Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Mahfud MD dan Konflik Kepentingan

Dengan begitu Mahfud MD sangat berhati-hati jangan sampai tidak bisa lagi membedakan mana yang “hak dan Bathil”.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Mahfud MD dan Konflik Kepentingan
Ist
Amir Muhiddin, Dosen Fisip Unismuh dan Anggota Ikatan Penulis Satu Pena Sul-Sel.

Oleh : Amir Muhiddin

Dosen Fisip Unismuh dan Anggota Ikatan Penulis Satu Pena Sul-Sel.

Mahfud MD, akhirnya mengundurkan diri dari kabinet Jokowi.

Menko Polkam ini mundur dengan alasan sulit menghindar dari conflict of interest, masalahnya beliau sebagai calon wakil presiden yang partisan dan harus berkampanye dan dalam waktu bersamaan harus netral sebagai rumpun birokrasi.

Beliau menyadari betul bahwa meski secara regulasi diperbolehkan untuk berkampanye sepanjang tidak menggunakan pasilitas negara, tetapi dalam prakteknya sulit untuk menghindari apa yang disebut sebagai konflik kepentingan.

Dengan begitu Mahfud MD sangat berhati-hati jangan sampai tidak bisa lagi membedakan mana yang “hak dan Bathil”.

Mana tugas negara dan mana tugas dan kepentingan peribadi serta kelompok.

Pengunduran diri Mahfud MD, tentu saja alamat baik bagi pelaksanaan Pemilu Tahun 2024 dan citra positif bagai peningkatan kualitas demokrasi.

Bukan hanya itu, pengunduran diri itu menandai bahwa beliau menjunjung tinggi nilai dan kehormatan serta etika birokrasi yang harus netral, bersih dan berwibawa.

Sebab disadari betul bahwa optimalisasi peran birokrasi selama ini terkendala oleh kontaminasi politik yang kemudian kesulitan dalam melaksanakan “merid system”, akibatnya banyak pejabat publik yang tidakl layak sebagai lider.

Tetapi karena masuk tim sukses, akhirnya diberi jabatan karena balas jasa dan sebaliknya banyak yang layak jadi pemimpin tetapi kalah dalam pemilihan akhirnya tersingkir karena balas dendam.

Pengunduran diri Mahfud MD karena konflik kepentingan tentu saja menjadi contoh bagai menteri dan pejabatan publik lainnya.

Masyarakat dan penggiat pemilu dan pilkada yang demokrasi tentu menjadi gembira karena memang selama ini sangat banyak pejabat yang mengalamai hal yang demikian.

Mereka sadar atau tidak sadar, sengaja atau tidak sengaja memanfaatkan jabatannya untuk kepentingan peribadi dan kelompoknya.

Misalnya membagikan bantuan sosial (bansos) kepada masyarakat, menjanjikan kenaikan gaji bagi ASN dan pensiunan.

Menjanjikan bea siswa kepada mahasiswa dan calon mahasiswa, menjanjikan beasiswa dan pendidikan gratis serta kesehatan gratis dan sebagainya.

Kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan tersebut dianggapnya sebagai tugas kenegaraan, melaksanakan tupoksi sebagai aparat pemerintah pusat atau daerah, padahal sebelum musim pemilu tidak pernah melaksanakan hal yang demikian.

Pejabat negara, apalagi presiden, menteri, gubernur, bupati/walikota, meski diperbolehkan oleh undang-undang pemilu untuk berkampanye,, tetapi jangan terlalu demonstratif yang secara etika tidak elok dipandang.

Ini penting mendapat perhatian sebab bagi masyarakat yang kebetulan merasa dirugikan, bisa menimbulkan iri dan dengsi yang pada gilirannya bisa melakukan pemberontakan.

Misalnya membeikot pemilu dan pilkada, passif dan apatis sehingga enggang berpartisipasi dalam pemilu.

Atau bahkan menolak hasil pemilu meskipun itu mungkin saja dilakukan secara bersih.

Pemerintah dan penyelenggara pemilu dan pilkada harus sadar betul bahwa jika rakyat merasa ditekan, ditipu, dibohongi dan dipertontongkan rasa ketidak adilan di depan matanya, apalagi setiap saat, ini sangat membahayakan sebab terkait dengan “trust”.

Kalau rakyat sudah tidak percaya lagi kepada pemerintahnya, maka tunggulah bencana dan kehancuran.

Apa yang selama ini dipertontonkan oleh presiden Jokowe, saat makan bersama dengan Prabowo, dengan AHY dan para pimpinan partai pendukung lainnya.

Sesungguhnya bisa berdampak positif dan memberi nilai elektabilitas terutama kepada para pendukungnya, tetapi jangan lupa efek negatifnya, terutama bagi lawan politiknya yang bisa melahirkan blunder dan rasa antipati masyarakat.

Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan seharusnya beliau berempati untuk berlaku adil dan mengayomi seluruh masyarakat tanpa sekat kelompok dan kepentingan.

Beliau harus berdiri di tengah sebagai negarawan dan bukan sebagai politisi. Sebagai negarawan, presiden harus memikirkan negara dalam jangka panjang, bukan memikirkan semata-mata jabatan dan kekuasaan yang jangka pendek.

Mahfud MD adalah negarawan, beliau berpikir jangka panjang, bahwa kekuasaan itu penting, tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah etika yang mengajarkan banyak nilai tentang kesopanan, kepantasan dan kepatutan. Dalam konteks kearifan lokal.

Mahfud MD sudah memuliakan dirinya, kelompoknya banhkan bangsanya.

Beliau sudah menerapkan pesan-pesan leluhur orang Bugis-Makassar, Tator dan Mandar antara lain, Sipakatau, sipakalebbi dan sipakainga.

Semoga para pejabat dan pemangku kepentingan bisa terinspirasi bahwa sipakatau lebih mulia dari kekuasaan, sipakalebbi lebih mulia dari kekuasaan dan sipakaingan lebih mulia dari kekuasaan.

Mudah-mudahan kita semua tetap dalam lindungan Allah SWT. Amin.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved