Betulkah Gereja dan Wihara Ditutup di Aceh?

Editor: Edi Sumardi
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

BANDA ACEH, TRIBUN-TIMUR.COM - Pemerintah Kota Banda Aceh meminta semua pihak untuk tidak salah memahami upaya penghentian aktivitas di beberapa bangunan yang digunakan sebagai tempat melaksanakan ritual agama oleh warga non muslim di Banda Aceh.

Wakil Wali Kota Banda Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal mengatakan, yang harus dipahami adalah bahwa penggunaan bangunan-bangunan untuk pelaksanaan kegiatan ritual agama tersebut dilakukan secara ilegal. “Jadi dari sejak awal digunakan tidak pernah ada izinnya, jadi ini adalah aktivitas ilegal,” tegas Illiza, Kamis (25/10/2012).

Ditambahkan Illiza, upaya penghentian dan penutupan gedung-gedung ini juga didasarkan oleh aturan-aturan legal yakni SKB Dua Menteri dan Peraturan Gubernur Nomor 25 Tahun 2007 tentang Pedoman Pendirian Rumah Ibadah. “Selain itu juga ini didasarkan pada rasa kemanusiaan, dan kepedulian terhadap keharmonisan hubungan antar umat beragama di Aceh, khususnya di Banda Aceh," ujarnya.

"Kita tidak mau ada hal-hal yang terjadi yang tidak kita inginkan, kalau masyarakat sekitar sudah meminta agar itu dihentikan pastilah itu sudah memberi rasa tidak nyaman, dan kondisi ini dilaporkan masyarakat kepada Pemerintah, dan Pemerintah mengambil langkah terbaik untuk memberi rasa aman dan tertib serta nyaman kepada masyarakat,”  sambung Illiza lagi.

Penutupan aktivitas di bangunan-bangunan ini pun, tambah Illiza, bukan semata-mata putusan Pemerintah Kota Banda Aceh, tapi juga berdasarkan hasil keputusan bersama dengan organisasi kerukunan umat beragama dan Tim Pakem Kota Banda Aceh. Mereka setelah menelusuri kondisi lapangan, dan memang memutuskan aktivitas pemanfaatan bangunan untuk kegiatan ritual beragama itu dinyatakan tidak sah alias ilegal.

Illiza juga menyayangkan pendapat sejumlah anggota DPR RI yang menyatakan tindakan Pemerintah Kota Banda Aceh subversif, melanggar undang-undang.

“Saya ingin kembali bertanya, apakah para anggota dewan yang terhormat sudah memahami betul permasalahannya dan apa sebenarnya yang dihentikan itu? Yang dihentikan atau ditutup itu bukan gereja atau wihara, melainkan bangunan-bangunan yang digunakan oleh sejumlah warga untuk melakukan ritual agamanya, dan aktivitas menggunakan bangunan atau tempat ini tidak mengajukan izin terlebih dahulu, tentu saja ini dikatakan ilegal, karena ini adalah aktivitas ilegal, makanya kita hentikan,” jelas Illiza.

Sebaiknya, tambah Illiza, anggota DPR RI bisa datang langsung ke Aceh, khususnya ke Kota Banda Aceh dan menyaksikan langsung bagaimana kehidupan masyarakat, baru kemudian bisa memberi komentar.

Saat ini, sebut Illiza, suasana aktivitas warga dan kerukunan beragama di Kota Banda Aceh, dan provinsi Aceh umumnya sangat kondusif dan harmonis. “Sejak zaman dulu tidak pernah ada kisruh antar umat beragama di Aceh, karena semua masyarakat memegang prinsip saling menghargai dan menghormati, dan kondisi ini jangan di ganggu,” jelas Illiza.

Illiza juga menggambarkan bahwa rumah ibadah untuk umat non-muslim di Banda Aceh ada banyak, bahkan untuk satu agama ada lebih dari satu rumah ibadah, dan rumah-rumah ibadah yang resmi ini justru berdampingan dengan bangunan-bangunan yang dijadikan tempat melakukan ritual agama secara tanpa izin. 

“Kalau ada yang resmi, mengapa harus melakukan ibadah di tempat lain, padahal jaraknya tidak jauh, justru akan lebih baik datang beramai-ramai ke rumah ibadah yang resmi dan beribadah bersama,” katanya.

Saat ini, sebut Illiza, Pemerintah Kota Banda Aceh juga sedang terus melakukan komunikasi untuk mencari tahu akar permasalahan, dan terus melakukan komunikasi serta memberi fasilitas kepada warga selain umat muslim untuk bisa melakukan ibadah di rumah-rumah ibadah yang resmi.

Illiza juga mengimbau semua pihak untuk bisa melihat dan memahami persoalan ini dengan jernih dan bukan sebelah mata. Kepada masyarakat juga diimbau untuk tetap menjaga keharmonisan lingkungan mereka dengan terus menjaga sikap saling menghargai.

Berita Terkini