TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Hingga sore ini, Rabu (12/7/2017), sejumlah cendekiawan, akademisi, dan aktivis Makassar masih diskusi mengenai “genting tidaknya negara” ini sehingga Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah perlu mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) untuk membubarkan ormas radikal.
Mereka diskusi “genting” di Group WhatsApp SENTER-SENTER BELlA (SSB) sejak Selasa (11/7/2017) malam.
Diskusi para cendekiawan yang sebagian dikenal sebagai “Wali Wanua” itu dipicu pernyataan Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara Prof Yusril Ihza Mahendra menyoal rencana pemerintah Perpu yang mengubah UU Ormas.
Dalam pernyataan yang diposting Guru Besar Unhas Prof Dr Amran Razaq itu, Yusril mengatakan, tak ada alasan kegentingan memaksa yang memungkinkan presiden mengeluarkan Perpu.
“Situasi kegentingan apa yang ada dalam benak Presiden sehingga memandang perlu mengeluarkan Perpu? Apa karena keinginan membubarkan HTI,” ujar Yusril, Selasa malam (11/7/2017).
Postingan itu pertama kali ditanggapi Pendiri Wali Wanua, Taslim Arifin.
"Kriteria ‘kegentingan negara’ perlu dirumuskan agar tidak menimbulkan interpretasi yang ‘ambigu’. Genting, dapat berarti ancaman terhadap bubarnya negara, atau kerugian yang luar biasa besarnya kepada bangsa, pemilik negara, atau akan merusak tatanan pergaulan lintasbangsa, dan atau ancaman yang sangat serius terhadap kemanusiaan,” jelas Taslim.
Menurut ekonom Unhas itu, batasan ‘genting’ bukan hanya milik ahli tata-negara, melainkan berkaitan dengan keseluruhan ahli yang berkaitan dengan perlindungan terhadap hak hidup dan kemaslahatan bangsa serta keutuhan wilayah.
“Saya juga sempat mendengar sekilas berita radio di mobil yang sedang kami kendarai dalam perjalanan keluar kota, tentang pembubaran ormas tersebut. Saya tidak paham betul tentang apa yang dimaksud dengan ‘kegentingan yang memaksa’, karena sesungguhnya saya amat awam dalam hal itu,” timpal Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Prof Dr M Qasim Mathar.
Meskipun demikian, lanjut Prof Qasim, secara subyektif, sebagai warga negara, dia merasakan suasana kegentingan telah mengancam kehidupan kebangsaan kita sejak demo-demo yang dilaksanakan pada tiga bulan terakhir tahun 2016, hingga bulan-bulan awal tahun 2017 ini.
“Masa-masa tersebut telah melahirkan kekhawatiran (kecemasan) dalam iklim kemasyarakatan kita. Tegasnya, kita retak sebagai satu bangsa. Lalu, kita ributkan (diskusikan, seminarkan) soal kebhinnekaan, NKRI, Pancasila, dan soal mendasar lainnya. Pengadilan ditekan dan terkesan dipaksa menjatuhkan vonisnya dengan cara ‘mengepungnya’ dengan demo setiap hari-hari pengadilan bersidang,” jelas Prof Qasim.
Rentetan kejadian itu, terbaca, setidaknya dalam amatan Prof Qasim, semua kondisi itu seolah-olah bermaksud mengganti pemerintahan yang sekarang. Menurutnya, Islam, oleh yang bermaksud demikian, diusung sebagai panji dan ideologi perjuangan, sekalipun sesungguhnya umat Islam Indonesia telah pecah dalam hal tersebut.
“Belumkah hal itu boleh dinilai sebagai ‘kegentingan yang memaksa’ pemerintah mesti bersikap tegas? Dan, tampaknya, sejak pembekuan HTI dan wacana evaluasi ormas, suasana agak ‘reda’ dibanding sebelunya. Maafkan saya kalau telah keliru penilaian saya ini,” tulis Prof Qasim.
“Saya setuju penjelasan Bung Taslim tentang arti ‘kegentingan yang memaksa’. Sebab, tak kecil bahayanya jika ahli tata negara ikut berpolitik praktis!,” tulis Prof Qasim lagi.
Mantan Menteri Hukum dan HAM Andi Mattalatta yang juga anggoga Group SSB ikut komentar.
“Perpu adalah kewenangan Presiden untuk mengeluarkan suatu regulasi yang substansinya harus dalam bentuk UU (tidak boleh peraturan dibawahnya seperti PP atau Perpres). Namun tidak cukup waktu membahasnya secara normal dengan DPR yang mungkin memakan waktu lama, sementara substansi pengaturan itu dibutuhkan segera karena itu menurut saya istilah kegentingan yang memaksa ada pada pertimbangan waktu yang mendesak,” jelas Andi Mattalatta.
Taslim kemudian menanggapi balik uraian “genting” Prof Qasim. Menurutnya, sangat menarik uraian "kegentingan yang memaksa" itu. Uraian ini dia nilai menjadi dan akan berakibat luas terhadap tatanan kebangsaan, manakala ditangani yang tidak dilandasi oleh pemecahan akar persoalan yang dihadapi, dan dengan cara standar dimana aparat negara berdiri di atas semua kepentingan dan golongan secara adil dan proporsional.
Taslim mencoba menilai dari sisi untuk dibandingkan dengan ‘cara lama’dalam mengelola pemerintahan dan kebangsaan serta proses rekrutmen elite alat negara.
Taslim menyajikan fakta, keterbatasan kelembagaan negara konvenstional yang tidak mengalami perubahan berarti dalam tatanan masyarakat yang makin kompleks, berhadapan dengan perkembangan tingkat kecerdasan masyarakat, kualitas kebebasan warga dalam mengekspresikan pendapatnya sejalan dengan teknologi yang dapat digunakan serta alat penyaluran pendapat yang makin meluas.
Juga adanya perubahan ikatan-ikatan kekuatan politik serta motivasi yang melandasinya bagi sebagian lapisan atas masyarakat yang menguasai informasi, pada saat nilai-nilai lama masih menguasai perilaku mayoritas (sebahagian besar anggota masyarakat) yang secara internal melahirkan friksi tersendiri dengan kelembagaan baru penghimpun kekuatan yang memperatasnamakan masyarakat.
“Akibat benturan itulah yang melahirkan ketidakpastian. Bahwa ketidakpastian itu melahirkan kegentingan yang memaksa, sangat bergantung pada cara bangsa ini mengatasi ketidakpastian yang mereka hadapi,” ujar Taslim.
“Bung Taslim, uraian bung dan Bung Andi Mattalatta, membuka mata saya untuk menatap lebih jelas peta kondisi masyarakat kita: keawaman umum tidak berbanding lurus dengan perkembangan lainnya yang melaju oleh kecanggihan teknologi media. Akan ada yang tergulung....!,” timpal Prof Qasim.
Tergulung? “Masalahnya adalah siapa yang tergulung. Bila yang tergulung adalah masyarakat banyak, lantas negara berada d imana, para pemimpin otentik ke mana, para pemangku keahlian jalan keluarnya ke mana, dan masyarakat banyak maunya ke mana yang masuk akal?” jelas Taslim.
Ekonom Sulsel, Abd Madjid Sallatu nyahut, “Sayangnya, kata 'kegentingan yang memaksa’ sering digantikan dengan kata 'kepentingan yang mengemuka’. Dan kepentingan itulah yang mengalahkan semuanya. Apalagi dalam kondisi hukum dan UU yang memiliki terlalu banyak celah. Celah itulah yang dimanfaatkan oleh kepentingan.”
Prof Qasim tertarik dengan istilah baru yang diungkap Madjid Sallatu. “Yang dikemukakan Bung Madjid Sallatu, hendaknya disimak betul, ‘kegentingan yang memaksa’ atau ‘kepentingan yang mengemuka’. Bisa saya setel bung Madjid, "kegentingan yang dipaksakan untuk kepentingan?” tulis Prof Qasim.
Lalu, Andi Mattalatta memberi penjelasan panjang tentang filosofi UU dan perpu.
Menurutnya, ada standard obyektif untuk menentukan apakah suatu materi itu harus diatur dengan UU atau cukup bentuk hukum dibawahnya seperti PP dan seterusnya ke bawah.
Politisi senior Golkar itu mengingatkan, yang harus dalam bentuk UU adalah materi yang membatasi hak rakyat atau membebani kewajiban baru rakyat atau yang mengatur hubungan-hubungan politik, bukan hubungan administratif, antar lembaga negara, atau merobah sesuatu norma yang sudah diatur sebelumnya dalam UU.
“Bila masih cukup waktu membahasnya secara normal antara pemerintah dan DPR, maka dibahas dulu baru berlaku. Tapi bila waktu mendesak untuk segera diperlakukan, maka ditetapkan dulu berlaku secara sepihak oleh Presiden baru minta persetujuan rakyat/DPR,” jelas Andi Mattalatta.
Menurutnya, kedua mekanisme itu kelihatannya cuma masalah prosedural. Tapi sesungguhnya ada pertimbangan strategis di balik mekanisme yang dipilih Presiden.
“Bila diajukan dalam bentuk RUU, disepakati dulu baru berlaku, mungkin ada kekuatiran beberapa pasal akan dirombak oleh DPR. Sementara bila dalam bentuk Perpu DPR hanya bisa setuju atau menolak. Tidak ada kesempatan untuk merobah substansi,” jelas Andi Mattalatta.(*)