Opini Aswar Hasan
Cetak Uang Palsu di UINAM
Pasalnya, institusi pendidikan keagamaan umumnya dianggap sebagai tempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan spiritual.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Terjadinya kasus pencetakan uang palsu di lingkungan institusi pendidikan keagamaan tinggi merupakan fenomena yang sangat ironis dan mengejutkan banyak pihak.
Khususnya kejadian faktual di UINAM (Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar) yang telah ramai di media sosial, bahkan di media mainstream.
Pasalnya, institusi pendidikan keagamaan umumnya dianggap sebagai tempat yang menjunjung tinggi nilai-nilai moral dan spiritual.
Institusi keagamaan atau pendidikan tinggi biasanya memiliki citra positif dan dipercaya masyarakat.
Makanya secara mengejutkan ketika ada oknum di dalamnya bisa memanfaatkan kepercayaan itu, untuk melakukan tindakan ilegal, termasuk pencetakan uang palsu, dengan harapan kecurigaan terhadap mereka lebih kecil.
Terkait kejadian di UINAM tersebut pihak Wakil Rektor III UIN Alauddin Makassar Prof Muhammad Halifah Mustamin, menjelaskan sanksi diberikan setelah pihak kampus menerima informasi terkait dugaan keterlibatan kedua pegawai tersebut.
Namun, tanggapan yang memiriskan terkait kejadian itu.
Misalnya dari mantan Kepala Perpustakaan UINAM (lokasi kejadian perkara) M Quraisy Mathar menilai bahwa tanggung jawab utama atas kejadian ini ada pada rektor sebagai pemimpin tertinggi di kampus.
Ia menolak narasi yang menyebut pelaku sebagai "oknum" semata. "Anda (rektor) adalah kepala rumah UIN Alauddin, di mana terjadi kejahatan besar.
Tidak cukup hanya menyebut ini ulah oknum," tegas Quraisy, Selasa, 17 Desember.
Dia juga mengemukakan, selama masa jabatannya, ia tidak pernah melihat keberadaan mesin cetak tersebut.
Hal ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mesin sebesar itu bisa masuk dan beroperasi di lingkungan kampus tanpa terdeteksi.
Senada dengan itu M Qasim Mathar Pensiunan Guru Besar UINAM menyatakan hal senada; “Anda adalah kepala rumah UIN Alauddin di mana tersiar kabar bahwa ada anggota rumah Anda yang melakukan kejahatan besar.
Anda tidak cukup menyatakan itu adalah oknum. Akui bahwa itu anggota rumah Anda.
Juga tidak cukup Anda menyatakan akan memberi sanksi tegas kepada anggota rumah Anda yang melakukan kejahatan itu. Murid SMA juga bisa menyatakan itu.
Kenapa Anda menunggu polisi memberitahu Anda bahwa ada kejahatan terjadi di rumah Anda.
Harga kejahatan yang dilakukan oleh anggota, dan terjadi di rumah Anda belum sebanding dengan pengunduran diri sebagai rektor (kepala rumah) UIN Alauddin.
Tapi, dengan mengundurkan diri, itu adalah sifat satria, mengakui bahwa Anda ikut bersalah di dalam terjadinya kejahatan itu. Tidak mundur bisa berarti pengecut.
Karena tidak mau menerima kejahatan anggota rumah sendiri, (yang awalnya) sesungguhnya oleh kesalahan kepala rumah yang tidak melaksanakan fungsi pengawasan terhadap suasana rumah.
Tetaplah tegak dan tegar di atas sampah peradaban yang terjadi ini. Lakukan investigasi, berapa anggota keluarga yang terlibat,.. ada sindikat atau tidak,... seraya polisi juga berinvestigasi.
Jangan kuatir bila dua investigasi itu ada perbedaan. Belum lagi kalau wartawan ikut investigasi. Nah, kalau rektor kuatir dengan hal itu, saya memintanya mundur.
Kini, terserah Anda, menimpakan seluruh kejahatan kepada anggota Anda sendiri dengan menyebutnya oknum, dan itu kepengecutan, atau Anda mundur sebagai rektor sebagai bukti kepala rumah yang bertanggung jawab, ksatria, bukan pengecut.(Tribun Timur, 16 /12-2024).
Ada beberapa faktor kompleks yang mungkin menjadi penyebab terjadinya hal tersebut, diantaranya: Lingkungan yang dianggap aman.
Lingkungan kampus yang dianggap aman dan terisolasi dapat memberikan rasa aman bagi pelaku untuk melakukan aktivitas ilegal tanpa terlalu khawatir akan ketahuan.
Di samping itu kurangnya pengawasan. Sistem pengawasan yang kurang ketat di lingkungan kampus dapat memberikan peluang bagi pelaku untuk melakukan aktivitas ilegal tanpa terdeteksi, adanya celah dalam sistem.
Adanya celah dalam sistem keamanan atau prosedur kampus dapat dimanfaatkan oleh pelaku untuk melakukan aksinya.
Faktor-faktor di atas saling berkaitan dan dapat saling memperkuat.
Namun, kasus ini menjadi pengingat bahwa masalah kriminalitas dapat terjadi di mana saja, termasuk di lingkungan yang dianggap suci.
Untuk mencegah terjadinya kasus serupa di masa depan, diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak, antara lain: Penguatan nilai-nilai agama. Menanamkan nilai-nilai kejujuran, integritas, dan tanggung jawab sejak dini.
Peningkatan pengawasan. Melakukan pengawasan yang ketat terhadap aktivitas mahasiswa dan staf. Kerjasama dengan pihak gkepolisian.
Membangun kerjasama yang baik dengan pihak kepolisian untuk mencegah dan menindak kejahatan.
Kasus ini juga menjadi pelajaran bagi kita semua bahwa kejahatan tidak mengenal batas, termasuk di lingkungan pendidikan.
Perlu adanya upaya bersama untuk menciptakan lingkungan yang aman dan kondusif bagi semua. Wallahu a’lam bisawwabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.