Seniman dan Budayawan Sulsel Fahmi Syarif Meninggal Dunia, Dimakamkan Hari Ini di Bulukumba
Seniman dan budayawan, Fahmi Syarif, meninggal dunia di Todopuli Perumnas, Makassar, Rabu (16/11/2022)
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Inna Lillahi Wainna Illaihi Rajiun. Seniman dan budayawan, Fahmi Syarif, meninggal dunia di Makassar, Selasa (15/11/2022).
Kabar meninggalnya Fahmi Syarif beredar di grup WhatsApp (WA).
"Innalillahi wainnailaihi rojiun. Telah berpulang kerahmatullah Bapak Fahmi Syarif hari ini jam 14.10 di kediaman Todopuli Perumnas.
Semoga beliau husnul khotimah. Dan keluarga yg ditinggal diberi kesabaran. Aamiin ya rabbal alaamin," demikian bunyi pesan yang beredar.
Jenazah diberangkatkan dari rumah duka di Toddopuli II STP 12 / 297 Perumnas ke Pemakaman di Ponre, Bulukumba, Rabu (16/11/2022) sekitar pukul 10.00 WITA.
Jenazah Fahmi Syarif akan dimakamkan di Ponre Bulukumba.
Siapa Fahmi Syarif?
Fahmi Syarif merupakan putra dari pasangan Syariff Saleh dan Hamidah Daeng Puji.
Ia lahir di Bulukumba 23 Mei 1947.
Fahmi Syarif banyak menghabiskan waktunya di Bulukumba. Mulai SD, SMP, dan SMA, ia menyelesaikan pendidikannya di kota kelahirannya.
Setelah menyelesaikan pendidikan SMA di Makassar, ia kemudian lanjut di Makassar.
Di Makassar menyelesaikan School of Acting DKM (1972), Sarjana Muda Sastra Barat Unhas (1970), Sarjana lengkap Sastra Indonesia Unhas (1994), dan Pascasarjana Unhas (2001).
Kini Ketua I Kompartemen Pendidikan dan Pelatihan Dewan Kesenian Makasar, dosen Fak Ilmu Budaya Unhas sejak 1985 dan Ilmu Komunikasi Universitas Fajar sejak 2004.
Dikenal Pemain Teater
Fahmi Syarif juga dikenal sebagai salah seorang pemain teater.
Ia mulai mengenal teater tahun 1964 kala kakak kelasnya akan menggelar acara perpisahan.
Fahmi selalu berdiri di pintu kelas tempat berlatih saban latihan sore hari bukan untuk nonton, melainkan menampakkan diri agar diajak juga main.
Namun cita-citanya saat itu tak kesampaian. Ia tak pernah diajak latihan hingga pementasan selesai.
Dalam dirinya tumbuh “dendam”. Dia lalu menulis naskah sendiri, memanggil dan berlatih dengan teman-temannya yang juga mau tapi tidak pernah diajak oleh guru.
Mereka latihan di berbagai tempat selama sebulan lebih tiap sore, dan akhirnya main di Gedung Wanita Bulukumba.
Prinsipnya: bagus atau tidak, hak penonton. Judulnya Dendam dan Korban, kisah cinta segi tiga yang penuh simbahan darah. Belakangan disadarinya, drama tersebut dipengaruhi oleh drama Ayahku Pulang karya Usmar Ismail yang pernah dia tonton sebelumnya.
Selanjutnya masuk ISBM (Ikatan Seniman Budayawan Muhammadiyah) Bulukumba dan main sebagai Aswad (tokoh pembantu) dalam drama Timadhar karya Mayor (TNI) Yunan Helmy Nasution.
Dalam acara perpisahan saat tamat SMA tahun 1966, main sebagai Amir (tokoh utama) dalam drama Mereka Mulai Menyerang karya Rahman Arge. Sutradaranya, Andi Syafruddin Gani dan M. Arman Yunus, selesai pementasan ketika itu bilang: “Kamu punya bakat main drama.”
Setelah di Makassar dipanggil main oleh Saleh Mallombasi (alm.) dalam drama Montserrat (Emmanuel Robles) produksi Teater Makassar, pimp. produksi Arsal Alhabsi, sutradara Rahman Arge.
Latihannya 5 bulan termasuk training centre 1 bulan; general rehearsal 5 Agustus 1970, main 7 sampai 12 Agustus 1970 di Gedung Dewan Kesenian Makassar Jl. Irian 69. Setelah pementasan, dapat honorarium Rp 8.000., langsung beli celana saddle king (ketat, warna merah tua). Penyerahan honorarium di Kebun Binatang. Dalam produksi ini, semua pemain laki-laki dapat surat izin gondrong dari Pak Kapolda Sulselra.
Setelah menulis drama Dendam dan Korban (1964), juga menulis drama Baja Putih (1972), Datu Museng & Maipa Deapati (1975), Karaeng Bontoala’ (1976), Kerikil-Kerikil (1977), Arung Palakka (1988), Nuansa-Nuansa Alma Mater (1991).
Karaeng Pattingalloang (1992), Para Karaeng (1994), dan Manusia-Manusia Perbatasan (1995). Tiga di antaranya (Karaeng Pattingalloang, Arung Palakka, Para Karaeng) diterbitkan oleh Hasanuddin University Press (2005) dengan judul Trilogi Drama Teropong dan Meriam atas bantuan Rektor Unhas Prof. Dr. Ir. Radi A. Gany.
Mendirikan beberapa grup teater: Latamaosandi bersama Jacob Marala, Ichsan Amar, Husni Husen Nud, Philips Tangdilintin (1968), Yuvana Santika bersama Manan Ibrahim (1969).
Poseidon Arts Group bersama Sandy Karim (alm.) dan Amir Sinrang (1975), Pola Artistik bersama pemuda Gantarang (1977), Kosaster bersama Shaifuddin Bahrum (1985), Teater Titik-Titik bersama A. Ansar Agus dan Salahuddin Alam (1995).
Dalam dua kali festival teater se-Sulawesi Selatan, terpilih sebagai Aktor Terbaik (1971) dan Aktor Pembantu Terbaik (1977).
Kritiknya Sinetron IS: Obsesi dalam Bahasa Gambar yang Naratif terpilih sebagai Pemenang II Sayembara Kritik Sinetron TVRI (1991).
Menerima Hadiah Seni dari Dep. P. dan K. (1993), Anugerah Seni dari DKSS (1999), dan Celebes Award dari Gubernur Sulsel (2002), ketiganya dalam bidang penulisan, pemeranan, dan penyutradaraan teater.