Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Guru Besar

Neologisme Berbahasa Selama Pandemi Covid-19 Antar Prof Andi Sukri Syamsuri jadi Guru Besar

Judul penelitiannya adalah Neologisme Linguistik di Masa Pandemi Covid-19: Studi Kasus di Indonesia dan Malaysia.

Penulis: Wahyudin Tamrin | Editor: Muh. Irham
ist
Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Makassar Prof Andi Sukri Syamsuri (kedua kiri) foto bersama dengan Rektor UIN Alauddin Makassar Prof Hamdan Juhanis (kedua kanan) pada acara pengukuhan guru besarnya di Auditorium Kampus II UIN Alauddin Makassar, Jl H Yasin Limpo, Romangpolong, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulsel, Senin (31/10/2022). 

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Neologisme berbahasa selama pandemi Covid-19 mengantar Wakil Rektor II Universitas Muhammadiyah Makassar Prof Andi Sukri Syamsuri menjadi guru besar.

Judul penelitiannya adalah Neologisme Linguistik di Masa Pandemi Covid-19: Studi Kasus di Indonesia dan Malaysia.

Hasil penelitian itu dipaparkan dalam pidatonya di Auditorium Kampus II UIN Alauddin Makassar, Jl H Yasin Limpo, Romangpolong, Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa, Sulsel, Senin (31/10/2022).

Ia mengatakan bahasa terus berubah, berkembang, dan beradaptasi dengan kebutuhan penggunanya. 

Setiap tahun, kata-kata baru diciptakan dan arti baru ditambahkan ke kata-kata yang sudah ada. 

Kata-kata itulah yang disebut sebagai neologisme.

Fenomena munculnya neologisme juga terjadi pada masa pandemi Covid-19. 

Hal itu terlihat dari munculnya beragam konsep, istilah, atau kosakata baru di masyarakat. 

"Penggunaan istilah atau konsep baru ini menunjukkan adanya perkembangan dan dinamisasi bahasa selama pandemi Covid-19," katanya.

Menurutnya, pada masa pandemi Covid-19, penggunaan istilah atau konsep baru banyak bermunculan untuk mengatasi masalah kesenjangan linguistik dalam menyebarkan informasi ilmiah dan menjadi sarana yang menjembatani komunikasi antara profesional dan orang awam.

Dalam kondisi inilah, kata Andis, neologisme muncul sebagai dimensi komunikatif yang sangat penting. 

“Ini penting untuk menyampaikan informasi sebanyak mungkin kepada setiap individu dan tidak hanya pada satu komunitas,” ujar dosen Fakultas Adab UIN Alauddin ini.

Ia melanjutkan, fenomana neologisme di Indonesia dan Malaysia pada masa pandemi Covid-19 lebih dominan berakar dari istilah medis yang sebelumnya tidak diketahui oleh orang awam. 
 
Bentuk neologisme di Indonesia dan Malaysia pada masa pandemi Covid-19 banyak diadopsi dari WHO, yang banyak memunculkan neologisme dalam bahasa Inggris selama wabah Covid-19. 

Ia mencontohkan istilah dari WHO pada awal-awal kasus pandemi di Indonesia, seperti lockdown, social distancing, dan lain sebagainya, tanpa melalui proses alih bahasa ke bahasa Indonesia.  

“Berbagai bentuk neologisme yang muncul di Indonesia dan Malaysia tidak terlepas dari adanya kesenjangan konseptual dan terminologis untuk menjelaskan fenomana Covid-19 kepada masyarakat,” jelas Prof Andis.

Menjelang akhir pidatonya, Andis menyimpulkan, bahwa kemunculan neologisme selama pandemi Covid-19 sekali lagi menunjukkan bukti kuat bahwa bahasa bersifat dinamis, hidup dan akan terus tumbuh ke berbagai arah seperti gurita. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved