Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Tentang Perempuan Syarifah Keturunan Langsung Nabi Muhammad SAW, Hanya Boleh Nikah dengan Sayyid

Syarif atau syarifah untuk perempuan sendiri adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Hasan.

Editor: Ina Maharani
istIMEWA
Ilustrasi menikah. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Kisah viral pria India ditolak gadis Wajo masih jadi perbincangan hangat di Indonesia, khususnya masyarakat Sulawesi Selatan (Sulsel).

Hal ini membuat nama Wajo sendiri menjadi populer di Indonesia.

Adalah Asib Ali Bhore (32), WNA asal India yang lamarannya ditolak Syarifah Haerunnisa alias Nisa.

Nisa, panggilan akrab Syarifah Haerunissam merupakan warga Watangrumpia, Kecamatan Majauleng, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Syarifah Haerunnisa alias Nisa (25) dan keluarga menolak lamaran Asib Ali Bhore yang datang ke Wajo pada Sabtu (18/2/2023) lalu, karena lamaran ditolak orang tuanya, meski Nisa dan Ali sudah menjalin hubungan selama setahun.

Dikabarkan, orang tua Nisa sudah menerima lamaran pria lain.

Melalui rekaman suara yang viral di aplikasi Tiktok, Nisa menjelaskan pihaknya sudah lama menunggu kedatangan Ali untuk melamar.

"Dia yang salah, dari awal kenal sudah janji mau lamar, tapi tidak pernah datang," ujarnya melalui rekaman suara.

Ia menambahkan orang tua Nisa sempat menunggu kedatangan Ali namun kunjung datang.

"Ummiku capek menunggu, karena dia selalu janji bulan depan, bulan depan," tambahnya.

Lebih lanjut, Orang tua Nisa akhirnya menerima lamaran laki laki-lain dikarenakan sudah lama menunggu.

"Makanya ummiku terima lamaran laki laki, takutnya saya jadi perawan tua," lanjutnya.

Tentang Syarifah dalam Islam

Syarifah dalam Islam merupakan nama khusus. Bukan sembarangan, seperti dilansir gramedia.com secara umum, syarifah berkaitan erat dengan keturunan Rasulullah SAW yang terjaga hingga saat ini.

Syarif atau syarifah untuk perempuan sendiri adalah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Hasan.

Selain itu ada juga sayyid (sayyidah untuk perempuan) ialah keturunan Nabi Muhammad dari jalur Husein.

Hasan dan Husein ialah anak dari Ali bin Abu Thalib yang menikah dengan putri Nabi Muhammad, Fatimah. 

Syarifah dalam perniahan

Salah satu keutamaan Syarifah yang banyak dibahas ialah kehadirannya sebagai penerus keturunan Rasulullah SAW.

Oleh karenanya, salah satu penekanannya ada pada pada pernikahan.

Dalam penelitian Repository UIN Sunan Kalijaga, telah disebutkan bahwa adanya konsep kafa’ah dalam pernikahan, yaitu suatu kesepadanan dari laki-laki dan perempuan yang hendak menikah dalam berbagai hal, termasuk diantaranya dalam hal agama, nasab, dan pekerjaan.

Konsep ini akhirnya melahirkan suatu pelarangan pernikahan di antara Syarifah dengan orang yang bukan Sayyid, karena dianggap tidak sekufu’ serta dapat merusak atau memutus nasab Rasulullah SAW.

Penelitian ini juga menunjukkan pandangan Habaib Jam’iyyah Rabi ṭah Alawiyyah Yogyakarta, yaitu suatu kondisi dimana seorang Syarifah kemudian mendapatkan larangan untuk menikah dengan dengan laki-laki non Sayyid karena dianggap tak sekufu’.

Meski demikian, dalam masalah ini, larangannya tidak dilakukan secara mutlak.

Hal ini karena kafā’ah sangat bergantung pada izin ataupun ridho dari wali atau perempuan atau Syarifah tersebut. Ketika ada Syarifah menikah yang dengan laki-laki non Sayyid dan walinya ridho, maka hukum pernikahan tersebut boleh untuk dilakukan.

Lain halnya, dengan seorang Syarifah yang menikah dengan laki-laki non Sayyid tanpa adanya izin dari wali, maka akan dianggap sudah memutus hubungan keturunan Rasulullah SAW.

Pada pembahasan selanjutnya, kita akan membahas tentang pandangan para ulama tentang Syarifah.

Pandangan Ulama Mengenai Keutamaan Syarifah
Terkait keutamaan Syarifah yang berkaitan erat dengan pernikahan dan nasab, ada sebagian ulama yang kemudian menyebutnya dengan istilah Kufu’ atau Kafa’ah.

Misalnya saja, apakah perempuan miliarder boleh dinikahkan dengan seorang tukang ojek? Apakah perempuan lulusan S3 boleh dinikahi oleh seorang pria tamatan SMP? Dan sebagainya

Dari masalah kufu’ ini para ulama kemudian memiliki perbedaan pendapat mengenai apakah kufu’ merupakan syarat sah perkawinan, apakah kufu’ menjadi suatu keharusan atau tidak.

Ulama yang Tidak Setuju

Ulama yang tidak setuju dengan keutamaan Syarifah di antaranya adalah Syeikh Sufyan Ats Saury, Syeikh Al-hasan Al Bishry serta salah satu ulama madzhab Hanafi yaitu Syeikh Al Karakhy.

Dalil yang digunakan ialah semua hamba Allah SWT adalah sama, baik itu mereka yang Arab dengan non Arab, kaya ataupun miskin, semua sama di mata Allah SWT.

Adapun yang membedakan hanyalah ketakwaannya. Contoh lainnya adalah pada pernikahan Bilal Bin Rabah RA dengan perempuan Anshar.

Pernikahan ini sendiri merupakan perintah dari Rasulullah SAW. Jika kufu’ merupakan syarat sah nikah ataupun standar kesepadanan, tentu Rasulullah SAW kemudian tidak menyuruhnya.

Ulama yang Setuju

Para imam 4 Madzhab yakni Al Hanafi, Al Maliki, As-Syafi’I dan Al Hambali kemudian mengatakan bahwa kufu’ memang bukan syarat sah pernikahan.

Artinya, pernikahan tetap sah tanpa adanya kufu’. Mereka juga kemudian memasukkan kufu’ pada syarat luzum, artinya pernikahan bisa dituntut fasakholeh walinya jika seorang suami di kemudian hari dinilai cacat akibat tidak kufu’.

Para imam madzhab ini juga mengatakan bahwa tujuan dari kufu’ adalah untuk menjaga kelanggengan, kemaslahatan, serta kebahagiaan hubungan rumah tangga suami istri.

Beberapa alasan lainnya adalah hadis Aisyah RA yang berisi tentang anjuran bagi para wali untuk menikahkan anak perempuannya dengan pria yang sepadan.

Dilakukannya hal ini agar kelak bisa mendapatkan keturunan yang baik.

Terdapat pula hadits Abi Hatim Al Muzanny RA mengenai perintah bagi wali untuk menikahkan anak perempuannya dengan pria yang baik agama serta akhlaknya.

Dan para imam madzhab ini juga beralasan bahwa kufu’ merupakan hal yang sangat rasional serta wajar ada dalam pernikahan.

Para ulama yang setuju dengan adanya kufu’ ini kemudian hanya membatasi untuk perempuan saja.

Hal ini karena mereka beranggapan bahwa tidak ada masalahnya apabila istrinya lebih rendah darinya, misalnya saja dari aspek strata sosial.

Selain itu, bisa juga misalnya seorang suami bekerja sebagai direktur perusahaan dan istrinya hanya ibu rumah tangga saja.

Di antara imam 4 madzhab, hanya imam Malik saja yang kemudian tidak memasukan nasab ke dalam aspek kufu’. Sementara itu, Imam Hanafi, Imam Syafi’I dan Imam Hambali memasukkan nasab ke dalam suatu aspek kufu.

Keistimewaan Ahlul Bait

DIlansir gramedia.com Keutamaan Syarifah ini juga terkait dengan keturunan Rasulullah SAW yang kemudian disebut sebagai Ahlul Bait. Keturunan beliau sudah selayaknya mendapat penghormatan serta rasa cinta seperti yang beliau terima.

Sebagaimana anjuran dari Abu Bakar Ash-Shiddiq yang kemudian mengatakan: “Cintailah Muhammad melalui cinta kepada para keturunannya (Ahlul Bait).”

Di dalam Islam, Allah SWT dan Rasul-Nya telah mewajibkan seorang muslim untuk hormat dan cinta kepada Ahlul Bait. Perintah tentang Ahlul Bait ini dijelaskan juga sebagai salah satu dari dua hal yang mesti dipegang teguh oleh para umat Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW bersabda: “Aku tinggalkan dua perkara yang sangat berharga kepada kalian. Yang pertama ialah Kitab Allah, yang kedua adalah Ahlul Bait-ku.” (HR Muslim)

Meski dalam riwayat Hakim disebutkan ‘Yang kedua adalah sunnahku’, tetapi riwayat Imam Muslim ini kemudian diakui oleh semua ulama karena lebih kuat dalam periwayatannya. Bahkan, dalam Al-Quran juga terdapat perintah untuk mencintai Ahlul Bait pada surat Asy-Syura ayat 23

قُلْ لَّآ اَسْـَٔلُكُمْ عَلَيْهِ اَجْرًا اِلَّا الْمَوَدَّةَ فِى الْقُرْبٰىۗ

(Qul lā asalokum ‘alaihi ajran illal-mawaddata fil-qurbā)

Artinya: “Katakanlah (wahai Muhammad): Aku tak meminta upah kepada kalian kecuali rasa cinta kepada kerabatku,”

Dalam tafsir, disebutkan bahwa yang dimaksud kerabat ialah Ahlul Bait. Hal ini karena merupakan perintah langsung dari Allah SWT, tentunya ayat ini kemudian harus diketahui oleh para kaum muslim.

Pada dasarnya, ayat-ayat Al-Quran yang kemudian menyebutkan keutamaan dan kemuliaan ahlul bait secara umum adalah dalil yang mendasari pelaksanaan kafa’ah dalam pernikahan Syarifah.

Namun, terdapat keistimewaan lain yang dimiliki Ahlul Bait dan menjadi keutamaan Syarifah.

Sebab, Ahlul Bait secara kodrati serta fitrahnya telah mempunyai keutamaan karena hubungan darah serta keturunan dengan manusia pilihan Allah SWT, yaitu Nabi Muhammad SAW.

Hubungan biologis ini merupakan kenyataan yang tidak bisa disangkal serta tidak mungkin dapat diimbangi oleh orang lain.

Selain itu, hal Ini juga diperkuat dengan adanya keterangan dari Allah SWT dalam Al-Quran pada surat Al-Ahzab ayat 33:

إنّما يريد الله ليذهب عنكم الرّجس اهل البيت ويطهّركم تطهيرا

(… Innamā yurīdullāhu liyuż-hiba ‘angkumur-rijsa ahlal-baiti wa yuṭahhirakum taṭ-hīrā) yang artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah bermaksud hendak menghilangkan dosa darimu, hai ahlu al-bait serta membersihkan kamu dengan sebersih-bersihnya.”

Meski ada keutamaan Syarifah sebagai Ahlul Bait, tetapi Rasulullah SAW juga tetap memberi dorongan kepada mereka agar memperbesar ketaqwaan kepada Allah SWT. Janganlah sampai hanya mengandalkan hubungannya dengan beliau.

Hal ini karena hubungan mulia yang tidak disertai dengan amal saleh, maka tidak akan membawa mereka kepada martabat yang tinggi di sisi Allah SWT.

Garis Ayah

Titik temu Islam serta budaya lokal nusantara kemudian menjelaskan bahwa syarif dan syarifah adalah sebutan gelar yang diperoleh melalui garis ayah.

Dikarenakan syarif serta syarifah merupakan garis keturunan langsung Rasulullah, maka kemudian mereka harus mempertahankan nasab ataupun garis keturunan tersebut.

Anak dari syarif yang menikahi perempuan non-sayyid kemudian tetap dapat menyandang gelar syarif ataupun syarifah.

Namun, sebaliknya, anak dari syarifah yang menikahi laki-laki non-sayyid kemudian tidak berhak menggunakan gelar syarif atau syarifah.

Dikutip dari jurnal Hukum Pernikahan Syarifah dengan Laki-laki Non Sayyid oleh Nurul Fatah, pernikahan di antara sesama gelar syarif ini disebut juga dengan sistem patrilineal.

Sistem ini juga bertujuan untuk melestarikan serta menentukan nasab seseorang. Dengan sistem inilah yang kemudian menuntut para wanita syarifah untuk menikah dengan orang-orang yang se-kufu’ atau sepadan dengan mereka.

Jika terjadi pernikahan Syarifah dengan non-sayyid, maka risikonya adalah terputusnya keturunan Rasulullah.

Lalu, wanita ini dianggap telah melanggar apa yang telah ditetapkan Rasulullah dalam hadistnya.

Dikutip dari Jurnal Pernikahan Syarif dengan Laki-Laki Non-sayyid karya Muhammad Zainuddin, ketetapan ini kemudian dibahas dalam hadits dari Siti Fatimah Az Zahra.

Ketika Umar Bin Khattab meminang putrinya, Umar ra berkata, yaitu “Aku tidak menginginkan kedudukan, tetapi aku pernah mendengar Rasulullah bersabda: Semua sebab serta nasab akan terputus pada hari kiamat kecuali sebab ku serta nasabku. Semua anak yang dilahirkan ibunya, akan bernasab kepada ayah mereka kecuali anak Fatimah, akulah ayah mereka serta kepadaku mereka bernasab. Kemudian, Umar berkata: Aku ialah sahabat beliau, setara dengan hidup bersama Ummu Kultsum aku ingin memperoleh hubungan sebab serta nasab dengan beliau (Rasulullah).” (HR. Al-Baihaqi dan Imam Thabrani)

Meski demikian, para ulama salaf kemudian menjelaskan bahwa wanita syarifahtetap sah menikah dengan laki-laki non-sayyid jika walinya menyetujui dan memberikan ridhonya.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Abu Musa Al-Asyari ra, Rasulullah SAW yang bersabda, “Tidak ada pernikahan yang dianggap sah kecuali kepada pernikahan yang dihadiri oleh walinya.” (HR. Ibnu Majah)

Penutup

Dari penjelasan di atas dapat dikatakan bahwa Syarifah harus menikah dengan laki-laki Sayyid demi mempertahankan keturunan Rasulullah SAW.

SUmber: Memahami Pengertian Syarifah Beserta Pandangan Ulama Tentang Syarifah

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved