Setelah Gubernur Konten, Dedi Mulyadi Dijuluki Mulyono Jilid 2, Kelakuan Mirip Jokowi saat Menjabat
Dedi Mulyadi juga dijuluki Mulyono jilid 2 karena aktivitasnya yang sering turun ke masyarakat, dan menjawab masalah langsung di lokasinya.
TRIBUN-TIMUR.COM - Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi kini mendapat julukan baru setelah gubernur konten.
Dedi Mulyadi kembali jadi sorotan setelah singgung Pemerintahan Provinsi DKI Jakarta.
Bahkan, Dedi Mulyadi sampai dijuluki "Mulyono Jilid 2".
Ia juga dijuluki sebagai "Jokowinya" Sunda.
Sebelumnya, Rudy Masud Gubernur Kalimantan Timur tuding Dedi Mulyadi sebagai Gubernur konten.
Hal tersebut disampaikan Rudy Mas'ud saat menghadiri rapat antara sejumlah gubernur dan Komisi II DPR di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Selasa (29/4/2025).
"Yang saya hormati Bu Wamendagri, terima kasih banyak Ibu Wamen, dan seluruh gubernur yang hadir hari ini. Kang Dedi, Gubernur Konten. Mantap nih Kang Dedi. Dan seluruh pejabat eselon I Kemendagri yang hadir. Bupati, wali kota via Zoom," ujar Rudy Mas'ud.
Lantas apa penyebabnya, Dedi Mulyadi dapat julukan baru?
Dedi Mulyadi mengaku punya ide dan gagasan buat DKI Jakarta.
Jika dia menjadi Pramono Anung, orang nomor satu di ibu kota saat ini, Dedi Mulyadi mengaku akan menggaji warganya Rp 10 juta per kepala keluarga.
Tidak bicara asal, gagasan Dedi didasari besarnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Jakarta dibandingkan dengan jumlah penduduk.
Hal itu disampaikan Dedi saat pidato di Musyawarah Nasional (Munas) Asosiasi DPRD Provinsi Seluruh Indonesia (ADPSI) Tahun 2025 di Bandung, Jawa Barat, Selasa (6/5/2025).
Dedi Mulyadi memberi hitung-hitungan perbandingan antara besaran APBD dengan jumlah penduduk Jakarta.
Besaran APBD Jakarta di kisaran Rp 90 triliun, sedangkan penduduk Jakarta ia genapkan menjadi 10 juta.
Dedi mengasumsikan satu kepala keluarga terdiri dari empat sampai lima orang, maka ada dua juta kepala keluarga di Jakarta.
"Jakarta ini Pak, penduduknya di bawah 10 juta, APBD-nya Rp 90 triliun. Kalau di Jakarta itu dari 10 juta (penduduk) ada 2 juta kepala keluarga, itu orang Jakarta bisa digaji per kepala keluarga Rp 10 juta. Karena Rp 10 Juta dikali 2 juta (kepala keluarga) hanya Rp 20 triliun. Kalau saya (jadi gubernurnya), bagi," kata Dedi Mulyadi.
Lantas, Dedi tidak bisa menggaji warganya di Jawa Barat karena jumlah penduduknya mencapai Rp 50 juta. Sedangkan APBD Jawa Barat per tahun 2024 hanya Rp 36 triliun.
"Beda, kalau Jabar 50 juta penduduk," jelasnya.
Pemaparan soal APBD itu bagian dari gagasan Dedi soal keadilan fiskal daerah.
Menurutnya, suatu daerah pada akhirnya harus menjadi mandiri.
Untuk mencapai kemandirian itu, diperlukan pembangunan berorientasi target yang berkemajuan.
"Pembangunan harus diselesaikan dalam waktu cepat, setelah itu berarah pada investasi. Gak bisa pembangunan gini-gini terus," kata Dedi.
Menurutnya, pembangunan tidak boleh mangkrak ataupun molor sampai ke tahun selanjutnya.
"Apa yang kita selesaikan dalam waktu 1 tahun, apa yang waktu 2 tahun, apa yang waktu 3 tahun, apa yang waktu 4 tahun, apa yang waktu 5 tahun, ini semuanya tidak boleh berulang, pekerjaan kemarin harus tidak boleh dikerjakan hari ini lagi."
"Kenapa, pembangunnya ke depan tujuannya untuk apa, agar fiskal ini, fiskal yang tahun kemarin itu tidak digunakan untuk tahun ini."
"Dan negara sudah mulai berpikir untuk membangun kemandirian," papar Dedi.
Ditanggapi PDI Perjuangan
Terkait pernyataan Dedi Mulyadi tersebut, Juru bicara PDI Perjuangan (PDIP) Guntur Romli meminta Dedi Mulyadi atau KDM tak usah ikut campur mengurusi Jakarta.
Dia menekankan agar Politikus Gerindra ini mengurus Jabar saja.
"Saya tidak paham maksud pernyataan Kang Dedi, apa dia seperti yang dikatakan pepatah 'rumput tetangga lebih hijau' yang menggambarkan perasaan seseorang yang selalu merasa apa yang dimiliki orang lain lebih baik atau lebih bagus daripada yang mereka miliki," kata Guntur Romli kepada wartawan, Selasa (13/5/2025).
"Ini bisa terkait dengan ketidakpuasan pada diri sendiri atau rasa iri hati terhadap keberhasilan atau kebahagiaan orang lain," sambungnya.
Menurutnya, bagi-bagi uang untuk setiap Kepala Keluarga (KK) tidak berarti adil. Sebab, tidak semua KK di Jakarta layak diberikan itu.
"Masa keluarga yang kaya juga diberikan uang?"ujarnya.
Romli menilai, prinsip keadilan adalah sesuai kebutuhan.
Misalnya, bantuan-bantuan mestinya diberikan kepada warga Jakarta yang membutuhkan seperti KJP, KJS, KMJU, Bansos, menggratiskan transportasi publik untuk 15 golongan, serta hibah-hibah lainnya yang harus tepat sasaran.
"Bukan dibagi-dibagi gak jelas yang tidak tepat sasaran. Saya kira Kang Dedi dipilih warga Jabar untuk fokus ngurus Jabar, tidak perlu ikut-ikut ngurus Jakarta,"pungkas Romli.
Sebelumnya, Staf Khusus Gubernur dan Wakil Gubernur Jakarta Bidang Komunikasi Publik, Cyril Raoul Hakim alias Chico Hakim turut menanggapi pernyataan Dedi Mulyadi.
Chico Hakim mengatakan, apa yang disampaikan Dedi karena saking semangatnya.
Sehingga terjadi kesalahan hitung.
"Mungkin terlalu bersemangat, jadi salah hitung," kata Chico kepada wartawan, Senin (12/5/2025).
Sering turun ke masyarakat alias blusukan
Dedi Mulyadi juga dijuluki Mulyono jilid 2 karena aktivitasnya yang sering turun ke masyarakat, dan menjawab masalah langsung di lokasinya.
Di media sosial, aksi Dedi itu dihubung-hubungkan dengan gaya politik Jokowi yang juga sering turun ke masyarakat, karib dengan sebutan blusukan.
Jokowi pun meraih popularitas karena gaya blusukannya hingga bisa menaiki anak tangga pimpinan eksekutif, dari Wali Kota Solo, Gubernur Jakarta hingga Presiden Indonesia dua periode (2014-2024).
Namun, pengamat politik Burhanuddin Muhtadi melihat perbedaan telak antara Dedi Mulyadi dan Jokowi.
"Sebenarnya kalau menyebut seorang KDM (Kang Dedi Mulyadi) versi lain dari Jokowi, Jokowi versi 2.0 itu enggak seluruhnya benar juga sih," kata Burhan, sapaan karib sang pengamat, saat bicara di program On Point with Adisty, Youtube Kompas TV, tayang Sabtu (10/5/2025).
Menurut Burhan, Dedi Mulyadi sangat artikulatif, sedangkan Jokowi tidak.
Seorang Dedi Mulyadi bisa menghadapi masalah dengan berdialog, diskusi hingga berdebat.
Burhan menyontohkan salah satu peristiwa yang membuat nama Dedi Mulyadi populer di Purwakarta.
Saat itu dia menjabat Anggota DPRD Purwakarta (1999-2004).
Setelahnya, ia menjadi Wakil Bupati dan Bupati Purwakarta.
"Kalau kita lihat jejaknya KDM ini, misalnya waktu dia menjadi anggota DPRD Purwakarta, waktu itu Purwakarta penuh dengan demo buruh."
"Ketika koleganya dari anggota DPRD Purwakarta tidak mau menemui demo-demo buruh, dia temuin. Ramai terjadi perdebatan sangat sengit gitu ya, tetapi setelah demo itu dia justru populer karena berani mendebat dan sekaligus mengajak dialog mereka yang kontrak."
"Setelah itu dia maju sebagai kepala daerah kan dan sukses," papar Burhan.
Burhan menegaskan, seorang Jokowi tidak bisa seperti Dedi Mulyadi dalam hal berdialog seperti peristiwa dengan buruh itu.
"Sesuatu yang kalau kita bayangkan seorang Pak Jokowi agak beda. Pak Jokowi itu kan lebih banyak senyum, kalau ditanya, 'Ya kok tanya saya' gitu ka," kata Burhan.
Sebaliknya, kata Burhan, Dedi Mulyadi juga tidak mungkin bersikap seperti Jokowi yang sedikit bicara.
"Itu enggak mungkin pernyataan itu keluar dari KDM. KDM pasti menjawab," jelasnya.
Salah satu faktor perbedaan Dedi Mulyadi dengan Jokowi adalah latar aktivismenya di kampus.
"Karena latar belakangnya juga beda kan. Pak Jokowi latar belakang aktivismenya waktu mahasiswa di mapala, KDM aktivis murni ini, dia aktivis di HMI, aktif di organisasi kemudaan," ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia.
Dobrak Sekat Politik
Burhanuddin juga melihat sosok Dedi Mulyadi adalah politikus yang mendobrak sekat politik nasional.
Di antara sekat itu adalah bagaimana Jakarta selalu menjadi sorotan utama, sehingga gubernurnya memiliki peluang besar berkiprah di level Pilpres.
Begitupun dari sudut etnik, biasanya tokoh yang menjadi capres ataupun cawapres datang dari etnis Jawa karena jumlahnya yang besar.
Sedangkan Dedi Mulyadi adalah seorang Sunda, yang menjadi pemimpin di Jawa Barat.
Burhanuddin mengatakan, dengan segala identitas yang melekat, menurutnya, Dedi Mulyadi merupakan kepala daerah paling populer saat ini.
"Hari ini tidak ada kepala daerah gubernur atau bupati yang mengalahkan popularitasnya KDM (Kang Dedi Mulyadi)," kata Burhanuddin di program On Point with Adisty, Youtube Kompas TV, tayang Sabtu (10/5/2025).
"Ini saya ngomong sebagai pollster ya. Artinya bobotnya secara akademik bisa saya pertanggungjawabkan," imbuhnya.
Burhanuddin pun memaparkan soal dasar argumennya terkait Dedi Mulyadi yang sukses menggeser Jakarta dari sorotan nasional.
"Biasanya popularitas kepala daerah itu bermula di Jakarta Kenapa Karena Jakarta adalah pusatnya pemerintahan, pusatnya informasi, pusatnya opinion maker."
"Itu yang menjelaskan naiknya seorang Jokowi. Itu yang menjelaskan naiknya seorang Anies Baswedan. Ya Tetapi sekarang justru dibalik ke Jawa Barat."
"Dedi Mulyadi mendobrak itu," papar Burhanuddin.
Soal etnik, Burhanuddin juga menyebut sejumlah nama politikus yang bersinar berasal dari Jawa. Menurutnya, Dedi Mulyadi sudah bisa bersanding dengan nama-nama tersebut.
"Menarik pula untuk kita lihat biasanya kepala daerah yang populer itu yang punya latar belakang etnik Jawa. Jokowi, Ganjar Pranowo, Anies meskipun kita tahu tidak sepenuhnya Jawa, tetapi besar di Jogja ya."
"Ini Sunda gitu kan, etnik terbesar kedua memang tetapi selisihnya dibanding etnik Jawa dari sisi persentase kan jauh."
"Jadi ada banyak terobosan-terobosan yang diciptakan oleh KDM dengan segala kontroversinya," kata Burhanuddin.
Pernah puji penampilan Gibran saat debat Pilpres
Dedi Mulyadi pernah menilai, Gibran Rakabuming Raka, sukses dalam menjalani Debat Pilpres 2024 yang digelar KPU RI, pada Jumat (22/12/2023) lalu.
Dedi menyebut penampilan Gibran dalam acara tersebut merupakan jawaban bagi pihak-pihak yang selama ini kerap meremehkan orang lain karena penampilannya.
“Debat kemarin memberikan gambaran dan kekecewaan, yang kecewa adalah mereka yang sudah berangan-angan bahwa debat itu akan menjadi pembantaian yang luar biasa terhadap Mas Gibran," kata Dedi Mulyadi, dalam pernyataannya, Minggu (24/12/2023).
"Ternyata yang terjadi sebaliknya, para buaya tidak berkutik oleh orang yang dianggap cicak,” sambungnya.
Dari penampilan Gibran, Menurut Dedi, justru menunjukkan bahwa putra sulung Presiden Joko Widodo (Jokowi) itu merupakan sosok yang selalu merendah sehingga kerap direndahkan.
Tapi dalam perhelatan debat kemarin, lanjutnya, Gibran justru tampil memukau dan mampu membuktikan bahwa ia memiliki kemampuan lebih dari dua orang Cawapres lainnya.
“Terima kasih Mas Gibran yang telah membuat kami bangga. Orang sangka Mas Gibran cupu tapi ternyata suhu yang mampu memperlihatkan kemampuan berdebat berdasarkan pengalaman yang dimiliki," ujar Dedi.
"Bahkan ada salah satu calon yang tidak mengerti salah satu istilah yang Mas Gibran sampaikan,” lanjutnya.
Karena itu, Dedi Mulyadi berharap gelaran debat kemarin menjadi pembelajaran bagi masyarakat agar hidup saling menghargai, menghormati, dan tidak merendahkan orang lain.
“Sehat selalu Mas Gibran dan sukses, dan Pak Prabowo teruslah bersemangat, ikhlas dalam hidup, karena pada akhirnya keikhlasan akan memetik hasil dalam perjalanan yang telah dilakukan” pungkasnya.
Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com dengan judul INILAH yang Bikin Gubernur Jabar Dedi Mulyadi Dijuluki Mulyono Jilid 2
Silaturahim Bolak-Balik Prabowo-Jokowi |
![]() |
---|
Isi Surat Abu Bakar Ba’asyir untuk Prabowo, Jokowi Beda Lagi |
![]() |
---|
Mengapa Gibran Disebut Sulit Dampingi Prabowo di Pilpres 2029 saat Jokowi Serukan 2 Periode? |
![]() |
---|
Profil Suparmanto Klaim Ketua PPP yang Baru, Hanya 3 Bulan Jadi Menteri Jokowi |
![]() |
---|
CEK FAKTA: Jokowi Jadi Ketua Dewan Pembina PSI |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.