Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tribun Ramadan

Sahur Saat Azan Berkumandang Gegara Telat Bangun Apakah Puasa Sah? Simak Penjelasan Hadis

Kadang karena begadang atau kelelahan sehabis kerja seharian di kantor, orang jadi telat makan sahur. Sahur Saat Azan Apakah Puasa Sah?

Editor: Sakinah Sudin
MIDJOURNEY
Ilustrasi makan sahur di bulan Ramadhan. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Puasa Ramadhan 1444 H atau Ramadhan 2023 memasuki hari hari ke-21, Rabu (12/4/2023).

Salah satu hal yang dianjurkan saat puasa adalah makan sahur.

Sahur merupakan sunnah Rasulullah SAW.

Namun, tak semua orang makan sahur tepat pada waktunya.

Kadang karena begadang atau kelelahan sehabis kerja seharian di kantor, orang jadi telat makan sahur.

Bahkan terkadang, saat tengah makan sahur, azan berkumandang.

Lantas, apa Hukum Sahur Saat Azan? Sahur Saat Azan Apakah Puasa Sah?

Berikut penjelasannya, dilansir dari rumaysho.com:

Segala puji bagi Allah, Rabb pemberi berbagai nikmat.

Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.

Suatu hal yang membuat kami rancu adalah ketika mendengar hadis Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang secara tekstual jika kami perhatikan menunjukkan masih bolehnya makan ketika azan hubuh.

Hadis tersebut adalah hadis dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمُ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلاَ يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِىَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan sendok terakhir masih ada di tangannya, maka janganlah dia meletakkan sendok tersebut hingga dia menunaikan hajatnya hingga selesai.”[1]

Hadis ini seakan-akan bertentangan dengan ayat,

وَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يَتَبَيَّنَ لَكُمُ الْخَيْطُ الْأَبْيَضُ مِنَ الْخَيْطِ الْأَسْوَدِ مِنَ الْفَجْرِ ثُمَّ أَتِمُّوا الصِّيَامَ إِلَى اللَّيْلِ

“Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Allah Ta’ala membolehkan makan sampai terbitnya fajar shubuh saja, tidak boleh lagi setelah itu.

Lantas bagaimanakah jalan memahami hadis yang telah disebutkan di atas?

Alhamdulillah, Allah Ta'ala memudahkan untuk mengkaji hal ini dengan melihat kalam ulama yang ada.

Berhenti Makan Ketika Azan Subuh

Para ulama menjelaskan bahwa barangsiapa yang yakin akan terbitnya fajar shodiq (tanda masuk waktu shalat shubuh), maka ia wajib imsak (menahan diri dari makan dan minum serta dari setiap pembatal).

Jika dalam mulutnya ternyata masih ada makanan saat itu, ia harus memuntahkannya. Jika tidak, maka batallah puasanya.

Boleh Makan, jika....

Adapun jika seseorang tidak yakin akan munculnya fajar shodiq, maka ia masih boleh makan sampai ia yakin fajar shodiq itu muncul.

Begitu pula ia masih boleh makan jika ia merasa bahwa muazin biasa mengumandangkan sebelum waktunya.

Atau ia juga masih boleh makan jika ia ragu azan dikumandangkan tepat waktu atau sebelum waktunya.

Kondisi semacam ini masih dibolehkan makan sampai ia yakin sudah muncul fajar shodiq, tanda masuk waktu shalat subuh.

Namun lebih baik, ia menahan diri dari makan jika hanya sekedar mendengar kumandang azan. 

Demikian keterangan dari ulama Saudi Arabia, Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah. [2]

Pemahaman Hadis

Adapun pemahaman hadis Abu Hurairah di atas, kita dapat melihat dari dua kalam ulama berikut ini:

1. Yahya bin Syarf An Nawawi rahimahullah

Dalam Al Majmu’, An Nawawi menyebutkan,

“Kami katakan bahwa jika fajar terbit sedangkan makanan masih ada di mulut, maka hendaklah dimuntahkan dan ia boleh teruskan puasanya. Jika ia tetap menelannya padahal ia yakin telah masuk fajar, maka batallah puasanya."

Permasalah ini sama sekali tidak ada perselisihan pendapat di antara para ulama.

Dalil dalam masalah ini adalah hadis Ibnu ‘Umar dan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhum bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ بِلالا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ ، فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ

“Sungguh Bilal mengumandangkan azan di malam hari. Tetaplah kalian makan dan minum sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan azan.” (HR. Bukhari dan Muslim. Dalam kitab Shahih terdapat beberapa hadis lainnya yang semakna)

Adapun hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,

إِذَا سَمِعَ أَحَدُكُمْ النِّدَاءَ وَالإِنَاءُ عَلَى يَدِهِ فَلا يَضَعْهُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ

“Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya.”

Dalam riwayat lain disebutkan,

وكان المؤذن يؤذن إذا بزغ الفجر

“Sampai muazin mengumandangkan azan ketika terbit fajar.” Al Hakim Abu ‘Abdillah meriwayatkan riwayat yang pertama.

Al Hakim katakan bahwa hadis ini shahih sesuai dengan syarat Muslim.

Kedua riwayat tadi dikeluarkan pula oleh Al Baihaqi.

Kemudian Al Baihaqi katakan, "Jika hadis tersebut shahih, maka mayoritas ulama memahaminya bahwa azan yang dimaksud dalam hadits tersebut adalah azan sebelum terbit fajar shubuh, yaitu maksudnya ketika itu masih boleh minum karena waktu itu adalah beberapa saat sebelum masuk shubuh,"

Sedangkan maksud hadits “ketika terbit fajar” bisa dipahami bahwa hadis tersebut bukan perkataan Abu Hurairah, atau bisa jadi pula yang dimaksudkan adalah azan kedua.

Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian”, yang dimaksud adalah ketika mendengar azan pertama."

Dari sini jadilah ada kecocokan antara hadits Ibnu ‘Umar dan hadits ‘Aisyah.”

Dari sini, sinkronlah antara hadits-hadits yang ada. Wabiilahit taufiq, wallahu a’lam.”[3]

2. Ibnu Qayyim Al Jauziyah rahimahullah

Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan dalam Tahdzib As Sunan mengenai beberapa salaf yang berpegang pada tekstual hadits Abu Hurairah “Jika salah seorang di antara kalian mendengar azan sedangkan bejana (sendok, pen) ada di tangan kalian, maka janganlah ia letakkan hingga ia menunaikan hajatnya”.

Dari sini mereka masih membolehkan makan dan minum ketika telah dikumandangkannya azan shubuh.

Kemudian Ibnul Qayyim menjelaskan, “Mayoritas ulama melarang makan sahur ketika telah terbit fajar. Inilah pendapat empat imam madzhab dan kebanyakan mayoritas pakar fiqih di berbagai negeri.”[4]

Catatan: Azan saat shubuh di masa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu dua kali. Azan pertama untuk membangunkan shalat malam. Azan pertama ini dikumandangkan sebelum waktu Shubuh. Azan kedua sebagai tanda terbitnya fajar shubuh, artinya masuknya waktu Shubuh.

Pendukung dari Atsar Sahabat

Ada beberapa riwayat yang dibawakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah.

ومن طريق الحسن: أن عمر بن الخطاب كان يقول: إذا شك الرجلان في الفجر فليأكلا حتى يستيقنا

Dari jalur Al Hasan, ‘Umar bin Al Khottob mengatakan, “Jika dua orang ragu-ragu mengenai masuknya waktu shubuh, maka makanlah hingga kalian yakin waktu shubuh telah masuk.”

ومن طريق ابن جريج عن عطاء بن أبى رباح عن ابن عباس قال: أحل الله الشراب ما شككت، يعنى في الفجر

Dari jalur Ibnu Juraij, dari ‘Atho’ bin Abi Robbah, dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata, “Allah masih membolehkan untuk minum pada waktu fajar yang engkau masih ragu-ragu.”

وعن، وكيع عن عمارة بن زاذان عن مكحول الازدي قال: رأيت ابن عمر أخذ دلوا من زمزم وقال لرجلين: أطلع الفجر؟ قال أحدهما: قد طلع، وقال الآخر: لا، فشرب ابن عمر

Dari Waki’, dari ‘Amaroh bin Zadzan, dari Makhul Al Azdi, ia berkata, “Aku melihat Ibnu ‘Umar mengambil satu timba berisi air zam-zam, lalu beliau bertanya pada dua orang, “Apakah sudah terbit fajar shubuh?” Salah satunya menjawab, “Sudah terbit”. Yang lainnya menjawab, “Belum.” (Karena terbit fajarnya masih diragukan), akhirnya beliau tetap meminum air zam-zam tersebut.”[5]

Setelah Ibnu Hazm (Abu Muhammad) mengomentari hadits Abu Hurairah yang kita ingin pahami di awal tulisan ini lalu beliau membawakan beberapa atsar dalam masalah ini, sebelumnya beliau rahimahullah mengatakan,

هذا كله على أنه لم يكن يتبين لهم الفجر بعد، فبهذا تنفق السنن مع القرآن

“Riwayat yang ada menjelaskan bahwa (masih bolehnya makan dan minum) bagi orang yang belum yakin akan masuknya waktu Shubuh. Dari sini tidaklah ada pertentangan antara hadits yang ada dengan ayat Al Qur’an (yang hanya membolehkan makan sampai waktu Shubuh, pen).”[6]

Sikap Lebih Hati-Hati

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah ditanya, “Apa hukum Islam mengenai seseorang yang mendengar azan Shubuh lantas ia masih terus makan dan minum?”

Jawab beliau, “Wajib bagi setiap mukmin untuk menahan diri dari segala pembatal puasa yaitu makan, minum dan lainnya ketika ia yakin telah masuk waktu shubuh. Ini berlaku bagi puasa wajib seperti puasa Ramadhan, puasa nadzar dan puasa dalam rangka menunaikan kafarot.

Hal ini berdasarkan firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan makan minumlah hingga terang bagimu benang putih dari benang hitam, yaitu fajar. Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam.” (QS. Al Baqarah: 187).

Jika mendengar azan shubuh dan ia yakin bahwa muazin mengumandangkannya tepat waktu ketika terbit fajar, maka wajib baginya menahan diri dari makan.

Namun jika muazin mengumandangkan azan sebelum terbit fajar, maka tidak wajib baginya menahan diri dari makan, ia masih diperbolehkan makan dan minum sampai ia yakin telah terbit fajar shubuh.

Sedangkan jika ia tidak yakin apakah muazin mengumandangkan azan sebelum ataukah sesudah terbit fajar, dalam kondisi semacam ini lebih utama baginya untuk menahan diri dari makan dan minum jika ia mendengar adzar.

Namun tidak mengapa jika ia masih minum atau makan sesuatu ketika azan yang ia tidak tahu tepat waktu ataukah tidak, karena memang ia tidak tahu waktu pasti terbitnya fajar.

Sebagaimana sudah diketahui bahwa jika seseorang berada di suatu negeri yang sudah mendapat penerangan dengan cahaya listrik, maka ia pasti sulit melihat langsung terbitnya fajar shubuh. 
Ketika itu dalam rangka kehati-hatian, ia boleh saja menjadikan jadwal-jadwal shalat yang ada sebagai tanda masuknya waktu shubuh.

Hal ini karena mengamalkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tinggalkanlah hal yang meragukanmu. Berpeganglah pada hal yang tidak meragukanmu.”

Begitu juga sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang selamat dari syubhat, maka selamatlah agama dan kehormatannya.” Wallahu waliyyut taufiq.”[7]

Syaikh Sholih Al Munajjid hafizhohullah mengatakan, “Tidak diragukan lagi bahwa kebanyakan muazin saat ini berpegang pada jadwal-jadwal shalat yang ada, tanpa melihat terbitnya fajar secara langsung."

Jika demikian, maka ini tidaklah dianggap sebagai terbit fajar yang yakin.

Jika makan saat dikumandangkan azan semacam itu, puasanya tetap sah.

Karena ketika itu terbit fajar masih sangkaan (bukan yakin). Namun lebih hati-hatinya sudah berhenti makan ketika itu.”[8]

Demikian sajian singkat dari kami untuk meluruskan makna hadits di atas. Tulisan ini sebagai koreksi bagi diri kami pribadi yang telah salah paham mengenai maksud hadits tersebut. Semoga Allah memaafkan atas kelalaian dan kebodohan kami.

Semoga Allah senantiasa menambahkan pada kita sekalian ilmu yang bermanfaat. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

Disusun di Panggang-Gunung Kidul, 20 Ramadhan 1431 H (30/08/2010)

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal.

[1] HR. Abu Daud no. 2350. Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini hasan shahih.

[2] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link http://islamqa.com/ar/ref/66202 .

[3] Al Majmu’, Yahya bin Syarf An Nawawi, Mawqi’ Ya’sub, 6/312.

[4] Hasyiyah Ibnil Qoyyim ‘ala Sunan Abi Daud, Ibnul Qayyim, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, 6/341.

[5] Lihat Al Muhalla, Abu Muhammad Ibnu Hazm, Mawqi’ Ya’sub, 6/234.

[6] Al Muhalla, 6/232.

[7] Fatawa Ramadhan, dikumpulkan oleh ‘Abdul Maqshud, hal. 201, dinukil dari Fatawa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202.

[8] Lihat Fatwa Al Islam Sual wa Jawab no. 66202 pada link http://islamqa.com/ar/ref/66202 (www.rumaysho.com)

(Tribun-Timur.com/ Sakinah Sudin)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved