Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Lipsus Tren Haji Muda

Haji Muda Jadi Gaya Hidup Baru di Sulsel

Fenomena haji muda marak di Sulsel. Jemaah usia 20-an mulai naik haji. Gaya hidup, identitas sosial, dan perencanaan orang tua jadi pemicu utama.

Penulis: Kaswadi Anwar | Editor: Sukmawati Ibrahim
Dok Pribadi Idham
TREN HAJI MUDA - Sosiolog Universitas Negeri Makassar (UNM), Idham Irwansyah, menilai tren ini sebagai refleksi dari perubahan dinamika sosial dan pola religiusitas masyarakat, khususnya generasi muda. 

TRIBUN-TIMUR.COM  - Naik haji menjadi impian setiap muslim. 

Namun, untuk menunaikan rukun Islam kelima ini, seseorang harus melewati proses panjang, termasuk antrian yang bisa mencapai puluhan tahun. 

Tak heran jika mereka mendaftar di usia 30-an, baru berangkat ketika memasuki usia 50 hingga 60 tahun.

Namun di Sulawesi Selatan (Sulsel), tren haji usia muda mulai terlihat nyata. 

Pada musim haji 2025, beberapa jemaah bahkan masih berusia 20-an tahun.

Fenomena ini tidak muncul begitu saja. 

Peran orang tua sangat besar dalam mempersiapkan keberangkatan anak-anak mereka sejak dini. 

HAJI MUDA -Momen Irma (28) di tanah suci saat naik haji Mei 2025 lalu.  Irma dari Galesong buktikan, berhaji tak harus tunggu pensiun. Perjalanannya ke Makkah jadi pelajaran hidup dan bekal perubahan.
HAJI MUDA -Momen Irma (28) di tanah suci saat naik haji Mei 2025 lalu. Irma dari Galesong buktikan, berhaji tak harus tunggu pensiun. Perjalanannya ke Makkah jadi pelajaran hidup dan bekal perubahan. (dok Irma)

Banyak mendaftarkan anaknya ketika masih duduk di bangku sekolah dasar atau sekolah menengah pertama.

Mereka menyadari panjangnya masa tunggu haji dan memutuskan untuk mengambil langkah lebih awal.

Perubahan Pola Religiusitas

Baca juga: Daftar di Usia 14, Irma Penjual Kosmetik Takalar Sulsel Wujudkan Impian Naik Haji Sebelum 30 Tahun

Sosiolog Universitas Negeri Makassar (UNM), Idham Irwansyah, menilai tren ini sebagai refleksi dari perubahan dinamika sosial dan pola religiusitas masyarakat, khususnya generasi muda.

“Fenomena ini menunjukkan adanya pergeseran aktor sosial yang biasanya didominasi oleh generasi tua menjadi lebih inklusif karena melibatkan kelompok muda,” kata Idham saat dihubungi Tribun-Timur.com, Jumat (20/6/2025).

Ia menambahkan, jika dikaitkan dengan panjangnya masa tunggu haji di Sulsel, tren ini tidak bisa dianggap sebagai tindakan impulsif. 

Sebaliknya, mencerminkan adanya dorongan kuat dari sisi perencanaan sosial, ekonomi, dan spiritual.

“Faktor sosial ekonomi orang tua sangat besar pengaruhnya. Dibutuhkan kesiapan ekonomi yang mapan untuk mendaftarkan anak sejak dini,” jelasnya.

Menurutnya, jemaah muda berangkat berhaji bisa jadi atas inisiatif pribadi, tetapi sebagian besar tetap atas perencanaan dan dukungan orang tua sejak awal.

Simbol Kesuksesan dan Identitas

Ketika ditanya apakah tren ini adalah bentuk perubahan nilai dalam beragama atau justru bagian dari gaya hidup, Idham menilai keduanya bisa berjalan beriringan. 

Naik haji di usia muda, kata dia, bisa menjadi penguatan identitas keagamaan sekaligus simbol status sosial.

“Sebagian merupakan perubahan nilai religius yang lebih aktif, personal, dan simbolik. Tapi tidak bisa dipungkiri juga ada unsur gaya hidup dan simbol status sosial yang diadopsi oleh kalangan muda,” paparnya.

Ia menjelaskan, perkembangan media sosial turut memperkuat citra berhaji sebagai bentuk pencapaian spiritual sekaligus eksistensi sosial.

“Gaya hidup religius ini seringkali dikomunikasikan dan dijadikan bagian dari identitas sosial di era digital. Tapi, kembali lagi pada motif dan kadar kesalehan sosial masing-masing,” lanjutnya.

Dampak Sosial dan Usulan Regulasi

Idham juga mengingatkan bahwa fenomena ini membawa dampak lain, khususnya pada sistem antrean haji. 

Dengan semakin banyaknya usia muda yang mendaftar lebih awal, antrean berpotensi semakin panjang.

"Jika tidak diimbangi dengan regulasi yang menjaga keseimbangan antar kelompok usia dan kemampuan ekonomi, maka kelompok lansia dan masyarakat ekonomi terbatas bisa makin sulit mengakses," ucapnya.

Ia mengusulkan agar prioritas bagi lansia tetap dipertahankan. 

Selain itu, perlu dipertimbangkan penyesuaian batas usia minimal keberangkatan, mengingat regulasi dari Arab Saudi yang kerap berubah setiap tahun.

“Perlu memprioritaskan juga calon jemaah yang sudah dalam masa antrean tetapi usianya sudah mencapai batas minimal, tanpa harus menunggu sesuai jadwal antrian,” imbuhnya.

Dari aspek ekonomi, Idham menyarankan agar subsidi Ongkos Naik Haji (ONH) tidak disama ratakan, tetapi disesuaikan secara berjenjang berdasarkan kemampuan ekonomi masing-masing jemaah.

“Dengan begitu, keadilan sosial dalam berhaji bisa lebih terasa, dan semua kalangan tetap punya akses,” tutupnya. (*)

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved