Lily Yulianti Farid dan Misi Kemanusiaannya

Editor: Anita Kusuma Wardana
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Founder and Direktur MIWF, Lily Yulianti Farid bersama sejumlah penulis membuka Makassar International Writers Festival (MIWF) 2106 yang berlangsung di Fort Rotterdam, Makassar, Rabu (18/5/2016) malam

TRIBUN-TIMUR.COM-Makassar International Writer's Festival (MIWF) yang digagas Rumata' Artspace termasuk event yang banyak dinanti. Tak hanya bagi masyarakat Sulawesi Selatan, event ini kini dikenal di ranah nasional maupun mancanegara.

Maklum, acara ini selalu menghadirkan para penulis terkenal dari Indonesia maupun luar negeri. Nah di balik kesuksesan acara ini, ada nama Lily Yulianti Farid.

Lily merupakan founder Rumata' yang ia dirikan bersama sahabatnya sekaligus sutradara ternama Indonesia, Riri Riza.
Selain MIWF, Rumata' juga memiliki annual event besar lainnya, South East Asian (SEA) Screen Academy yang memberikan pelatihan bagi sineas-sineas muda dari Indonesia Timur.

Lily kini menetap di Australia bersama suaminya Farid Ma'ruf Ibrahim dan anaknya Fawwaz Naufal Farid.
Di Australia, Lily menjadi dosen lepas di The University of Melbourne. Selain itu, ia juga tetap menulis, meneliti dan menerjemahkan buku, maupun sejumlah project lain di bidang seni budaya. Saat ini sedang terlibat dalam proses penerjemahan buku tentang hubungan antara Indonesia dan Australia.

Ia 'hijrah' ke Australia bersama keluarganya sejak tahun 2001 saat melanjutkan pendidikan magisternya dalam bidang Gender and Development Studies di The University of Melbourne. Ia juga telah meraih gelar PhD setelah menyelesaikan pendidikan doktornya di bidang Gender and Media Studies di kampus yang sama.

Dalam setahun, wanita kelahiran Makassar, 16 Juli 1971 tersebut pulang ke Makassar. Setidaknya tiga kali dalam setahun untuk mengurusi 'project kemanusiaan'nya tersebut bersama Riri Riza.

"Akar saya di Makassar, saya anak Makassar dan saya pulang untuk berbakti untuk Makassar. Saya pulang mengurusi project kemanusiaan ini,"kata Lily kepada Tribun beberapa waktu lalu.

Bagi mantan jurnalis Kompas ini, MIWF maupun project Rumata' lain ibarat pesta literasi, seni dan budaya untuk 'warga biasa'. Menurutnya, kenyamanan dan layanan-layanan khusus kebanyakan bukanlah milik 'warga biasa'. Dia hanya bisa diakses oleh kalangan elite, baik penguasa, pejabat maupun pemilik modal.

Di mana, masyarakat bisa berada ditengah-tengah percakapan-percakapan intelektual, lintas bangsa dan budaya terjadi, serta dapat diakses seluruh lapisan masyarakat dan tak ada pembedaan.

"Saya kira penting ada masa yang kita kerjakan bersama-sama sebagai warga biasa yang membuat kita bangga sebagai orang biasa karena itu perasaan yang jarang ada di Indonesia,"kata penulis Family Room tersebut.

Lily mengaku kini mulai melihat Makassar dari perspektif masa depan. Setiap kali pulang ke Makassar, tak ada waktu baginya bernostalgia. Ia harus bertemu sejumlah anak muda Makassar dan membicarakan apa yang akan mereka lakukan untuk Makassar.

"Kami sadar Makassar memiliki punya segudang masalah, tapi kami adalah bagian kecil dari kota ini yang ingin memberi jawaban atas masalah tersebut dan membawa dampak paling tidak untuk orang di sekitar kita,"tambahnya.

Ia pun menginginkan anak muda Makassar bangga sebagai orang biasa yang berdaya, memiliki etos kerja, dan kepekaan terhadap urusan-urusan kemanusiaan, serta menjadi bagian dari pembangunan kemanusian itu sendiri. Mimpi inilah yang senantiasa membuatnya ingin pulang ke Makassar.

Menurutnya, jika semangat dan harapan tersebut bisa ditularkan ke ke anak-anak muda Makassar yang menjadi volunteer di MIWF ataupun project Rumata' lainnya, tentunya mereka akan mampu menciptakan pengalaman ber-Makassar yang berbeda.

"Saya sama Riri selalu bilang, kita harus pulang ke Makassar. Kita harus pulang dengan peran, tapi peran itu berbeda karena banyak teman saya pulang untuk berusaha, membangun karier politik atau hanya sekadar bernostalgia,"ujar ibu satu anak ini.

Halaman
123

Berita Terkini