Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Sumpah Pemuda; Pemuda 1928 dan Mimpi Indonesia

Pra-Kemerdekaan yang menentukan pilihan- pilhan politik Bapak- Ibu bangsa kita selanjutnya adalah Kongres Pemuda I dan II.

Editor: Edi Sumardi
DOK PRIBADI
Ute Nurul Akbar, mantan aktivis mahasiswa UNM dan kader AMPI Sulsel. 

Ute Nurul Akbar

Mantan Aktivis Mahasiswa UNM dan Kader AMPI Sulsel

"KEBUTAAN terburuk adalah  buta politik... Orang buta politik begitu bodoh, sehingga ia bangga dan membusungkan dadanya seraya mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi buruk, dan rusaknya perusahaan nasional serta multinasional yang menguras kekayaan negeri." (Bertolt Brecht)

Kita mengawali tamasya singkat ini dengan mengutip sindiran seorang penyair Jerman yang hidup di abad ke-19 (1898-1956).

Bertold melihat peran penting dari kecerdasan politis adalah suatu yang wajib dimiliki oleh semua insan bernegara.

Sebab peristiwa- peristiwa bersejarah yang menentukan perubahan dunia hampir semuanya ditentukan oleh sikap dan pilihan politik.

Terlebih ketika kita berbicara tentang Indonesia.

Salah satu peristiwa sejarah awal Pra-Kemerdekaan yang menentukan pilihan- pilhan politik Bapak- Ibu bangsa kita selanjutnya adalah Kongres Pemuda I dan II.

Sebuah keputusan untuk berkumpul dan lalu merumuskan agenda politik yang menghasilkan satu kebulatan tekad pemuda yang kemudian diikrarkan sebagai komitmen yang hingga hari ini kita kenal sebagai Sumpah Pemuda.

Sebuah kado akhir abad dari kaum muda.

Nasionalisme Pemuda 1928

Begitulah Johanna Tumbuan, pemudi berusia 18 tahun asal Sulawesi Utara yang hari itu tanggal 28 Oktober 1928 telah melaksanakan tugasnya membacakan tiga poin kebulatan tekad kaum muda yang berkumpul di Batavia yang lalu dikenal dalam lembar sejarah sebagai Sumpah Pemuda.

Baca juga: Deretan Tokoh Muda Pergerakan di Balik Peristiwa Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928

Sebuah jahitan politik kaum muda yang didalamnya terdapat dua penanda besar bagi lahirnya Indonesia.

Pertama, adalah keputusan politik yang secara sadar dirumuskan dan ditetapkannya term Indonesia sebagai simbol kesatuan tekad perjuangan kaum muda untuk menyebut semua teritori wilayah kepulauan nusantara yang waktu itu belum ada satu kesepakatan ataupun ikatan  formal bagi sebuah kesatuan negara.

Keputusan politik ini sekaligus melahirkan tiga komitmen besar yang dikemudian hari menjadi cikal tumbuhnya nasionalisme yang meluas pengaruhnya yaitu komitmen untuk mengaku bertanah air yang satu, berbangsa satu dan menggunakan bahasa yang satu, yang semuanya menggunakan kata Indonesia.

Kedua, berkumandangnya lagu Indonesia Raya.

Sebagai sebuah pernyataan “Kemerdekaan” yang saat itu bagi banyak orang dianggap mimpi.

Bahkan menurut sejarawan JJ Rizal menjadi tertawaan termasuk oleh pihak Belanda.

Padahal jika menyadari dampaknya, maka tentulah, lain hal yang akan tercatat dalam sejarah dan mereka yang hadir dalam kongres pemuda tersebut akan bernasib sama dengan tokoh- tokoh gerakan.

Ditangkapi atau diasingkan.

Baca juga: Waspada Macet Hari Sumpah Pemuda, 20 Titik Jalan di Makassar Bakal Diduduki Pengunjuk Rasa

Sikap keumuman kaum penjajah yang menganggap bahwa apa yang dibicarakan oleh kaum muda saat itu mereka anggap satu hal yang utopis dengan melihat mereka yang hadir hanya sekumpulan pemuda berusia belasan tahun yang tidak punya pengaruh luas baik secara fisik maupun fikir, dan juga melihat kondisi keterbelahan wilayah kepulauan nusantara yang disertai dengan keterbatasan gerak, informasi dan komunikasi adalah yang menguatkan kesimpulan mereka (Belanda) bahwa syarat mengagitasi forum kongres tersebut potensinya sangat kecil .

Tapi begitulah kaum muda yang seharusnya.

Selalu tampil dengan kelugasan pikir dan tindaknya.

Mereka selalu menggerakkan roda transformasi dengan tulus.

Bagi pemuda umumnya, revolusi berarti tantangan untuk mencari nilai-nilai baru. 

Mimpi Indonesia

Sumpah Pemuda adalah satu mimpi besar bagi kaum muda 1928.

Saya menyebutnya sebagai sebuah revolusi tanpa darah, sebuah gerakan yang sesungguhnya melampaui zamannya, dan sekaligus menjadi pernyataan lahirnya sebuah bangsa yang para pelaku sejarahnya mungkin saja tidak memikirkan bahwa efek bola salju yang mereka gelindingkan akan membesar dan mempengaruhi zaman selanjutnya.

Sumpah Pemuda adalah mimpi tentang sesuatu yang ideal, tentang sebuah jahitan yang sekian lama diperjuangkan secara sektarian didaerah masing- masing telah dipraktikkan oleh pendahulunya dan belum menemukan jalannya.

Mimpi Indonesia yang dicetuskan kaum muda tersebut memberikan pesan berharga bahwa perjuangan menegakkan kemerdekaan bukan melulu tentang pertempuran bersenjata. Sebab begitu banyak pertempuran- pertempuran kecil hingga terbesar sekalipun nampak begitu mudah ditumpas hanya karena tidak adanya kebersatuan.

Tetapi juga harus berbareng bergerak secara formal- diplomatis.

Mimpi Indonesia ini juga sekaligus memberikan teladan bagi kita kaum muda saat ini untuk tidak apatis pada segala peluang. Zaman yang begitu memudahkan kita mendapatkan ”pendidikan” baik secara formal, informal maupun non formal seharusnya menjadi ruang tanpa batas bagi kita untuk bisa berbuat lebih besar demi mamajukan rakyat dan bangsa ini.

Sebab jika tidak dengan begitu, betapa celakalah negeri ini yang telah terberkahi dengan ledakan jumlah kaum muda yang seharusnya menjadi potensi besar, namun mandul karya.

Seperti yang ditulis sarkas oleh Datuk Tan Malaka dalam Madilog

“Bila kaum muda yang telah belajar di sekolah dan menganggap dirinya terlalu tinggi dan pintar untuk melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana, maka lebih baik pendidikan itu tidak diberikan sama sekali”.

Kaum Muda dan Pesan Trisakti

Ledakan kuantitas kaum muda atau bonus demografi seharusnya beriring dengan pertumbuhan kualitasnya.

Kaum muda dengan usia produktifnya melalui berbagai macam pergaulan institusional dibidang ekonomi, sosial, politik, dan budaya harus lebih mempertegas diri untuk mengambil peran dalam pembangunan ekonomi nasional, perkembangan pergerakan politik domestik maupun percaturan global.

Termasuk dalam usaha peningkatan ketahanan nasional dalam segala bidang.

Sumpah historis kaum muda atas nama bangsa yang satu, tanah air yang satu, dan bahasa yang satu, seharusnya diinterpretasikan lebih fungsional dan strategis lagi oleh kaum muda dan generasi milenial.

Pesan Trisakti Bung Karno yaitu Berdaulat secara politik, Mandiri secara ekonomi dan berkepribadian secara budaya, sepatutnya menjadi penyemangat sekaligus rambu bagi kita agar semakin mengasah kemampuan untuk selanjutnya mewujudkannya dalam karya dibidang keahlian kita masing- masing.

Berdaulat secara politik, haruslah dimulai dengan konsitensi sikap dan perbuatan kaum muda.

Kita tidak akan pernah bisa berdaulat secara politik sebagai negara jika kaum muda sebagai pondasi masa depan sibuk memupuk keterbelahan, perpecahan dan cenderung senang mencari titik pisah dan tidak gandrung mencari titik temu dan persamaan.

Hal itu justru berbanding terbalik dengan cita- cita dan semangat Sumpah Pemuda.

Mandiri secara ekonomi, sebagai pondasi kedua Trisaksi haruslah dimulai dengan kemerdekaan pikir dari kaum muda.

Sebab dengan modal itu kaum muda akan mampu mengontrol hasrat kapitalistik yang membabi buta agar tidak mudah mengikuti kehendak kontrol ekonomi kaum liberal dan kapitalisme global.

Kita sebagai Indonesia memiliki modal yang menjanjikan untuk dapat menghadapi itu.

Dari sisi jumlah penduduk, potensi ekonomi yang besar, geografi yang luas dan kekayaan alamnya.

Berkepribadian secara budaya, sebagai pondasi ketiga Trisakti, adalah hal yang mutlak terpenuhi sebagai bangsa yang besar.

Secara keseluruhan ciri khas atau identitas inilah yang membedakan suatu bangsa dengan bangsa yang lain.

Budaya adalah pencerminan dari garis pertumbuhan dan perkembangan bangsa kita dalam melewati bentang masa.

Budaya sebagai karakter sekaligus Indentitas kebangsaan haruslah tercermin dalam sikap kita.

Sikap bangga pada warisan luhur nenek moyang kita setidaknya menjadi benteng kokoh dari gempuran budaya global yang merangsek tanpa filter.

Penguatan karakter melalui pendalaman dan praktik kebudayaanlah yang dapat menahan gempuran itu.

Kebudayaan tidak melulu soal kesenian, tetapi juga bisa berarti sebuah perilaku masyarakat maupun hasil dari kehidupan bermasyarakat.

Kuatnya kontrol kapitalisme dalam ruang ekonomi politik kita turut mempengaruhi sikap dan perilaku hidup masyarakat termasuk kaum muda kita.

Gaya konsumeris berjalan beriringan dengan perilaku korupsi masyarakat.

Budaya korupsi yang tak terbendung pada akhirnya menjadi batu sandung yang sangat besar bagi laju penguatan bangsa ini.

Dan pada akhirnya juga akan menggagalkan usaha dan cita- cita mewujudkan Trisakti sebagai tugu kemenangan bangsa ini dikancah global.

Begitulah mungkin yang dimaksudkan Soe Hok Gie, seorang kaum muda yang cinta negerinya dalam bukunya Orang- orang dipersimpangan Kiri Jalan menulis “Makin redup idealisme dan heroisme pemuda, makin banyak korupsi”.

Minallahil mustha’an wa ‘alaihittiqlan.

Wallahu a’lam.(*)

Baca berita terbaru dan menarik lainnya di Tribun-Timur.com via Google News atau Google Berita

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved