Doa Malaikat Jibril Soal Orang yang Ditolak Puasanya, Hadis Palsu?

Editor: Ilham Mangenre
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Ratusan jamaah mengikuti salat malam di Masjid Raya Makassar, Rabu (8/7/2015) dini hari. Sejumlah jamaah beritikaf atau menetap di masjid disertai dengan menyibukkan diri dengan ibadah seperti memperbanyak membaca Alquran, berzikir, doa dan istigfar pada sepuluh malam terakhir Ramadan mengharapkan datangnya malam Lailatul Qadar. tribun timur/muhammad abdiwan

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM- Pernahkah Anda mendapat penyampaian atau pesan singkat, SMS,  atau broadcast blackberry messenger (BBM), soal doa malaikat jibril menjelang nisfu sya’ban, berikut ini:

“Ya Allah, abaikan puasa umat nabi Muhammad SAW, apabila sebelum ramadhan dia belum:

Memohon maaf kepada kedua orang tua jika keduanya masih hidup.
Bermaafan antara suami istri
Bermaafan dengan keluarga kerabat serta orang sekitar.”
dst.

Menurut konsultan syariah, pada situs konsultasi syariah.com, ustadz Ammi Nur Baits, mengatakan, ada beberapa catatan yang perlu kita perhatikan terkait shahih atau benar tidaknya hadis tersebut, yakni:

Pertama, kita tidak boleh berbicara atas nama jibril atau atas nama Rasulullah Muhammad ‘alaihimas shalatu was salam, kecuali berdasarkan dalil. Karena yang mereka sampaikan adalah wahyu dari Allah.

Allah berfirman tentang Jibril,

وَمَا نَتَنَزَّلُ إِلَّا بِأَمْرِ رَبِّكَ لَهُ مَا بَيْنَ أَيْدِينَا وَمَا خَلْفَنَا وَمَا بَيْنَ ذَلِكَ وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا

Tidaklah Kami (Jibril) turun, kecuali dengan perintah Tuhanmu. kepunyaan-Nya-lah apa-apa yang ada di hadapan kita, apa-apa yang ada di belakang kita dan apa-apa yang ada di antara keduanya, dan tidaklah Tuhanmu lupa. (QS. Maryam: 64)

Artinya apapun yang dilakukan Jibril, semua karena perintah Allah, dan bukan inisiatif pribadi. Termasuk doa yang beliau ucapkan.

Allah berfirman tentang Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى ( ) إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى

Tidaklah dia berbicara karena hawa nafsunya ( ) Ucapannya itu tiada lain adalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. An-Najm: 3 – 4)

Sehingga apapun yang beliau sabdakan terkait syariat adalah wahyu dari Allah.

Karena itu, berbicara atas nama jibril atau Nabi Muhammad ‘alaihimas shalatu was salam tanpa dalil, sama halnya dengan berbicara atas nama Allah tanpa ilmu dan itu dosa besar.

Allah mensejajarkan dosa berbicara atas nama Allah tanpa ilmu dengan sederet dosa besar, seperti syirik.

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّيَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَالْإِثْمَ وَالْبَغْيَ بِغَيْرِ الْحَقِّ وَأَنْ تُشْرِكُوا بِاللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِ سُلْطَانًا وَأَنْ تَقُولُوا عَلَى اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Al-A’raf: 33).

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memberikan ancaman keras, untuk orang yang menyebarkan hadis yang lemah,

مَنْ حَدَّثَ بِحَدِيثٍ وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبِينَ

“Siapa yang menyampaikan satu hadis, dan dia merasa itu dusta, maka dia termasuk salah satu pendusta.” (HR. Muslim dalam Mukaddimah, 1/8).

Kedua, riwayat yang benar tentang doa Malaikat jibril adalah sebagai berikut,

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan,

أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين

Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam naik mimbar lalu beliau mengucapkan, ‘Amin … amin … amin.’ Para sahabat bertanya, ‘Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?’ Kemudian, beliau bersabda, ‘Baru saja Jibril berkata kepadaku, ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadan tanpa mendapatkan ampunan,’ maka kukatakan, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun itu tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua),’ maka aku berkata, ‘Amin.’ Kemudian, Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang tidak bersalawat ketika disebut namamu,’ maka kukatakan, ‘Amin.””

Hadis ini dinilai sahih oleh Al-Mundziri dalam At-Targhib wa At-Tarhib, 2:114, 2:406, 2:407, dan 3:295; juga oleh Adz-Dzahabi dalam Al-Madzhab, 4:1682. Dinilai hasan oleh Al-Haitsami dalam Majma’ Az-Zawaid, 8:142; juga oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam Al-Qaulul Badi‘, no. 212; juga oleh Al-Albani di Shahih At-Targhib, no. 1679.

Jika kita perhatikan hadis shahih di atas, kita akan mendapatkan sekian banyak perbedaan antara teks hadis dengan sms ramadhan yang banyak tersebar di masyarakat.

Hadis di atas tidak menyebutkan waktu kapan kejadian itu berlangsung. Jibril berdoa 3 kali dan diaminkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada keterangan waktunya.

Karena itu, siapa yang mengklaim bahwa itu terjadi menjelang ramadhan atau setelah nisfu sya’ban, maka dia harus membawakan dalil.

Doa jibril: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’ sedikitpun beliau menyinggung agar minta maaf kepada orang tua atau suami-istri, atau kepada sesama, dst.

Memperhatikan hal ini, sejatinya apa yang disebarkan melalui sms bukan doa jibril. Malaikat jibril, sama sekali tidak pernah berdoa demikian.

Beliau hanya mendoakan keburukan untuk orang yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan.

Bisa jadi karena selama ramadhan, dia masih rajin bermaksiat, sehingga puasa yang dia jalankan tidak membuahkan ampunan dosa.

Ketiga, selanjutnya kami menghimbau kepada kaum muslimin untuk berhati-hati dalam menyebarkan informasi agama, sebelum dia tidak memiliki sumber otentik, yang bisa dipertanggung jawabkan.

Karena berdusta atas nama Allah atau Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam statusnya jauh berbeda dengan berdusta atas nama makhluk.

Allah ta’ala memberikan ancaman sangat keras untuk setiap komentara tentang islam, tentang agama Allah, tanpa bukti dan tanpa dalil yang kuat. Karena berbicara tentang syariat tanpa dalil adalah sumber terjadinya kesesatan dalam agama.

Penyampaian atau sms demikian adalah dusta atas nama jibril. Siapapun yang mendapatkannya, segera dihapus dan tidak disebarkan.

Doa Jibril Hadis Palsu?

Pada situs muslim.or.id, klaim doa Malaikat Jibril disebut tidak benar.

Tersebut do’a Malaikat Jibril itu adalah:

“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Yang aneh, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadits.

Setelah dicari, hadits ini pun tidak ada di kitab-kitab hadits. Setelah berusaha mencari-cari lagi, pihak muslim.or.id, menemukan, ada orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254).

Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين قال الأعظمي : إسناده جيد

“Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.

Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679).

Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits yang berbeda.

Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna hadits.

Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut.

Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.

Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,

من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه

“Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)

Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain.

Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam.

Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه

“Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, dishahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput.

Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.

Wallahu’alam. (muslim.or.id/KonsultasiSyariah.com)

Tags:

Berita Terkini