Opini Tribun Timur
Ida Dayak, Anugerah Tuhan di Antara Beban Iuran BPJS
Wanita paruh baya ini seolah menegaskan kembali betapa di Indonesia ini begitu dinamis dalam merespon isu-isu sosial kemasyarakatan
oleh Anshar Aminullah
Mahasiswa Sosiolog Program Doktoral Universitas Indonesia
TRIBUN-TIMUR.COM - Fenomena Ida Dayak kembali menjadi bahan pembicaraan beberapa hari ini.
Wanita paruh baya ini seolah menegaskan kembali betapa di Indonesia ini begitu dinamis dalam merespon isu-isu sosial kemasyarakatan dan berinteraksi dengan kekayaan kebudayaan dan kesenian.
Kemampuannya melakukan pengobatan alternatif di berbagai segmen masyarakat tanpa memandang status sosial, ini seolah menjadi anugerah tersendiri bagi rakyat yang sedang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup namun harus tetap membayar iuran BPJS.
Mungkin tak ada hubungannya antara kemampuan Ida Dayak dengan bagaimana kemampuan calon Presiden kita memiliki bakat multidimensi kepemimpinan untuk membawa Indonesia ini ke masa depan, meski itu sebatas harapan.
Namun kemampuan mengobati Ida untuk penyakit yang tergolong akut tanpa memungut bayaran seakan menyinggung kesadaran politik kita.
Bahwa apakah bangsa ini masih memiliki calon pemimpin yang bisa menyelesaikan persoalan pelik dan mengarah akut negara akibat hutang yang menggunung dengan tetap mengedepankan keikhlasan berbakti seperti yang telah dicontohkan oleh para the founding father bangsa ini?
Ataukah masih adakah di negeri ini calon pemimpin yang tanpa tekanan parpol maupun tim suksesnya mengatur-atur kekuasaan dan jabatan, dimana berbanding terbalik seperti seorang Ida Dayak yang datang berbuat baik menolong orang di berbagai daerah dengan perasaan yang bebas merdeka tanpa tekanan siapapun.
Meskipun sepintas, terdapat relevansi kedua hal diatas dimana keduanya merupakan sistem-sistem realitas mikro-makro yang kini berlaku.
Pada keduanya terdapat sentuhan timbal balik dengan tradisi kekuasaan, kebiasaan korupsi, birokratisasi, budaya ekonomi yang dipenuhi oleh determinasi kekuasaan dan monopoli neopolistik, dan seterusnya di negeri ini.
Dalam kondisi hidup yang makin sengkarut, dimana kaca kejiwaan kita menjadi buram oleh debu-debu duniawi, sosok Ida Dayak menjelma menjadi 'malaikat' tanpa sayap dikalangan orang tak mampu yang nyaris kehilangan asa untuk sembuh.
Memang kita tidak pernah tahu bagaimana kualitas dari ketulusan seorang Ida Dayak dalam pengobatannya.
Biarkan ini menjadi hak mutlak Allah yang bisa memastikan apa yang sesungguhnya dilakukan dan didapatkan oleh Ida Dayak itu, biarlah kita tetap pada kesanggupan hanya mampu melihat yang tampak bahwa tugas-tugas
elementernya sebagai orang yang memiliki kemampuan mengobati merupakan penegasan dirinya sebagai bahagian dari makhluk sosial.
Nitizen juga tidak perlu diajak untuk turut berpartisipasi dalam proses menjustifikasi baik-kurang baiknya aktivitas Ida Dayak ini.
Yang kita bisa lakukan dalam posisi bijak adalah dengan mengajak khalayak untuk menggunakan perangkat personal internal yang Kita miliki, baik itu akal sehat, kesadaran politik, pengetahuan dan mungkin aqidah kita dan seterusnya.
Sebab dengan hal tersebut segala sesuatu yang tak bertentangan dengan kebaikan akan selalu terlihat. Selebihnya, mari kita berdoa di lima ramadan terakhir. Semoga kita semua diterima oleh Allah di surga permai-Nya kelak, dan mari giat berdoa agar iuran BPJS bisa segera digratiskan minimal turun seperduanya.
Meskipun pada akhirnya keringanan iuran BPJS akan menjadi sebuah janji politik, dan kita tetaplah menjadi rakyat yang sabar dan bisa disuruh menunggu perubahan dalam skala besar dan dalam jangka waktu yang entah berapa kali lipat dibanding sisa usia jatah hidup kita.
Mungkin dengan alasan ini juga, Ida Dayak dihadirkan oleh Tuhan di tengah-tengah kita? Wallahu A'lam.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.