Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tragedi Karunrung

Nasib Terbaru Otak Pelaku Tragedi Karunrung Nur Salampessy 

Orang yang dianggap otak adalah Nur Salampessy saat ini masih hidup dan bekerja serabutan di Kota Makassar.

Editor: Muh Hasim Arfah
dok tribun/istimewa
OTAK PELAKU KARUNRUNG- Orang yang dianggap otak adalah Nur Salampessy saat berada di Pengadilan Negeri Makassar beberapa waktu lalu. Nurmi, kakak Piddi menjelaskan tragedi Karunrung dalam Podcast Ngobrol Virtual Bertajuk Buka Tabir Tragedi Karunrung 1995 di Studio Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Kamis (1/5/2025). 

TRIBUN-TIMUR.COM- Tragedi Karunrung masih membekas di ingatan warga Makassar

Sebanyak tujuh jasad ditemukan dalam kondisi mengenaskan. 

Pada 12 Maret 1995, terjadi pembantaian satu keluarga.

Korbannya Achmadi (34) kepala keluarga, istrinya Cecilia alias Syamsiah (30), keempat anak mereka Mashita (10), Andrianto (9), Indrawan (4), dan Lizanti (3), serta seorang asisten rumah tangga (ART) bernama Piddi (12).

Pelaku pembantaian ada enam orang. 

Mereka adalah Syarifuddin alias Boa, Muh Rusli alias Ulli, Abdullah Hasan alias Bado, Haerul Muhsin alias Ical, dan Alius Arman alias Arman.

Orang yang dianggap otak adalah Nur Salampessy

Pria ini divonis seumur hidup oleh Pengadilan Negeri (PN) Ujung Pandang pada 1995. 

Salinan Putusan Pengadilan Negeri Ujung Pandang Nomor: 514/PTS.PID.B./1995/PN.UJ.PDG yang memvonis Nur penjara seumur hidup. Pria kelahiran Ujung Pandang 25 Desember 1955.

Hakim untuk Nur Salampessy adalah Hakim Ketua Benyamin Sambelintin, Hakim Anggota I Husni Nasucha, dan Hakim Anggota II Hj Andi Norma.

Salampessy kini telah menghirup udara bebas dan bekerja sebagai juru parkir di Makassar

Hingga usianya kini genap 68 tahun, Salampessy menegaskan dirinya bukanlah otak pembantaian Karunrung.

Luka Korban 

Tragedi Karunrung 1995 menyisakan trauma mendalam bagi keluarga korban. 

Piddi, yang saat itu menggantikan kerjaan Naneng kakaknya yang lagi sakit, tewas dibantai. 

Sang ibu sangat terluka dengan kematian anaknya.

Nurmi, kakak Piddi mengatakan setelah insiden itu, kondisi kesehatan ibunya menurun. 

Padahal ibunya tulang punggung keluarga.

Setiap hari, ia menjajakan kue-kue tradisional di Batu Putih. 

"Ayah sudah meninggal. Sejak kejadian ibu sakit-sakitan selama enam tahun hingga meninggal, " kata Nurmi dalam Bahasa Makassar yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dalam Podcast Ngobrol Virtual Bertajuk Buka Tabir Tragedi Karunrung 1995 di Studio Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Kamis (1/5/2025). 

Kondisi ekonomi terbatas, lanjut Nurmi, membuat keluarga tidak mampu memperjuangkan keadilan lewat jalur hukum. 

Meski pelaku sudah ditangkap dan telah bebas, keluarga besarnya tetap terluka dan kecewa. 

"Tidak pernah ada permohonan maaf. Tapi saya tidak mau bertemu (dengan pelaku)," katanya menahan tangis. 

Nurmi juga sempat mendengar kabar bahwa pelaku yang ditangkap hanyalah eksekutor yang dibayar oleh dalang. 

Namun informasi ini tidak pernah secara resmi ditindaklanjuti polisi. 

"Yang paling menyakitkan, seandainya kami punya cukup uang mungkin kami masih bisa menempuh jalur hukum," tutur Nurmi

"Dalam kondisi seperti ini, kami hanya bisa berharap agar tidak ada lagi keluarga lain mengalami hal seperti ini," lanjutnya. 

Ia pun berharap suatu hari nanti kebenaran benar-benar ditegakkan.

Satu Keluarga Plus ART Tewas Dibantai

Pada 12 Maret 1995, terjadi pembantaian satu keluarga di Jalan Karunrung, Makassar.

Korbannya Achmadi (34) kepala keluarga, istrinya Cecilia alias Syamsiah (30), keempat anak mereka Mashita (10), Andrianto (9), Indrawan (4), dan Lizanti (3), serta seorang asisten rumah tangga (ART) bernama Piddi (12).

Nurmi, kakak Piddi bercerita, saat ditemukan kondisi mayat mengenaskan.

Nurmi mengaku tidak melihat langsung mayat adiknya di Tempat Kejadian Perkara (TKP).

"Sudah dibawa ke rumah dalam kondisi luka parah khususnya di bagian wajah. Telinganya tidak ada. Bahkan di bagian hidungnya juga rata. Hancur," kata Nurmi dalam Bahasa Makassar yang diterjemahkan ke Bahasa Indonesia dalam Podcast Ngobrol Virtual bertajuk Buka Tabir Tragedi Karunrung 1995' di Studio Tribun Timur, Jl Cendrawasih, Makassar, Kamis (1/5/2025).

Sebenarnya ART dikediaman Achmadi adalah Naneng, kakak Piddi.

Naneng sudah lama bekerja sebagai ART di kediaman Achmadi

Naneng mendapat kabar jika ada yang mencari orang yang bisa membantu mencuci dan beberapa pekerjaan rumah tangga lainnya.

"Dari orang Karunrung juga (informasi kerjaan) yang yang pernah jadi tukang batu," ujar Nurmi.

Namun di hari kejadian, Naneng sakit sehingga kerjaannya digantikan Piddi.

Ketika Piddi tidak kunjung pulang, ibunya menyuruh Naneng mengecek ke rumah majikannya. 

Pintu terkunci, Naneng mengintip lewat jendela kaca dan melihat ceceran darah. 

Awalnya ia mengira itu hanya darah ayam potong, apalagi tak melihat siapa-siapa di dalam rumah.

Naneng pulang dan menyampaikan hal itu ke ibunya dan diputuskan mencari Piddi ke rumah saudara Achmadi.

Tak dapat kabar juga, Naneng melapor ke ketua RW setempat dan menceritakan apa yang ia lihat.

"Mungkin Pak RW yang hubungi polisi," ujarnya.

Saat itulah pembantaian itu terungkap.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved