Lipsus Petepete di Makassar
Petepete Kian Sepi dan Terpinggirkan
Petepete makin sepi penumpang di Makassar. Transportasi online jadi pilihan utama, petepete perlahan ditinggalkan. Sopir bertahan di tengah tekanan.
Lipsus ini terbit di Koran Tribun Timur edisi Minggu (29/6/2025).
Petepete Kian Sepi dan Terpinggirkan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Di sudut perempatan Jalan Butung dan Jalan Sulawesi, tepat di depan pintu keluar Pasar Grosir Butung, Makassar, tampak sebuah mobil petepete tua berwarna biru langit terparkir setia.
Mesinnya menyala pelan, menunggu waktu berikutnya untuk bergerak.
Di balik kemudinya, duduk seorang lelaki tua bernama Dg Boko.
Usianya 67 tahun, rambutnya mulai memutih, namun matanya masih menyimpan semangat bertahan.
Setiap hari sejak pukul enam pagi, Dg Boko sudah meninggalkan rumahnya.
Ia memulai rutinitas yang sudah ia jalani selama hampir empat dekade, menarik penumpang dari Pasar Butung menuju Mallengkeri, bolak-balik hingga matahari condong ke barat.
Namun belakangan ini, rutinitas itu tak lagi menjanjikan kehidupan yang layak.
“Ini sudah race ketiga, belum cukup 10 orang penumpang yang naik,” keluh Dg Boko saat ditemui Tribun Timur pada Senin (24/6/2025).
Dulu, ia ingat betul betapa padatnya petepete yang ia kemudikan.
Penumpang berdesak-desakan, bahkan ada yang berdiri karena tak kebagian duduk. “Dulu kita yang pilih-pilih penumpang. Sekarang, mau dipilih juga tidak ada yang naik,” ujarnya sembari tersenyum pahit.
Penumpang petepete kini seperti cerita lama yang tinggal kenangan.
Di sepanjang Jalan Cendrawasih, Tribun Timur mencatat, sebagian besar petepete melaju dalam kondisi kosong.
Kalaupun ada penumpang, jumlahnya paling banyak lima orang. Seringnya hanya satu atau dua.
Perubahan itu bukan tanpa sebab. Sejak kemunculan transportasi online pada 2014, kebiasaan masyarakat beralih.
Akses mudah lewat ponsel, promo-promo yang menggoda, dan kenyamanan layanan, menjadi pilihan baru.
Petepete yang dulu jadi urat nadi transportasi kota, perlahan kehilangan denyutnya.
Pukulan paling berat datang saat pandemi Covid-19 melanda.
Pembatasan sosial membuat aktivitas masyarakat terhenti. Petepete tak lagi bisa beroperasi.
Mobil-mobil biru itu hanya terparkir, berdebu di lorong-lorong dan halaman rumah.
Kini, meski kehidupan mulai normal, nasib para sopir petepete tak kunjung membaik. “Penurunan penghasilan sampai tiga kali lipat.
Dulu bisa sampai Rp150 ribu sehari, sekarang Rp50 ribu juga susah,” ungkap Dg Boko.
Dari pendapatan itu, ia masih harus menyisihkan sekitar Rp30 ribu untuk membeli tiga liter bensin.
Akibat himpitan ekonomi itu, impiannya untuk menyekolahkan ketiga anaknya pun kandas.
Anak bungsunya harus putus sekolah. Kini bekerja sebagai tukang parkir. “Pendapatan seperti ini, untuk makan saja sudah syukur,” katanya lirih.
Ironisnya, selama delapan tahun terakhir, Dg Boko mengaku tak pernah lagi mendapat bantuan dari pemerintah. Tidak ada bantuan tunai, tidak pula beras subsidi.
Di tengah semua kesulitan itu, Dg Boko masih bertahan. Petepete tuanya masih menyala, meski kadang lebih sering menunggu daripada berjalan.
Ia tidak sekadar mengemudi. Ia sedang menjaga sisa-sisa harapan dari sebuah masa lalu yang pernah penuh harap.
Terpisah, Kepala Bidang Angkutan Dinas Perhubungan Kota Makassar, Jusman mengatakan, saat pete-pete masih menjadi transportasi utama pilihan masyarakat, jumlahnya mencapai 4 ribu lebih.
Data terakhir pada 2024, moda transportasi ini tersisa 643 unit.
Pada 2018 jumlahnya masih mencapai 1.227, 2019 sebanyak 1078 unit, 2021 sebanyak 429 unit, 2022 yaitu 725 unit, dan 2023 ada 555 unit.
“Tahun 2020 tidak ada pendataan karena saat ini dalam suasana covid-19 sehingga tidak aktivitas dan pergerakan masyarakat, termasuk angkut penumpang,” ujarnya Kamis (26/6/2025).
Kemudian dari 17 trayek, kini hanya beberapa trayek yang aktif melayani penumpang.
Antara lain Pasar Butung-Jl Cendrawasih-Terminal Mallengkeri, Makassar Mall-Terminal Regional Daya-Perms Sudiang, Mks Mall-BTP, Mks Mall-Ir Sutami-Terminal Regional Daya-Mks Mall Perumnas Antang, Mks Mall-Pabbaeng-baeng-Perumnas Panakkukang.
Produksi pete-pete sudah disetop, ini pula yang menyebabkan pete-pete semakin tua, tak ada pembaruan.
Moda transportasi jenis ini juga sudah tidak memenuhi standar perizinan Kementerian Perhubungan.
Misalnya, harus dikelola atau berbadan usaha, memiliki sistem pembayaran, memiliki sistem tracking/GPS, memenuhi standar keselematan penumpang dengan bekerjasama dengan asuransi kendaraan, memiliki penyimpanan kendaraan, hingga bekerjasama dengan bangkel.
Sejauh ini pemerintah bersama organisasi angkutan darat (Organda) telah berupaya untuk mendorong peningkatan penumpang.
Salah satunya dengan menciptakan sistem transportasi terintegrasi antara pete-pete dengan moda transportasi lain.
Baca juga: Perubahan Lanskap Transportasi Kota Makassar
Pilih Naik Motor
Sejumlah mahasiswi memilih naik motor ke kampus dibanding petepete.
Salah satunya dirasakan Lisa Natalia mahasiswi UIN Alauddin Makassar.
Ia sudah setahun lebih tak pernah naik mobil petepete ke kampus.
Apalagi tak ada lagi mobil petepete dari kampus I UIN Alauddin ke kampus II UIN Alauddin.
Lisa juga mengakui adanya penurunan jumlah penumpang petepete dibanding beberapa tahun sebelumnya.
“Kalau mau dibandingkan beberapa tahun lalu mungin agak menurunmi penumpangnya. Mungkin pengaruh transportasi lain yang lebih efektif dan efisien,” ujar Lisa Natalia.
Sementara mahasiswi UNM Nurul Husni Fatima mengaku masih sering menggunakan petepate.
“Kalau pakai petepete lebih hemat dibanding ojek online,” ujarnya.
Ia seringkali menunggu petepete hingga 10 menit.
Tranportasi Online Lebih Diminati
Petepete tak lagi seramai tahun 1990.
Kondisi berubah drastis ketika transportasi berbasis aplikasi mulai masuk ke Makassar.
“Transportasi online sekarang lebih diminati masyarakat karena lebih efektif dan murah. Orang tinggal pesan dari rumah, dijemput, tanpa perlu keluar ke pinggir jalan,” kata Burhanuddin pengusaha angkutan umum wilayah Mamminasata, Kamis (26/6/2025).
Sistem yang dibawa transportasi online jauh lebih efisien.
Para pengemudi dilengkapi aplikasi, dan layanan pun terintegrasi mulai dari angkutan penumpang hingga pengantaran makanan.
Ia membandingkan dengan masa lalu, saat pengusaha taksi masih bergantung pada sistem panggilan via telepon dan terminal pangkalan.
Kini, semua berubah. Taksi konvensional nyaris tidak bisa bersaing.
“Bahkan halte-halte di Makassar pun sudah rusak. Tak terawat,” katanya.
Baginya, kondisi tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap nasib angkutan umum semakin terabaikan.
Burhanuddin juga curhat nasib angkutan kota jenis petepete yang dulunya mendominasi jalanan Makassar.
“Lima tahun lalu, jumlah Pete-pete dan angkutan umum lainnya masih ribuan. Sekarang tak sampai 600 unit yang masih beroperasi. Itu pun banyak hidup segan, mati tak mau,” ucapnya.
Menurutnya, Pete-pete yang masih bertahan hanya karena supir-supirnya tidak punya beban cicilan atau kredit.
“Paling mereka dapat Rp100 ribu per hari. Tidak cukup untuk hidup layak,” tambahnya.
Burhanuddin menilai pemerintah belum serius membenahi sistem transportasi umum.
Ia membandingkan dengan DKI Jakarta yang sudah memiliki sistem terintegrasi seperti Transjakarta, Mass Rapid Transit (MRT), dan (Lintas Rel Terpadu) LRT.
“Di Makassar ini sebagai kota metropolitan tidak terintegrasi. Beda dengan transportasi di DKI Jakarta. Jakarta itu kan meliputi sudah serananya bagus. Sementara di Makassar ini apa yang bisa kita andalkan,” ungkapnya.
Terlebih, perhatian pemerintah terhadap nasib angkutan konvensional masih minim.
Sementara perpindahan masyarakat ke layanan online terus berlangsung tanpa ada langkah konkret.
Ia berharap pemerintah segera melakukan kolaborasi dengan pelaku usaha transportasi konvensional agar tidak sepenuhnya tersingkir.
“Pemerintah harus beri ruang dan pemberdayaan. Tinggalkan konsep lama, mulai beralih ke sistem digital. Kalau tidak, Pete-pete dan taksi konvensional akan benar-benar punah dalam lima tahun ke depan,” ujar Burhanuddin.
Burhanuddin mengaku telah lama menyadari arah perubahan industri transportasi di tengah derasnya arus digitalisasi.
Ia melihat kemunduran bukan sekadar akibat teknologi, melainkan juga permainan kekuatan ekonomi yang lebih besar.
“Saya ini dulu pejuang taksi konvensional. Tapi sejak 2016, saya sudah prediksi semua ini akan mati. Karena ini bukan cuma soal teknologi, tapi politik ekonomi. Kapitalisme menang, dan pemerintah mendukung itu,” pungkasnya. (St Aminah / Erlan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.