Kematian Suparta Terdakwa Timah Berdampak Besar Bagi Keluarga, Putusan Pidana Gugur, Perdata Lanjut
Selain kehilangan sosok yang dicintainya, keluarga juga harus menanggung beban perdata yang ditinggalkan Suparta.
TRIBUN-TIMUR.COM - Kematian Suparta terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah di wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk pada tahun 2015–2022 berdampak besar pada keluarga.
Suparta meninggal pada Senin (28/4/2025) di Lapas Cipinang, Bogor, Jawa Barat.
Secara hukum pidana, hukuman Suparta terputus. Namun proses perdata masih lanjut.
Pihak keluarga harus merasakan dampak kepergian Suparta.
Selain kehilangan sosok yang dicintainya, keluarga juga harus menanggung beban perdata yang ditinggalkan Suparta.
Banyak yang bertanya-tanya soal bagaimana dengan kelanjutan kasus hukumnya.
Apakah konsekuensi hukum yang dibebankan ke Suparta akan diserahkan kepada ahli waris atau dihapuskan?
Ahli hukum pidana dari Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar menjelaskan, perbuatan melanggar hukum yang dilakukan Suparta mencakup pidana dan perdata.
Adapun tuntutan pidana berupa hukuman kurungan akan digugurkan lantaran terdakwa sudah almarhum.
Abdul Ficar Hadjar mendasarkan penjelasannya atas Pasal 77 KUHP (Kita Undang-Undang Hukum Pidana).
“Matinya seseorang menghapuskan tuntutan pidananya. Jadi, kematian itu menghilangkan atau menggugurkan kewenangan negara untuk menuntutnya,” kata Abdul Ficar kepada Kompas.com, Selasa (29/4/2025).
Senada, Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Harli Siregar, mengatakan, tuntutan pidana terhadap Suparta langsung gugur sesuai Pasal 77 KUHP.
“Kalau berdasarkan Pasal 77, itu merupakan salah satu alasan gugurnya kewenangan penyidikan atau penuntutan apabila pelaku meninggal dunia,” kata Harli di kantornya, Selasa.
Soal denda dan ganti rugi
Sementara itu, terkait dengan gugatan perdata berupa ganti rugi dalam bentuk uang, atau penyitaan aset jika ganti rugi uang tidak dapat dipenuhi, akan dialihkan kepada ahli waris.
Harli menegaskan bahwa gugatan perdata akan tetap berjalan.
Namun, hal itu akan dikaji lagi oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU).
“Ke ahli waris, di aturannya seperti itu, tapi nanti bagaimana prosesnya kita mulai dulu bagaimana sikap dari penuntut umum akan dikaji dulu,” ujar Harli.
Mengacu pada Pasal 34 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang mengatur apabila terdakwa meninggal dunia, kata Harli, jaksa penuntut umum akan menyerahkan berita acara persidangan kepada jaksa pengacara negara untuk melakukan gugatan perdata.
"Jadi, penuntut umum akan bekerja untuk melakukan analisis kemudian dikaitkan dengan aturan perundang-undangan, baik terhadap status yang bersangkutan maupun terhadap upaya pengembalian kerugian keuangan negara," ujarnya.
Sebagai informasi, Suparta terbukti menerima aliran dana sebesar Rp 4,57 triliun dan melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dari dana yang diterima.
Suparta dijatuhi hukuman penjara selama 8 tahun, denda Rp 1 miliar subsider pidana kurungan selama 6 bulan, serta membayar uang pengganti senilai Rp 4,57 triliun subsider 6 tahun penjara oleh Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta.
Pada Februari 2025, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memperberat vonis pidana penjara Suparta menjadi 19 tahun, setelah menerima permintaan banding dari penuntut umum dan Suparta selaku terdakwa dalam kasus tersebut.
Untuk pidana denda, hukuman terhadap Suparta tetap sebesar Rp 1 miliar dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka akan diganti (subsider) dengan pidana kurungan selama 6 bulan.
Sementara pada pidana tambahan, Majelis Hakim menetapkan uang pengganti yang dibayarkan Suparta tetap sebesar Rp 4,57 triliun.
Namun, hukuman pengganti apabila Suparta tidak membayarkan uang pengganti tersebut diperberat Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menjadi 10 tahun penjara.
Usai dijatuhi putusan banding, Suparta mengajukan kasasi di Mahkamah Agung.
Berdasarkan Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, pengiriman berkas kasasi dilakukan pada 13 Agustus 2024, dengan nomor 72/Pid.Sus-TPK/2024/PN Jkt.Pst.
Sekilas soal meninggalnya Suparta
Suparta meninggal dunia pada Senin (28/4/2025) di Lapas Cibinong, Bogor, Jawa Barat, diduga kuat karena sakit.
Kronologi meninggalnya terdakwa kasus korupsi pengelolaan tata niaga komoditas timah itu terjadi pada hari Senin, sekitar sore hari.
Suparta ditemukan tidak sadarkan diri oleh rekan sesama narapidana di dalam lapas.
Dia akhirnya dibawa ke RS Cibinong untuk mendapatkan penanganan medis.
“Jadi, dia ditemukan tidak sadarkan diri oleh teman-temannya di lapas,” kata Harli.
Harli mengatakan, saat perjalanan ke RS Cibinong, Bogor, Suparta dinyatakan meninggal pada pukul 18.05 WIB.
“Dia tidak sadarkan diri lalu dia bawa ke RS dan kemudian di jalan dinyatakan meninggal,” ujar Harli. Namun demikian, tidak diketahui secara pasti apa penyebab meninggalnya Suparta tersebut.
Harli menduga bahwa meninggalnya Suparta karena sakit.
“Kemungkinan sakit, tapi sakit apa tidak tahu, hanya terima surat kematian saja,” tegas Harli.
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Suparta Terdakwa Korupsi Timah Meninggal, Ahli Waris Harus Ganti Rugi Triliunan"
Sosok Suparta Terdakwa Korupsi Timah Meninggal saat Ditahan, Kejagung Tak Tahu Penyakitnya |
![]() |
---|
Deretan Aset Harvey Moeis Disita Imbas Korupsi, Ada Mobil Rp14 M, Tanah Sandra Dewi Ikut Dirampas |
![]() |
---|
Bukannya Ringan, Putusan Banding Bos Terdakwa Korupsi Timah Bertambah 11 Tahun, Denda Rp4,5 Triliun |
![]() |
---|
Jika Harvey Moeis tak Bayar Rp420 M Uang Pengganti, Hukuman Ditambah 10 Tahun |
![]() |
---|
Mahfud MD: Tiga Hakim Tertawa saat Vonis Harvey Moeis Buat Sakit Hati Masyarakat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.