Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Teropong

Tangisan

Terlanjur air mata telah kering akibat keseringan menangisi perjalanan hidup ini.

Editor: Sudirman
DOK PRIBADI
Dosen Ilmu Komunikasi Unhas, Abdul Gafar 

Oleh:  Abdul Gafar 

Dosen Ilmu Komunikasi Unhas Makassar

TRIBUN-TIMUR.COM - Salah satu perilaku yang dapat membuat terjadinya ‘keseimbangan’ jiwa kita adalah menangis. Menangislah sebelum dilarang menangis. 

Karena mungkin saja suatu saat kita tidak dapat lagi menangis. Terlanjur air mata telah kering akibat keseringan menangisi perjalanan hidup ini.

Ketika mata mulai terbuka, maka yang mendahului adalah suara tangisan yang tersendat-sendat. Lalu ketika akan tidur, suara tangis itu terpendam di dalam hati.

Tidak dapat terkatakan, namun terasakan. Betapa getir kehidupan ini. Menangis adalah ungkapan perasaan sedih (kecewa, menyesal) denganmencucurkan air mata serta mengeluarkan suara (tersedu-sedu, menjerit-jerit).

Menangis bukan hanya milik orang miskin semata, melainkan juga ada pada orang kaya.

Hanya saja arti tangisan itu berbeda-beda sesuai kondisi yang ada. Menangis dapat saja karena akibat kesedihan yang menimpa.

Namun sebaliknya juga ada yang menangis karena kegembiraan ataupun kesenangan. Sudah sering kita lihat di media penyiaran
tangis histeris rakyat kecil akibat mendapat perlakuan yang tidak manusiawi dari oknum penguasa.

Di berbagai daerah, aparat penegak hukum dibenturkan dengan rakyat kecil. Aparat tidak lagi berperan sebagai alat negara, melainkan pelindung pengusaha dan penguasa.

Negara mensejahterakan rakyat. Sementara penguasa dapat saja bertindak arogan dan anarkis terhadap rakyat.

Tanah-tanah rakyat dapat digusur karena kepentingan pengusaha yang didukung oleh penguasa. Laut, gunung, lembah dapat
dieksplorasi agar menghasilkan keuntungan besar.

Sementara rakyat tidak mendapatkan manfaat yang berarti dari eksplorasi tersebut. Malah pengusaha dapat ‘mengatur’ penguasa
semaunya.

Rakyat hanya bisa menangis dan menangis tanpa daya. Tangisan bercampur darahpun tidak terlihat dan terdengar.

Baru-baru ini dunia peradilan di Indonesia menjadi ‘heboh’ akibat para Hakim mogok kerja. Dalam lembaga peradilan, Hakim
biasanya disapa ’yang mulia’ menangisi nasibnya yang bergaji rendah.

Halaman
12
Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved