Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Bambang Widjojanto Mengenang Sahabatnya Mappinawang dalam Filosofi Bugis

Kenangan itu jadi artikel pertama di antologi artikel Mengenang Jejak MAPPINAWANG; Santri Pejuang HAM dan Demokrasi (Akar Indonesia 2025).

Editor: Sudirman
Ist
MAPPINAWANG - Bambang Widjojanto (65) menulis artikel "in memoriam" untuk sahabatnya, Mappinawang Yusuf (1963-2025). Tulisan Bambang, itu dimuat halaman pengantar kedua buku setebal 531 halaman. 

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM -- Sahabat selalu punya cara mengenang karibnya.

Dan, Bambang Widjojanto (65) menulis artikel "in memoriam" untuk sahabatnya, Mappinawang Yusuf (1963-2025).

Kenangan itu jadi artikel pertama di antologi artikel Mengenang Jejak MAPPINAWANG; Santri Pejuang HAM dan Demokrasi (Akar Indonesia 2025).

Tulisan Bambang, itu dimuat halaman pengantar kedua buku setebal 531 halaman.

Tim penyunting (Armin Mustamin Toputiri, Wahyuddin Kessa dan Baharuddin Moenta) menempatkan artikel Bambang untuk Mappinawang, setelah Sajak D. Zawawi Imron (79), berjudul "Mencari Bisik" (untuk Mappinawang). 

Kamis (8/5/2025) siang, buku itu dibedah di Gedung IMMIM, Makassar.

Baca juga: Rektor UNM Prof Karta Jayadi: Mappinawang Sosok Religius dan Punya Karakter Sulapa Appa

Dalam catatan Tribun, inilah event bedah biografi paling prestisus san banyak dibincangkan publik Makassar, dan diulas di media sosial  dalam satu dekade terakhir, dan dalam sebulan lebih diterbitkan jadi buku.

Tulisan Bambang ini jadi istimewa di acara itu, sebab pria Jawa kelahiran Jakarta itu memberi perspektif filosofi Bugis untuk mengenang sahabatnya.

Berikut tulisan, Bambang Widjojanto sang aktivisi probono, 

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) periode 1995-2000, serta Komisioner KPK 2011-2015.

Bambang mengatribusi venue tulisan itu dari kediamannya di Kawasan Depok, Tengerang.

Artikel. ini ditulis "ujung Syaban, Menjelang Awal Ramadan 1446 Hijriyah, atau hanya beberapa pekan setelah Mappinawang wafat, 28 Januari 2025 di Malino, Gowa.

Judul tulisan itu; Dari Makassar dan Papua,Mampir ke Jakarta lalu ke Den Haag

Pembukaan

Saya mengikuti kiprah Mappinawang di Makassar, hingga nyaris di ujung hayatnya, karena kami sedang menangani suatu kasus bersama.

Kami juga pernah bersama-sama; saya dari Papua, sementara sobat Mappi dari Makassar, kami bertemu di Den Haag, untuk mengikuti International Human Rights.

Program yang diselenggarakan oleh The Hague Academy of International Law, di Kota Den Haag, Nederland.

Mappi adalah pengganti saya, sebagai Ketua Dewan Pengurus Yayasan LBH Indonesia bersama kolega lainnya menjadi Presidium Dewan Pengurus di ujung Tahun 2000.

Qua Vadis Aktivis Makassar:

Mengulik untuk Memahami Sosok Mappinawang

Tak banyak yang paham, apa makna nama Mappinawang dalam Bahasa Bugis. Dalam percakapan semasa Mappi ada, tidak ada juga pertanyaan mengusik yang mencoba mencari tahu, apa kira-kira makna nama Mappinawang dengan bertanya langsung pada si pemilik nama.

Padahal nama itu, setidaknya bagi penulis, khas dan unik, tapi justru, kenapa tidak banyak menjadi pilihan bagi para orang tua Bugis–Makassar yang akan memberi nama itu pada anaknya.

Itu sebabnya tetiba, rasa “penasaran” sekonyong hadir terserempak untuk mengetahui makna harfiah dari Mappinawang, ketika akan menulis In Memorian Mappinawang.

Saya menyadari seutuhnya, bahkan meyakini, nama memiliki makna yang mendalam dan acapkali mencerminkan identitas spiritualitas seseorang.

Pada tradisi keluarganya yang kental keislamannya, nama yang diberikan orang tua, bisa jadi, adalah harapan yang sekaligus doa bagi dan untuk pemiliknya.

Kata Mappinawang dalam budaya Bugis-Makassar, bukanlah nama gelar seperti Mappajung, Mappasena atau Mappasessu yang terkait dengan kebangsawanan, kepemimpinan atau peran sosial.

Frasa Mappinawang dapat dipisah menjadi dua kata, yaitu Mappi dan Nawang. “Mappi” dalam literatur bahasa, biasa disebut sebagai prefix yang merupakan awalan dari suatu kata dasar yang dapat menunjukkan adanya suatu tindakan atau keadaan.

Adapun “Nawang” dapat berasal dari suatu kata yang berarti melihat, memperhatikan, atau memiliki wawasan.

Apakah nama itu yang memberikan kontribusi bagi sikap dan perilaku Mappinawang dalam tindak tanduk kesehariannya?

Bukankah kita semua, tidak ada yang meragukannya, adalah sosok yang memiliki wawasan, di sebagiannya, melebihi pikiran, pandangan dan pengetahuan para koleganya sendiri?

Apakah itu karena Mappinawang adalah pemerhati yang melihat sesuatu dengan kedalaman tertentu sehingga menyentuh hal paling subtil dan autentik sehingga sontak dalam suatu percakapan, terucap pernyataan darinya atas suatu pandangan yang tak pernah terpikirkan sebelumnya yang menyadarkan kita semua.

Berpijak dari fakta di atas, diyakini ada banyak kalangan tahu dan bahkan mengerti, siapa itu Mappinawang dalam seluruh kiprahnya dalam Gerakan Masyarakat Sipil di Makassar dan juga Sulawesi Selatan.

Setidaknya, mereka yang pernah bersentuhan dengan gerakan LBH Makassar dan kekuatan Masyarakat Sipil lainnya pada tahun 80-an, periode Reformasi hingga periode awal
tahun 2025-an.

Pada keseluruhan konteks tahun di atas, dia hadir tanpa jeda. Mappi, bukanlah tokoh yang harus dinilai dari kemampuan orasi yang membuat khalayak takjub, terkesima dan tersihir dengan rangkaian kata memesona, karena memang dia bukan orator.

Namun, tak ada satu pun yang dapat memungkiri, perjalanan karirnya sebagai aktivis kemanusiaan, demokrasi dan anti korupsi dilakukannya dengan istiqomah, integritasnya tak pernah digadaikannya, sejengkal pun, sedetik pun, agar kehidupannya menjadi lebih “mapan”, kendati di tengah kemarau panjang yang terus “menikam” kehidupan.

Mappi juga bukan seorang “Korlap” yang senantiasa berdiri di barisan terdepan, karena punya pretensi untuk mengomando para koleganya, dan memperlihatkannya pada labirin kekuasaan, sembari “mengancam” dan “manantang” siapa pun yang berani datang mengadangnya, karena pasti akan diterjangnya.

Mappi, juga bukan tipikal orang yang mudah memberikan judgement yang terburu-buru pada situasi yang tidak pernah dipahaminya secara utuh, apalagi menyebarluaskan untuk menyudutkan pihak yang vis a vis sedang berhadapan dengannya.

Yang kami lihat dan rasakan, kesederhanaannya adalah pijakan kekuatannya.

Karena dia tidak menukar kepribadiannya dengan meninggikan gaya hidupnya, agar terlihat lebih keren dan eksklusif, agar mendapatkan sanjungan dan kehormatan.

Ketegasannya yang dibalut pernyataan yang lembut, justru menjadi ciri khas ketangguhannya yang membuat kawan dan lawan mengikuti, sebagian besar dari yang diusulkan dan disarankannya.

Yang paling penting, respek menjadi alat tukar dalam suatu pertukaran atau perkelahian gagasan.

Yang sangat penting untuk dicatat, Mappi tidak pernah lari dari dan bersembunyi dari amanah yang dibebankan di atas pundaknya, serta tak jarang, mengambilalih tanggung jawab dalam satu situasi kritikal, ketika banyak kalangan ragu untuk menunaikannya, padahal ada “taruhan” kepentingan hajat hidup dan kemaslahatan publik dari persoalan itu.

Belajar Bersama di Den Haag: Merekat Silaturahim tanpa Jeda dan Batas

Pada suatu ketika, Tahun 1990-an awal, ada tawaran untuk mengikuti suatu program di luar negeri. Program itu bernama International Human Rights Programs yang diselenggarakan oleh The Hague Academy of International Law, di Kota Den Haag, Nederland. 

Yayasan LBH Indonesia meminta kami mengirimkan curriculum vitae, karena hanya suitable kandidat saja yang bisa mendapatkan program dimaksud.

Siapa nyana, itulah kali pertama saya bersama Mappinawang mengikuti pelatihan internasional hampir selama satu bulan.

Kami ditempatkan di keluarga Belanda di berbagai daerah di Den Haag, dengan tempat pelatihannya di salah satu Istana Kerajaan Belanda yang Paleis Kneuterdijk di Den Haag.

Lokasi dan tempat kursus “terbaik” sepanjang hidup, hingga sampai saat ini. Pesertanya tidak hanya berasal dari negara di Asia saja, tetapi juga di Afrika, dengan pengajar yang sebagian besar adalah para professor dari berbagai universitas di negara Eropa, selain dari negeri Belanda sendiri.

Kedekatan dengan Mappinawang dimulai dari suatu tempat nun jauh di Den Haag, Belanda.

Negeri di mana secara historis “menghisap” hampir sempurna, sebagian besar kekayaan dari Republik yang dipersembahkan untuk Kerajaan Belanda, dalam kurun waktu yang begitu lama, tak sekadar hanya seabad saja seperti tersebut dalam Sejarah Indonesia.

Dalam suatu percakapan lepas, kami selalu mengingatkan satu dan lainnya, apa yang kami dapatkan di salah satu pusat pendidikan terbaik di dunia, di bidang Hak Asasi manusia, sudah seharusnya diberikan pada kami dan putra-putri Indonesia lainnya.

Saya selalu bilang, “Mappi, semua fasilitas dari pelatihan ini berasal dari kekayaan Indonesia, jadi jangan sungkan untuk ‘memanfaatkannya’ secara maksimal.”

Saya pernah melihat satu set ukiran wayang berupa sendok, garpu dan tempat makan lainnya di lokasi tempat kami tinggal, juga sudah dikonfirmasi Mappi.

Hal serupa juga ditemukan dan didapatkan pada keluarga orang Belanda di mana tempat almarhum Mappi tinggal.

Pada hari weekend, kami biasanya pergi bersama dengan kolega lain peserta pelatihan mengunjungi berbagai objek wisata yang ada di Belanda.

Hampir semua objek wisata di Den Haag sudah kami kunjungi. Antara lain: di Binnenhof (Kompleks parlemen tertua yang masih digunakan di dunia), Vredespaleis (Peace Palace),
yaitu rumah bagi Pengadilan Internasional (ICJ) dan tentu saja, Pantai Scheveningen, pantai populer dengan dermaga dan banyak restoran seafood yang hanya kami lihat dari kejauhan.

Ada 3 (tiga) hal lagi yang masih tak lekang dari ingatan ketika bersama almarhum tetirah di Belanda, yaitu: Keukenhof, kami pergi bersama ke lokasi wisata bunga tulip yang paling terkenal di dunia; Madurodam.

Kami juga sempat mengunjungi tempat wisata berisi miniatur bangunan di Belanda, di mana hampir semua landmark dan kota terkenal di Belanda dalam skala 1:25 ada di sana.

Pada suatu sore, sembari berjalan santai menyusuri jalan di Kota Den Haag, kami menemukan, salah satu yang “unik.”

Ternyata, hampir sebagian besar nama kota di Indonesia dijadikan nama jalan di Belanda, khususnya di Den Haag, sehingga bisa dengan mudah didapatkan alamat berupa: Solo Straat, Sunda, Jakarta, Bandung, Deli hingga Bangka Straat dan lainnya.

Penutup

Tulisan ini hanyalah serpihan bersama Mappinawang, dan dapat menjadi bagian dari buku yang didedikasikan padanya, yang tidak diragukan lagi kiprah, hati dan keberpihakannya pada kemanusiaan, keadilan, demokrasi dan tindak anti korupsi.

Terima kasih pada semua, atas inisiatif dan ikhtiar untuk menjadikan buku ini hadir dengan segala keterbatasan dan kekuatannya.

Ada tanya yang terus mengganjal, apakah ini cukup untuk “menghargai” dan “membalas” segala bijak dan budi yang sudah disemai almarhum.

Jalan terjal yang kita harus tapaki pada tahun mendatang, makin sulit dan kompleks, sehingga memerlukan ketangguhan, ketahanan dan kegigihan yang paripurna. Di sisi lainnya, kita miskin keteladanan dan rapuh dalam mengonsolidasi kekuatan.

Mungkinkah, almarhum Mappi menjadi titik awal bagi kita untuk berpijak dengan mereplikasi keteladanan terbaik yang dimilikinya dan mengombinasikannya dengan akal budi dan
kewarasan dari penerusnya, aktivis berikutnya.

Doa terbaik agar ruh almarhum diterima hanya di sisi terbaik di pelukan Khaliknya.

Depok, ujung Syaban, Menjelang Awal Ramadan 1446

 

 

Sumber: Tribun Timur
  • Ikuti kami di
    AA

    Medium

    Large

    Larger

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved