, “demi rakyat”, “demi kesejahteraan” dan sejumlah kata yang menggetarkan jiwa.

Lalu kita dianjur kesana-kemari membujuk keluarga, merayu tetangga, kerabat, dan mengiming-iming sekampung.

Sementara para pecinta kekuasaan kesana-kemari mencari jalan lain untuk tiba dipuncak. Kadangkala jalan yang ditempuh jalur rute pintas dengan senyap.

Tak sudi melewati jalan berbelok-belok rimbun aturan. Di sini, “yang boleh” meleleh, “yang tak boleh” seolah absah, sebab laris diperagakan.

Ketentuan tak dipertuan. Yang diluar ketentuan jadi tindakan. Mengapa? Agar cepat tiba dipuncak sana, agar lekas beroleh perwujudan ambisi.

Menggelikan dan murung keadaan itu. Sebab kita seakan-akan dibawa untuk menyaksikan sebuah dunia dimana kebaikan dan kebenaran tak akan pernah terjadi.

Kita seolah disodorkan sebuah cakrawala luas membentang tentang ambisi yang tak memberi tempat bagi norma, etika, nilai, dan ketentuan yang sejak awal disepakati.

Sampai kapan? Mungkin sampai akhirnya kita tak berdaya, sampai saatnya kita musnah—seraya teriak: “kita hancur”.

Bahkan dengan ambisi itu kalimat-kalimat kitab suci tak lagi dipeduli. Tuhan telah kita buang sampai jauh lantaran ambisi yang membuncah.

Memang kita sering menyebut asma-Nya. Entah alhamdulillah, entah astagfirullah, entah subhanallah.

Tetapi sebutan itu tiada guna, sebab pada waktu lain kita memerintahkan atau melakukan tindakan buruk untuk mewujudkan ambisi kekuasaan itu dengan cara tak pantas.

Saat ambisi itu terwujud, kita teriak; “terimakasih Tuhan”. Kita lupa, Tuhan tak buta. (*)

Catatan: Tulisan ini telah dimuat di kolom Klakson Rubrik Opini, Tribun Timur edisi print Rabu 10 Januari 2018.

Berita Terkini