Amerika Serikat
Mahkamah Agung AS Setujui PHK Massal Pegawai Federal, 75.000 Orang Bakal Terdampak
Mahkamah Agung Amerika Serikat (SCOTUS) secara resmi mencabut larangan sementara terhadap rencana PHK massal pegawai federal
TRIBUN-TIMUR.COM- Mahkamah Agung Amerika Serikat (SCOTUS) secara resmi mencabut larangan sementara terhadap rencana Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal pegawai federal yang diajukan oleh pemerintahan Presiden Donald Trump.
Keputusan ini membuka jalan bagi pemangkasan besar-besaran yang telah menimbulkan kecemasan luas di kalangan birokrasi dan publik.
Putusan tersebut memungkinkan pemerintah federal melanjutkan agenda restrukturisasi yang berdampak pada sedikitnya 75.000 pegawai, sebagian besar dari lembaga strategis seperti Departemen Urusan Veteran (VA), Badan Perlindungan Lingkungan (EPA), Departemen Luar Negeri, Pusat Pengendalian Penyakit (CDC), dan Internal Revenue Service (IRS).
SCOTUS belum memutuskan legalitas permanen dari langkah ini.
Namun, mayoritas hakim setuju untuk menghapus pembekuan sementara yang sebelumnya diberlakukan pengadilan distrik di California.
Ini berarti PHK dan reorganisasi bisa tetap berjalan sambil menunggu hasil litigasi lebih lanjut.
“Keputusan ini memungkinkan eksekutif melanjutkan upayanya tanpa campur tangan pengadilan untuk sementara waktu,” tulis pengadilan dalam putusan ringkas yang tidak disertai pendapat mayoritas.
Menariknya, dua hakim liberal — Elena Kagan dan Sonia Sotomayor — memilih mendukung langkah pemerintah, meski dengan catatan kehati-hatian.
Sebaliknya, Hakim Ketanji Brown Jackson menyatakan dissent keras, menyebut langkah ini sebagai "bola perusak" (wrecking ball) terhadap lembaga-lembaga federal yang esensial.
Serikat Buruh dan Aktivis Bereaksi
Serikat pekerja seperti American Federation of Government Employees (AFGE) mengutuk keputusan ini dan menyebutnya sebagai bentuk “penyalahgunaan kekuasaan eksekutif” yang melewati otoritas Kongres.
Mereka berencana melanjutkan gugatan hukum yang sedang berlangsung.
“PHK massal ini dilakukan tanpa keterlibatan legislatif dan tanpa dasar hukum yang memadai,” ujar J. David Cox, Presiden AFGE.
“Ini bukan hanya merusak hak pekerja, tapi juga melemahkan pelayanan publik bagi warga.”
PHK telah menyebabkan kekacauan di berbagai sektor layanan, mulai dari keterlambatan pengolahan pajak di IRS, pembatalan program vaksinasi di CDC, hingga gangguan layanan veteran.
Pemerintah mengklaim bahwa pemangkasan ini bertujuan menyederhanakan birokrasi dan efisiensi anggaran, namun banyak pihak menilai langkah tersebut terlalu ekstrem dan tergesa-gesa.
PNS Pilih Mengundurkan Diri
Puluhan ribu Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Amerika Serikat (AS) memilih untuk mengundurkan diri dari kursi jabatan daripada menunggu ketidakpastian dan ancaman pemecatan massal.
Menurut laporan Reuters, setidaknya 260.000 PNS telah mengundurkan diri atau berencana keluar dari pekerjaannya hingga akhir September 2025.
Adapun sebagian PNS memilih untuk meninggalkan jabatannya demi pesangon atau insentif yang telah ditawarkan Presiden Donald Trump.
Sementara beberapa di antaranya mengaku tidak tahan dengan tekanan psikologis akibat ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) yang disampaikan berulang kali oleh pejabat pemerintahan Trump.
Seorang pegawai Administrasi Jaminan Sosial (SSA), yang meminta identitasnya dirahasiakan, mengatakan telah menerima tawaran pesangon kedua karena tekanan psikologis terlalu berat.
Ia mengaku mengalami gangguan tidur, minum alkohol lebih sering, dan kurang berolahraga.
“Rasanya seperti hidup saya jungkir balik,” ujarnya.
Sebagai informasi sebelum aksi resign massal melonjak, pada akhir Januari lalu Trump sempat memberikan penawaran menarik bagi para PNS yang bersedia resign atau mengundurkan diri.
Untuk memikat para PNS, Trump bahkan menawarkan pesangon dengan jumlah yang fantastis, yakni senilai 8 kali gaji bagi para PNS AS yang bersedia tanda tangan perjanjian resign.
"Tenaga kerja Federal (PNS) harus yang terbaik dari yang bisa ditawarkan Amerika. Kami akan menuntut keunggulan di setiap level," bunyi penggalan memo yang dirilis Trump, dikutip dari Channel News Asia.
Trump menjelaskan program pensiun dini direncanakan sebagai bentuk perampingan birokrasi, dengan harapan bahwa pengurangan jumlah pegawai dapat meningkatkan kualitas layanan publik.
Selain itu cara ini dapat membantu Gedung Putih menghemat anggaran pemerintah hingga 100 miliar dolar AS atau setara Rp1.622 triliun.
Lebih lanjut kebijakan ini tidak hanya berkaitan dengan penghematan anggaran, tampaknya juga bertujuan untuk mendorong lebih banyak pegawai untuk kembali bekerja dari kantor.
Mengingat selama beberapa tahun terakhir, banyak pegawai Federal yang bekerja di rumah sebagai bagian dari kebijakan pandemi COVID-19.
Namun di era pemerintahan baru, Trump ingin mengakhiri kebijakan tersebut dan mendorong para PNS untuk kembali bekerja di kantor seperti sebelum pandemi.
Picu Kemarahan Serikat Pekerja
Meski sejumlah PNS menyambut baik usulan baru Trump, namun langkah tersebut dikecam keras oleh kepala serikat pekerja Federasi Pegawai Pemerintah Amerika (AFGE).
Termasuk Presiden Serikat Pegawai Pemerintah Federal (AFGE), Everett Kelley.
Ia menyebut kebijakan ini sebagai "teror birokratis" yang bertujuan melemahkan fungsi pemerintahan dengan memaksa para pegawai hengkang, bukan melalui reformasi berbasis dialog atau transparansi.
Ia juga memperingatkan bahwa proses "pembersihan" ini akan memiliki "konsekuensi yang sangat besar yang akan menyebabkan kekacauan bagi warga Amerika yang bergantung pada pemerintah federal.
“Kami ingin mereka bangun di pagi hari dan tidak ingin pergi bekerja,” ujar Vought dalam acara think tank Center for Renewing America.
“Trump memberi kekuasaan pada Musk dan tim DOGE-nya untuk melecehkan, menghina, dan menyebarkan kebohongan tentang pegawai federal serta memaksa puluhan ribu orang keluar dari pekerjaannya,” kata Kelley. (Tribunnews.com / Namira)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul 260.000 PNS AS Resign Massal, Pilih Tinggalkan Jabatan demi Iming-Iming Pesangon Fantastis
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.