Makassar Mulia
Ditolak Warga Tamalanrea, Pemkot Makassar Kaji Ulang Lokasi Proyek PSEL
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Pemerintah Kota Makassar akan mengkaji ulang rencana pembangunan Pengelolaan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL).
Langkah ini diambil sebagai respons penolakan warga terkait lokasi proyek strategis nasional tersebut.
PSEL direncanakan dibangun di Gudang Eterno, Kecamatan Tamalanrea, Makassar.
Namun masyarakat menolak karena khawatir dampaknya terhadap lingkungan dan keberlangsungan hidup.
Pembangunan PSEL juga dekat permukiman dan sekolah.
Warga khawatir proses belajar anak-anak terganggu.
Terbaru, warga Mula Baru, Tamalalang, Klaster Akasia, dan Alamanda mendatangi Balai Kota Makassar, Jl Jenderal Ahmad Yani, Selasa (19/8/2025).
Sebagian massa menggelar unjuk rasa, lainnya beraudiensi langsung dengan Wali Kota Makassar, Munafri Arifuddin.
Baca juga: Beda Jeneponto dan Bone, PBB Makassar Tahun 2025 Tak Naik
Tokoh masyarakat, Akbar Adhy, berharap Pemkot meninjau ulang lokasi proyek.
“Semoga (PSEL) tidak dibangun di kampung kami,” ujar Akbar.
Hal serupa disampaikan Jamaluddin, warga Mula Baru.
Ia mengapresiasi respons Wali Kota Munafri, namun tetap khawatir terhadap pencemaran lingkungan.
“Ini menyangkut rencana jangka panjang sampai 30 tahun, inilah yang menjadi keresahan bersama,” ujarnya.
Wali Kota Munafri menegaskan pentingnya mendengar suara masyarakat.
Menurutnya, kebijakan tidak boleh menimbulkan masalah sosial maupun hukum.
“Kalau dipaksakan, dampaknya kembali ke masyarakat,” katanya.
Pemkot Makassar belum bisa mengambil keputusan karena menunggu peraturan presiden (Perpres) terbaru soal PSEL atau PLTSa.
Munafri mengaku telah berkoordinasi dengan kementerian terkait, termasuk Kemenko Marves.
“Saya sudah bolak-balik bertanya ke kementerian, apakah masih tunduk pada Perpres 35 (Tahun 2018) atau tidak,” ucapnya.
“Kita tunggu Perpres baru agar tidak timbul masalah hukum atau lingkungan ke depan,” lanjutnya.
Ia menambahkan, proyek ini memerlukan dukungan anggaran dari Pemkot.
Padahal dana tersebut seharusnya bisa dialihkan untuk pengelolaan sampah langsung.
Selain itu, akses jalan menuju lokasi proyek juga harus jelas, termasuk izin operasional armada pengangkut sampah di kawasan FKS Land.
“Saya tidak tahu apakah sosialisasi sudah dilakukan dan apakah FKS mengizinkan akses truk sampah ke lokasi? Ini perlu dikaji,” ujarnya.
Munafri juga perlu memastikan tidak ada sengketa lahan di area proyek.
Sebagai alternatif, Pemkot mendorong pengelolaan sampah berbasis wilayah, fokus pada pemisahan dan pengolahan sampah organik dan nonorganik.
Uji coba telah dilakukan melalui penyediaan insinerator ramah lingkungan di kelurahan dan kecamatan.
“Kalau kita bisa kelola sampah organik, sisanya tidak akan cukup lagi untuk PLTSa. Lebih baik dikelola langsung di TPS atau rumah tangga,” ucapnya.
Sampah organik bisa diolah jadi maggot, pupuk, hingga biopori, sehingga tidak sampai ke TPA. Sampah nonorganik juga bisa bernilai ekonomis.
Jika pengelolaan terpadu berjalan optimal, pasokan sampah untuk PSEL bisa tidak mencukupi.
Saat ini, PSEL membutuhkan 1.000 ton sampah rumah tangga baru ditambah 300 ton dari TPA Tamangapa.
“Apakah kapasitas sampah itu cukup? Kalau tidak, apakah harus ambil dari daerah lain? Ini yang harus dikaji serius,” ucapnya.
Munafri menegaskan Pemkot tidak menolak investasi, namun ingin memastikan semua berjalan selaras dengan kepentingan masyarakat.
“Saya hadir bukan untuk marah ke investor, tapi saya ingin investasi yang menyenangkan semua pihak. Kalau justru merugikan masyarakat, lebih baik tidak ada investasi sama sekali,” tegasnya. (*)