Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Masjid Jami' Nurul Mu’minin: Jejak Sejarah dan Keteguhan Iman di Makassar

Sultan Muhammad Zainal Abidin, Raja Gowa saat itu, sering melewati lokasi ini dalam perjalanannya antara Istana Kerajaan Gowa dan Istana Kerajaan Tall

Editor: Saldy Irawan
Tribun-Timur.com/Muslimin Emba
MASJID TUA - Suasana Masjid Jami' Nurul Mu'minin yang berdiri sejak 1835 Jl Urip Sumoharjo, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar, Selasa (4/3/2025) sore. Masjid Jami' Nurul Mu'minin dulunya dibangun sebagai tempat peristirahatan Raja Gowa Sultan Muhammad Zainal Abidin. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Di tengah hiruk-pikuk Kota Makassar, berdiri sebuah masjid yang menjadi saksi perjalanan waktu.

Masjid Jami' Nurul Mu’minin, yang terletak di Jl Urip Sumoharjo No 37, Kecamatan Panakkukang, bukan sekadar rumah ibadah, tetapi juga warisan sejarah yang tetap kokoh hampir dua abad lamanya.

Masjid yang didirikan pada tahun 1835 ini berawal dari sebuah persinggahan.

Sultan Muhammad Zainal Abidin, Raja Gowa saat itu, sering melewati lokasi ini dalam perjalanannya antara Istana Kerajaan Gowa dan Istana Kerajaan Tallo.

Suatu hari, ketika waktu salat lohor tiba, sang raja yang tengah beristirahat bersama pasukannya merasa perlu mendirikan tempat ibadah.

Dari bale-bale sederhana, muncullah gagasan untuk membangun mushalla.

"Saat itu, Sultan Muhammad Zainal Abidin ingin salat bersama pasukannya. Karena belum ada tempat yang layak, beliau memerintahkan untuk membangun mushalla dengan dinding dari ranting kayu sebesar lengan orang dewasa," tutur Ketua Pengurus Masjid Jami' Nurul Mu’minin, Muhammad Ridwan Gassing (54), saat ditemui pada Selasa (4/2/2025) sore.

Namun, ada satu kendala: tidak ada sumber air untuk berwudu.

Sultan pun memerintahkan pasukannya menggali sumur di sisi timur masjid.

“Alhamdulillah, sumur itu masih digunakan hingga sekarang,” tambah Ridwan dengan senyum penuh kebanggaan.

Seiring waktu, masjid ini terus berkembang.

Awalnya hanya berukuran 6x6 meter dengan atap ijuk, kemudian direnovasi menjadi bangunan tembok kokoh pada 1930 oleh Andi Cincin Karaengta Lengkese, seorang keturunan Raja Gowa.

Renovasi ini juga melibatkan seorang pengusaha Tionghoa bernama Tiang Ho, yang membantu menyediakan batu merah dan genteng dengan syarat masjid diperkuat.

Perubahan besar kembali terjadi pada 1970, ketika kapasitas masjid diperluas dengan menambah bangunan ke belakang dan samping, tanpa mengubah bentuk aslinya.

 Kini, Masjid Jami' Nurul Mu’minin berdiri megah dengan tiga kubah dan satu menara yang menjulang, menjadi bagian dari cagar budaya yang dilindungi.

Memasuki bulan suci Ramadan, masjid ini semakin hidup.

Pengurus dan remaja masjid menggelar berbagai kegiatan, mulai dari tadarusan hingga penyediaan takjil untuk berbuka puasa setiap hari.

"Kami ingin masjid ini tidak hanya menjadi tempat ibadah, tetapi juga pusat kebersamaan bagi umat," ujar Ridwan.

Di balik bangunan yang kokoh, Masjid Jami' Nurul Mu’minin menyimpan cerita keteguhan iman dan semangat kebersamaan yang tak lekang oleh waktu.

Setiap jengkalnya adalah bukti bahwa warisan sejarah bisa terus hidup, selagi ada yang menjaga dan merawatnya.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved