Teropong
Palsu
Rupanya pencetakan uang tersebut dilakukan di dalam kampus negeri yang berlabel agama.
Oleh: Abdul Gaffar
Dosen FISIP Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Hidup kita diisi oleh banyak kepalsuan. Kepalsuan ini dapat terjadi karena kita masih tertidur pulas ketika pemalsuan itu akan dilakukan.
Boleh jadi karena kepandaian sulap yang dimainkan dengan sempurna hingga kita tidak menyadarinya. Palsu, pulas, sulap tinggal dibalik-balik saja.
Baru-baru ini masyarakat di Makassar dikejutkan oleh berita uang palsu.
Rupanya pencetakan uang tersebut dilakukan di dalam kampus negeri yang berlabel agama.
Mengapa itu dapat terjadi? Sejak kapan itu berlangsung ? Siapa tokoh utama dalam kasus itu? Siapa lagi pendukungnya?
Sejumlah pertanyaan muncul. Penyelidikan masih dilakukan oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Semua itu berlangsung dalam proses cepat.
Kita mengakui kerja-kerja APH. Kita berharap kecepatan kerja ini dilakukan dalam masalah hukum yang ada.
Terkhusus persoalan yang dapat mengarah pelanggaran tindak pidana.
Penangkapan telah dilakukan terhadap terduga pelanggar pembuat uang palsu. Beberapa orang telah dinyatakan masuk DPO (Daftar Pencarian Orang).
Semoga yang ‘dicari’ dapat segera ditemukan. Kerja cepat APH di wilayah hukum Sulawesi Selatan sangat mengagumkan.
Menggandeng beberapa pihak yang ada kaitannya dilibatkan. Misalnya menghadirkan pihak Bank Indonesia yang menjelaskan ciri-ciri uang palsu dibandingkan uang asli.
Pencerahan ini dapat membuat masyarakat tenang dan tidak panik dengan peredaran uang tersebut.
Kampus yang seharusnya menjadi tempat pencerdasan dan pencerahan ‘dirusak` oleh perilaku warganya sendiri.
Embel-embel gelar yang dimiliki tidak menjadi jaminan perilakunya baik. Sudah beberapa kasus yang menunjukkan betapa gelar tidak menunjukkan kualitas moral yang baik.
Lalu, siapakah yang dapat disalahkan? Apakah pihak kampus atau orang yang bergelar tersebut? Sesuatu yang dapat diperdebatkan secara panjang lebar.
Ibarat dalam sebuah keluarga. Jika terjadi sesuatu yang buruk dalam keluarga tersebut, maka yang dipersalahkan adalah kepala keluarga.
Begitu pula dalam dunia pendidikan. Jika terjadi pelanggaran maka yang dimintai pertanggungjawaban adalah pimpinannya, apakah itu kepala sekolah, dekan, ataupun rektornya. Wajarkah itu ditimpakan kepada sang pimpinannya?
Pernah muncul pernyataan bahwa kerusakan bukan dimulai dari bawah, melainkan dari puncak atau kepalanya. Benarkah itu?
Persoalan uang palsu bukan hal baru, melainkan sudah lama terjadi. Namun menjadi ‘besar’ karena terjadi di dalam kampus yang berlabel agama.
Ada yang menyalahkan rektornya karena dianggap tidak mampu mengontrol anak buahnya.
Buntut peredaran uang palsu ini telah disita beberapa alat bukti. Hasil penyitaan ini dapat dijadikan bahan untuk dilanjutkan ke proses peradilan.
Semoga kerja-kerja jaksa dan hakim selalu dalam koridor hukum yang benar pula. Jangan sampai ‘khilaf’ dalam memberikan keputusan.
Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Ah, betulkah itu dapat terjadi ? Masyarakat sinis dan pesimis.
Prof Baharuddin lopa (alm) mengingatkan kita dengan pernyataannya: “Banyak yang salah jalan tapi merasa tenang karena banyak teman yang sama-sama salah.
Beranilah menjadi benar meskipun sendiri “.Pernyataan ini menyindir kondisi negeri kita seperti apa yang terjadi.
Ada kasus ijazah palsu yang terjadi di suatu negara. Pemiliknya terpilih sebagai orang nomor satu di negeri itu.
Setelah ramai diributkan, hasilnya tidak ada apa-apa. Warga negara yang kritis tidak dipedulikan.
Lembaga yang menangani pemalsuan itu tampaknya tidak bergigi alias ompong.
Taji kebenaran tidak bertuah. Kampus yang mengeluarkan ijazah mengakui bahwa itu asli bukan palsu.
Pengadilan tidak pernah menampilkan orang yang diduga menggunakan ijazah palsu itu. Tetap Aman!
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.