Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

OPINI

Amicus Curiae

Dalam praktik peradilan di Indonesia, pengajuan amicus curiae sesungguhnya bukan barang baru

Editor: Ilham Arsyam
DOK PRIBADI
Pakar Hukum sekaligus dosen Fakultas Hukum Universitas Hasanuddin, Prof Amir Ilyas 

Oleh: Amir Ilyas

Guru Besar Ilmu Hukum Unhas

MENJELANG pembacaan putusan atas Permohonan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Presiden dan Wakil Presiden, Senin 22 April 2024. Sejumlah pihak menyampaikan atensi, aspirasi, hingga amicus curiae atau sahabat pengadilan ke MK.  Amicus curiae yang sudah masuk di MK, jumlah dan pihak yang mengajukannya tidak main-main, selain diajukan oleh beberapa kelompok juga diajukan oleh individu yang namanya tentu tidak asing lagi bagi khalayak publik.

Diantaranya: Presiden kelima Megawati Soekarno Putri, Mantan Komisioner KPK (Abraham Samad, Busyro Muqoddas), Mantan Ketua Umum Muhammadiyah (Din Syamsuddin), hingga eks pentolan Front Pembela Islam; Ahmad Shabri Lubis dan Munarman. Kesemuanya, amicus curiae tersebut sebagaimana sudah tercatat di MK, berjumlah 23 pengajuan yang bersumber dari berbagai kalangan masyarakat, dari akademisi, budayawan, seniman, advokat, hingga mahasiswa baik secara kelembagaan, kelompok, maupun perseorangan.

Dalam praktik peradilan di Indonesia, pengajuan amicus curiae sesungguhnya bukan “barang baru,” dan tidaklah asing dalam dunia penegakan hukum kita. Beberapa kasus yang sempat menjadi perhatian publik, diantaranya kasus penistaan oleh Prita Mulya Sari, Kasus Pembunuhan Yosua oleh Barada Eliezer, dan yang teranyar adalah kasus penistaan Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Pandjaitan oleh Haris Azhar-Fatia Maulidiyanti. Oleh beberapa kelompok yang memiliki perhatian atas kasus-kasus itu, pernah mengirim dan mengajukan amicus curiae untuk dijadikan bahan pertimbangan oleh hakim yang mengadilinya.

Awal mula lahirnya amicus curiae sebenarnya bukan pada negara yang menganut sistem hukum eropa kontinental. Tetapi lahir pada negara-negara yang menerapkan stare decisis, putusan pengadilan sebagai sumber hukum utama (common law). Fase kemunculan amicus curiae, juga oleh para ahli tidak ada kesamaan pendapat, ada yang mengatakan pada abad ke-14, ada yang mengatakan pada abad ke-17, bahkan ada yang mengatakan nanti muncul dan dipraktikan pada abad ke-19.

Secara etimologis, amicus curiae merupakan bahasa Latin yang dalam bahasa Inggris kemudian diterjemahkan “friend of court,” sahabat pengadilan. Dalam hal amicus curiae diajukan oleh lebih dari satu orang atau sekelompok orang, maka penyebutannya “amici curiae,” pengajunya disebut “amici(s).”

Memang ada beberapa negara di dunia yang sudah memformalkan amicus curiae ke dalam undang-undangnya, diantaranya: Brasil (1999), Argentina (2004), Meksiko (2011), sedangkan untuk negara kita, Indonesia, tidak dapat dikatakan kalau sudah juga memformalkan “amicus curiae” dalam tingkatan undang-undang. Lebih tepat untuk mengatakan kalau cara pemberlakuan amicus curiae di peradilan kita, yaitu dengan cara pengakuan informal, seperti yang dianut di Rusia. Yaitu kendatipun tidak diakui secara formal dalam aturan hukum, tetap diterima oleh pengadilan untuk memberikan pendapat dalam sebuah perkara.

Soal kemudian ada yang mengemukakan bahwa dasar hukum dari “amicus curiae” yaitu terdapat dalam Pasal 5 UU No. 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat). Terdapat dalam Pasal 180 ayat (1) KUHAP (dalam hal diperlukan untuk menjernihkan duduknya persoalan yang timbul di sidang pengadilan, hakim ketua sidang dapat minta keterangan ahli dan dapat pula minta agar diajukan bahan baru oleh yang berkepentingan). Terdapat dalam Pasal 89 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM (salah satu kewenangan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Republik Indonesia adalah: “pemberian pendapat berdasarkan persetujuan ketua pengadilan terhadap perkara tertentu yang sedang dalam proses peradilan, bilamana dalam perkara tersebut terdapat pelanggaran hak asasi manusia dalam masalah public dan acara pemeriksaan oleh pengadilan yang kemudian pendapat Komnas HAM tersebut wajib diberitahukan oleh hakim kepada para pihak).

Kesemua ketentuan tersebut masih merupakan tafsir luwes, yang bukan mengatur secara konkrit, wajibnya “amicus curiae” sebagai bahan pertimbangan hakim, atau setidak-tidaknya dapat berfungsi sebagai alat bukti di pengadilan.

Dan hal yang pasti bahwa prinsip dasar dari “amicus curiae” yaitu selain untuk membantu pengadilan dalam memeriksa dan memutus perkara, hal yang utama adalah pihak yang mengajukan (orang, sekelompok orang atau organisasi) tidak boleh memiliki kepentingan dan hubungan dengan para pihak dalam suatu perkara.

Prinsip dasar ini, salah satunya dapat ditelusuri dengan berdasarkan “Modern Dictionary for the Legal Professional: ” …individuals or group, who are not parties to litigation, but who are nevertheless permitted to present their views on the issues involved in a pending case to the court in written briefs or via oral presentation….”

At the last, ada benarnya salah satu kuasa hukum Prabowo-Gibran, bahwa Mba Mega tidak layak dan tidak patut untuk dipertimbangan “amicus curiae-nya” yang diajukannya bersama dengan sekjen partainya (AI*). 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

Merdekakah Kita? 

 
© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved