Tragedi Karunrung
EKSKLUSIF: Eksekutor Tragedi Karunrung Daeng Ulli Bongkar Alasan Bantai 1 Keluarga
Salah satu pelaku pembantaian tragedi Karunrung, Rusli atau Daeng Ulli menceritakan kisahnya pertengahan tahun 95.
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR- Salah satu pelaku pembantaian Tragedi Karunrung, Rusli atau Daeng Ulli menceritakan kisahnya pertengahan tahun 95.
Hal itu disampaikan dalam Ngobrol Virtual Buka Tabir Tragedi Karunrung 95 #2: Pengakuan Pelaku yang disiarkan Youtube Tribun Timur, Jumat (23/5/2025) malam.
“Tahun itu, tahun 1995 ada orang yang order bermasalah dengan Ahmadi. Saya lakukan pembunuhan di Karunrung,” katanya membuka pembicaraan.
Daeng Ulli pun menceritakan nilai untuk eksekusi sebesar Rp10 juta.
“Sekarang itu besar, ratusan jutaan. Waktu itu saya masih labil-labilnya. Nabilang orang Makassar tale-talekan jaki,” katanya.
Ahmadi adalah tetangga dari Daeng Ulli.
Saat itu, kejadian pukul 10 pagi.
“Semua orang fokus ke pertandingan mike tyson,” katanya.
Saat itu, pesanan untuk pembunuhan adalah Ahmadi.
"Saat itu kami berpikir, kalau ada satu anggota keluarga yang tidak dibunuh, pasti akan ketahuan," ungkap
Daeng Uli saat mengenang momen kelam tersebut.
Ia menyatakan bahwa eksekusi dilakukan secara bersama-sama dalam satu ruangan.
Setelah kasus bergulir, Daeng Ulli divonis hukuman seumur hidup.
Namun, seiring waktu dan kebijakan presiden saat itu, hukumannya diringankan menjadi 20 tahun, dan ia hanya menjalani 15 tahun di penjara.
"Di dalam lapas itu, karena saya berkelakuan baik, saya mendapat banyak remisi: remisi Lebaran, 17 Agustus, dan lainnya," jelasnya.
Ketika ditanya mengenai siapa otak di balik kasus tersebut, Daeng Uli mengatakan bahwa semuanya sudah dituangkan dalam Berita Acara Pemeriksaan (BAP).
"Sudah tertulis siapa yang mengorder, siapa pelakunya. Tapi entah kenapa, orang yang mengorder itu tidak dihukum,” katanya.
Daeng Ulli menolak anggapan bahwa dirinya dijebak.
Ia menilai kerja kepolisian saat itu sangat cepat dan sistematis.
"Saya lari dari rumah usai kejadian. Polisi mendata siapa yang meninggalkan rumah pada waktu kejadian, dan saya termasuk di antaranya,” katanya.
Ia juga mengungkapkan bahwa barang bukti seperti baju berlumur darah dan kapak telah ditemukan dan diperlihatkan padanya saat penyidikan.
"Waktu itu belum ada CCTV, jadi semua berdasarkan pengakuan dan barang bukti,” katanya.
Mengenai keberaniannya dalam melakukan tindakan brutal tersebut, Daeng Uli menjelaskan bahwa latar belakang hidupnya cukup keras.
"Sejak tamat SMA saya sudah hidup di jalanan, ke Jakarta, dan kerja sebagai penjaga tanah. Sering berurusan dengan masalah,” katanya.
Setelah bebas, Daeng Uli mendirikan organisasi masyarakat (ormas) bernama Lebah Hitam di Makassar, tempat ia menjadi ketua umum.
"Sebelumnya tidak pernah ikut organisasi, tapi setelah bebas saya mendirikan ormas itu,” katanya.
Saat ditanya tentang kehidupan di penjara, Daeng Uli mengungkapkan bahwa ia sempat kehilangan harapan.
"Saya divonis seumur hidup. Saya sudah pasrah. Tapi setelah vonis diringankan, saya berusaha hidup lebih baik,” katanya.
Kini, setelah menjalani hukumannya, Daeng Ulli mencoba menata ulang hidupnya.
Meski bayang-bayang masa lalu masih membekas, ia berharap bisa memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
7 Korban
Suasana mencekam di sebuah rumah Jalan Karunrung, Makassar saat ditemukan tujuh jasad dalam kondisi mengenaskan.
Tragedi ini menyisakan luka mendalam yang belum sembuh, bahkan setelah tiga dekade berlalu.
Pada 12 Maret 1995, terjadi pembantaian satu keluarga.
Korbannya Achmadi (34) kepala keluarga, istrinya Cecilia alias Syamsiah (30), keempat anak mereka Mashita (10), Andrianto (9), Indrawan (4), dan Lizanti (3), serta seorang asisten rumah tangga (ART) bernama Piddi (12).
Nurmi, kakak Piddi bercerita, saat ditemukan kondisi mayat mengenaskan.
Nurmi mengaku tidak melihat langsung mayat adiknya di Tempat Kejadian Perkara (TKP).
"Sudah dibawa ke rumah dalam kondisi luka parah khususnya di bagian wajah. Telinganya tidak ada. Bahkan bagian hidungnya rata. Hancur," kata Nurmi dalam Bahasa Makassar yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dalam Podcast Ngobrol Virtual bertajuk Buka Tabir Tragedi Karunrung 1995' di Studio Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Kamis (1/5/2025).
Sebenarnya, lanjut Nurmi, ART dikediaman Achmadi adalah saudaranya yang bernama Naneng.
Naneng sudah lama bekerja sebagai ART di kediaman Achmadi.
Naneng mendapat kabar jika ada yang mencari orang yang bisa membantu mencuci baju dan beberapa pekerjaan rumah tangga lainnya.
"Dari orang Karunrung juga (informasi kerjaan), yang pernah jadi tukang batu," ujar Nurmi.
Namun di hari kejadian, Naneng sakit sehingga kerjaannya digantikan Piddi.
Ketika Piddi tidak kunjung pulang, ibunya menyuruh Naneng mengecek ke rumah majikannya.
Pintu terkunci, Naneng mengintip lewat jendela kaca dan melihat ceceran darah.
Awalnya ia mengira itu hanya darah ayam potong, apalagi tak melihat siapa-siapa di dalam rumah.
Naneng pulang dan menyampaikan hal itu ke ibunya dan diputuskan mencari Piddi ke rumah saudara Achmadi.
Tak dapat kabar juga, Naneng melapor ke ketua RW setempat dan menceritakan apa yang ia lihat.
"Mungkin Pak RW yang hubungi polisi," ujarnya.
Saat itulah pembunuhan itu terungkap.
Tak hanya menyisakan duka, peristiwa ini juga menyisakan trauma mendalam bagi Nurmi sekeluarga.(*)
Cerita Eksekutor Karunrung, Daeng Ulli: Uang tak Diterima, Pengorder Tak Ditangkap, Saya Dibodohi! |
![]() |
---|
Nasib Terbaru Otak Pelaku Tragedi Karunrung Nur Salampessy |
![]() |
---|
Keluarga Piddi Korban Tragedi Karunrung 1995: Seandainya Kami Punya Cukup Uang |
![]() |
---|
Tragedi Karunrung 1995: Kisah Pilu Piddi ART Pengganti Tewas Dibantai |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.