Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Polri

Bukan Hanya Taruna, Deretan Jenderal Bintang 3 dan 2 Dipecat karena Langgar Aturan

Gubernur Akademi Kepolisian  (akpol), Irjen Pol Krisno Halomoan Siregar memberhentikan taruna asal Jawa Tengah, Brian. 

Editor: Muh Hasim Arfah
Dok Tribun
Para jenderal yang diberhentikan dari kepolisian karena pelanggaran berat yakni Ferdy Sambo, Djoko Susilo, Hendra Kurniawan, Prasetijo Utomo dan Susno Duadji 

TRIBUN-TIMUR.COM- Baru-baru ini Gubernur Akademi Kepolisian  ( Akpol ), Krisno Halomoan Siregar memberhentikan Taruna asal Jawa Tengah, Brian. 

Tak hanya mereka yang masih pendidikan di Akpol, kepolisian juga pernah memberhentikan jenderal aktif. 

Mereka ini berpangkat tiga hingga dua. 

Teranyar adalah Mantan Kadiv Propam Polri Irjen Ferdy Sambo

Sambo resmi diberhentikan secara tidak hormat sebagai Anggota Polri. Jauh sebelum kasus Ferdy Sambo, banyak perwira tinggi Polri yang dicopot jabatannya lantaran tersandung kasus hukum.

Melansir polri.go.id, perwira tinggi atau Pati Polri merupakan tingkatan jabatan yang memegang pangkat tinggi dalam lingkungan Polri.

Ada empat pangkat yang mengisi jabatan Pati Polri, yaitu pangkat terendah adalah bintang satu atau Brigadir Jenderal (Brigjen).

Pangkat dua tertinggi diisi oleh bintang dua atau Inspektur Jenderal (Irjen).

Pangkat ketiga tertinggi adalah bintang tiga atau Komisaris Jenderal (Komjen), dan yang paling tertinggi adalah pangkat bintang empat atau Jenderal Polisi yang diisi oleh Kepala Kepolisian Republik Indonesia (Kapolri).

Namun, jabatan tersebut akan dicopot apabila diketahui melanggar aturan etik kepolisian. Berikut beberapa anggota Polri yang dicopot dari gelar jabatan Pati Polri;

1. Ferdy Sambo

Sidang pembunuhan Ferdy Sambo, istrinya, dua polisi dan seorang sopir (semuanya menghadapi dakwaan pembunuhan berencana) dimulai di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 17 Oktober 2022.

Sambo dituduh memerintahkan bawahannya untuk menembak Yosua Hutabarat, kemudian menembak korban yang terluka lagi untuk membunuhnya.

Sejalan dengan persidangan pembunuhan, tujuh mantan perwira termasuk Sambo diadili dengan tuduhan menghalangi proses hukum terkait dugaan menutup-nutupi dan merusak barang bukti.

Pada Januari 2023, pengadilan menolak tuduhan bahwa Yosua telah memperkosa, melakukan pelecehan seksual, atau berselingkuh dengan istri Sambo, Putri Candrawathi.

Jaksa mengatakan bahwa Candrawathi mengarang cerita menengai pelecehan dirinya oleh Yosua, dan telah berulang kali mengubah versinya tentang kejadian menjelang penembakan.

Pada 13 Februari 2023, Ferdy Sambo dinyatakan "bersalah secara sah dan meyakinkan" atas pembunuhan berencana terhadap Yosua dan dijatuhi hukuman mati (hukuman yang biasanya dilakukan di Indonesia oleh regu tembak).[39] Putusan dan hukuman terkait Candrawathi dan tiga terdakwa lainnya menyusul pada akhir pekan Februari 2023.

Sambo memiliki waktu seminggu untuk mengajukan banding atas putusan tersebut; perannya sebagai penegak hukum dilihat oleh pengamat sebagai faktor dalam pengadilan menjatuhkan hukuman maksimal.

Ardi Manto Saputra, wakil direktur kelompok hak asasi manusia Imparsial mengatakan Sambo telah "menodai reputasi penegak hukum dan martabat pemerintah".

Candrawathi menerima hukuman penjara 20 tahun atas perannya dalam pembunuhan tersebut; asisten pribadinya Kuat Ma'ruf divonis 15 tahun penjara, dan Ricky Rizal Wibowo divonis 13 tahun penjara (dalam ketiga kasus tersebut, jaksa meminta hukuman delapan tahun).

Pada 15 Februari 2023, Richard Eliezer Pudihang Lumiu dijatuhi hukuman 18 bulan penjara atas perannya dalam pembunuhan tersebut; penuntutan telah meminta hukuman dua belas tahun tetapi dia diberi hukuman yang lebih ringan atas usahanya sebagai kolaborator keadilan.

Pada tanggal 15 dan 16 Februari 2023, pengacara empat terdakwa (Ma'ruf, Sambo, Candrawathi dan Rizal) mengajukan banding atas hukuman mereka; jaksa mengajukan kontra-banding.

Pada tanggal 12 April 2023, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan menolak seluruh permohonan kasasi para tergugat, meskipun para terdakwa masih dapat mengajukan banding ke Mahkamah Agung atau meminta grasi dari presiden.

Pada tanggal 8 Agustus 2023, banding Sambo dikabulkan oleh Mahkamah Agung berdasarkan keputusan mayoritas (3-2), sehingga mengurangi hukumannya menjadi penjara seumur hidup.

Mahkamah Agung juga mengurangi separuh hukuman penjara Candrawathi menjadi 10 tahun, hukuman Ma'ruf dipotong dari 15 menjadi 10 tahun, sedangkan hukuman Rizal dikurangi dari 13 menjadi delapan tahun.

2. Hendra Kurniawan

Hendra dinonaktifkan oleh Kapolri terkait dengan kasus pembunuhan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat. Hal ini dilakukan oleh Kapolri demi menjaga transparansi dalam kasus tersebut.

Pada 19 Agustus 2022, Inspektur Pengawasan Umum Polri, Komjen Agung Budi Maryoto, menyebut bahwa kelima nama perwira, termasuk Hendra, akan diserahkan kepada Bareskrim Polri untuk didalami tindak pidananya.

Hendra merupakan satu dari tujuh tersangka kasus penghalangan keadilan dalam penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir Polisi Nofriansyah Yosua Hutabarat.

Perannya sangat vital karena memerintahkan untuk menghalangi keadilan (Obstruction of justice).

Dalam kasus ini Hendra dituntut oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dengan tuntutan 3 tahun penjara dan denda Rp 20.000.000,- subsider 3 bulan kurungan, pada tanggal 27 Februari 2023 Hendra divonis hukuman 3 tahun penjara dan denda Rp. 20.000.000,- oleh majelis hakim PN Jaksel yang diketuai oleh hakim Ahmad Suhel.

Atas putusan majelis hakim PN Jaksel tersebut, Hendra mengajukan banding pada tanggal 3 Maret 2023.

Pada sidang putusan banding yang digelar tanggal 10 Mei 2023, Hendra dinyatakan turut berperan merekayasa peristiwa pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, atas berbagai fakta dan pertimbangan, majelis hakim Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta yang diketua oleh hakim Nelson Pasaribu menguatkan putusan tiga tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan.

3. Djoko Susilo

Mahkamah Agung (MA) menolak Peninjauan Kembali (PK) kedua yang diajukan mantan Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Djoko Susilo.

Purnawirawan Polisi dengan pangkat terakhir jenderal bintang dua itu merupakan terpidana kasus korupsi proyek simulator surat izin mengemudi (SIM). 

"Tolak," demikian amar putusan perkara nomor 756 PK/Pid.Sus/2024, yang dikutip Kompas.com dari Situs MA, Senin (9/9/2024).

PK ini diputus pada Rabu, 31 Juli 2024 oleh Ketua Majelis Hakim yang dipimpin Wakil Ketua MA Suharto bersama empat Hakim Agung lainnya yakni Anshori, Sinintha Yulianingsih Sibarani, Jupriyadi, dan Prim Hariyadi sebagai Anggota Majelis.

PK kedua Djoko Susilo ini masuk ke MA pada Selasa, 30 April 2024.

Kemudian, pada Senin 20 Mei 2024 perkara ini baru didistribusikan ke Majelis Hakim.

"Perkara telah diputus, sedang dalam proses minutasi oleh Majelis," demikian bunyi status perkara tersebut.

Djoko sebelumnya telah menempuh upaya hukum dari pengadilan tingkat pertama hingga upaya hukum luar biasa atau PK. 

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat mulanya menghukum Djoko 10 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

Putusan itu dibacakan pada September 2013. Djoko juga dianggap terbukti melakukan tindak pidana pencucian uang untuk periode 2003-2010 dan 2010-2012. 

Tidak terima, Djoko mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta.

Namun, hukumannya justru diperberat menjadi 18 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Ia juga diperintahkan membayar uang pengganti Rp 32 miliar subsider 5 tahun penjara. 

Belum menyerah, ia mengajukan kasasi ke MA pada 2014 lalu.

Namun, permohonan itu ditolak. 

MA menguatkan hukuman yang dijatuhkan PT DKI Jakarta.

Djoko kemudian mengajukan PK.

Kali ini, MA mengabulkan sebagian permohonannya.

Hakim menyatakan kelebihan hasil lelang dan barang bukti yang belum dilelang harus dikembalikan kepada Djoko. 

MA mengirim surat Nomor 34/WK.MA.Y/VI/2019 kepada pimpinan KPK pada 19 Juni 2019 perihal pembahasan permohonan fatwa atas uang pengganti perkara Djoko.

Dalam surat itu, MA menyebut harta benda Djoko yang telah disita dan dilelang dirampas untuk negara.

Namun, setelah dilelang nilainya melebihi uang pengganti Rp 32 miliar.

4. Prasetijo Utomo

Mantan Brigjen Prasetijo Utomo merupakan sosok yang pernah membuatkan surat jalan untuk Djoko Tjandra.

Dengan surat tersebut, Djoko mampu bepergian dari Jakarta ke Pontianakan secara bebas. 

Bahkan saat berada di Jakarta, Djoko Tjandra sempat membuat KTP elektronik atau E-KTP.

Melihat hal tersebut, Kapolri Jenderal Pol Idham Azis memutuskan untuk mencopot jabatan Brigjen Prasetijo Utomo dari jabatannya sebagai Kepala Biro Koordinasi dan Pengawasan PPNS Bareskrim Polri.

Alasannya karena ia dianggap telah menyalahgunakan jabatan untuk kepentingan pribadi.

Diperkuat dengan keluarnya Surat Telegram Kapolri bernomor ST/1980/VII/KEP./2020 tertanggal 15 Juli 2020.

Dalam telegram itu, Brigjen Prasetijo Utomo dimutasi menjadi Perwira Tinggi (Pati) Pelayanan Masyarakat atau Yanma Mabes Polri.

5. Susno Duadji

Kapolri resmi mencopot Kabareskrim Komjen Pol Susno Duadji dari jabatannya. Ia dicopot berdasarkan telegram rahasia bernomor 618/XI/2009 tertanggal 24 November 2009.

Hal ini disebabkan karena Susno Duadji tersangkut kasus korupsi ketika ia menjabat sebagai Kepala Polda Jawa Barat.

Ia terbukti bersalah karena telah mememerintahkan pemotongan dana pengamanan pemilihan Kapolda Jabar.

Alhasil negara mengalami kerugian sebesar Rp8,1 miliar.

Selain itu ia dikenal dengan perkataannya yang menyebutkan bahwa antara persaingan KPK dan Polri seperti Cicak dan Buaya.

Alhasil, Susno Duadji pun terkena kurungan penjara selama 3,5 tahun dengan denda Rp 4,2 Milliar.

Tidak hanya itu, ia dicopot secara tidak hormat dari jabatan Pati Polri Komisaris Jenderal atau setara bintang tiga.

Diketahui ia telah lepas dari hukumannya pada 2015 lalu.(*)

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved