Opini Tribun Timur
Anak - anak Malang
Kutipan di atas adalah potongan lirik lagu Perfect dari Simple Plan. Saya mendengar lagu itu ketika sedang bersantai di warkop
Oleh Anugrah Nur Fitrah
Mahasiswa IAIN Parepare
I just want to make you proud. I’m never gonna be good enough for you.
Kutipan di atas adalah potongan lirik lagu Perfect dari Simple Plan. Saya mendengar lagu itu ketika sedang bersantai di warkop setelah seharian bekerja.
Lagu yang ditulis oleh Arnold David Lanni itu menceritakan tentang masa lalunya. Ia selalu dianggap gagal oleh ayahnya karena beberapa kali harus dikeluarkan dari sekolah.
Ia pun memilih untuk ikut dalam sebuah band, walaupun keputusan itu ditentang oleh ayahnya.
Ia ingin membuat ayahnya bangga. Namun, ia tidak bsa mengikuti apa yang diinginkan sang ayah. Karena itu, lewat lagu ia berusaha meminta maaf kepada orang tuanya karena tidak dapat mengikuti tuntutan mereka.
Mendengar lagu Perfect, saya teringat sebuah film berjudul Chapernaum. Film ini telah mendapatkan berbagai penghargaan: di Sarajevo Film Festival, Miami Gems Film Festival, dan juga termasuk salah satu nominasi Oscar.
Film yang disutradari oleh Nadine Labaki ini menceritakan seorang anak laki-laki bernama Zain (diperankan oleh Zain Al fareea) yang berusaha bertahan hidup di tengah kemiskinan yang menimpanya.
Pembukaan film itu saja sudah membuat saya terkesan. Seorang anak memasuki ruang sidang dalam keadaan tangan di borgol. Hakim bertanya kepada Zain apa dia tahu alasan dia ditahan.
“Karena saya membunuh anjing” jawab Zain.
“Maksudmu menusuk seseorang?”
“Ya, dan dia itu Anjing”. Zain dijatuhi hukuman 5 tahun penjara.
Zain hidup di salah satu wilayah pinggiran Lebanon bersama dengan orang tua dan adik-adiknya. Zain berusia 12 tahun ketika ia harus bekerja keras untuk menghidupi adik-adiknya karena orang tuanya tidak memiliki pekerjaan tetap.
Di usia seperti itu, Zain seringkali mendapat perlakuan kasar dari orang tuanya, baik secara fisik maupun secara verbal. Beberapa adegan dalam film itu kitaakan menyaksikan Zain yang dipukuli dan ditampar oleh ibunya, dan juga umpatan dan cemooh seperti kata: Sial, Bajingan, Pelacur.
Kekerasan fisik dan verbal seringkali diterapkan orang tua sebagai bentuk “pendisiplinan” kepada anak mereka. Terkadang sebagian orang tua beranggapan bahwa kekerasan fisik maupun verbal merupakan cara untuk menggambarkan rasa cita mereka.
Kata-kata “Ini demi kebaikan kalian” terkadang menjadi dalih perlakuan kasar orang tua kepada anak.
Di Indonesia sendiri, jumlah kekerasan yang dilakukan orang tua terhadap anak semakin meningkat beberapa tahun terakhir. Sebanyak 12.425 kasus kekerasan kepada anak terjadi pada tahun 2020 dan meningkat menjadi 15.972 kasus di tahun berikutnya.
Bila dirincikan kekerasan psikis terhadap anak berada di posisi kedua (19 persen), kekerasan fisik (18 persen) dan kekerasan seksual (45 persen). Hal ini dipaparkan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak di Kompas.com.
Kekerasan verbal terkadang dilakukan orang tua kepada anak mereka, ketika si anak tidak melakukan sesuatu sesuai dengan tuntutan orang tuanya. Karena merasa tidak dihargai terkadang kata “Bodoh”, “Kurang ajar”, bahkah kalimat “pergi kau dari sini”, terlontar dari mulut orang tua.
Tidak hanya secara spontan, merendahkan dan menghina hasil kinerja anak juga bentuk dari kekerasan verbal. Mungkin orang tua tidak menyadari hal ini.
“Begitu saja kok tidak bisa”, “Anaknya memang agak tidak beres”. Kata-kata seperti ini kadang dikatakan orang tua ketika anaknya tidak menyelesaikan sesuatu dengan baik. Orang tua di negara kita memang agak lain.
Mendapat perlakuan seperti itu, anak-anak cenderung meluapkan kekesalan dan rasa sakit mereka dengan melakukan hal-hal yang merugikan dirinya sendiri atau berprilaku kasar kepada orang lain.
Seperti adegan dalam film ini, karena sangat kecewa atas meninggalnya Sahar, adiknya, Zain tanpa takut menikam suami Sahar.
Ia meluapkan kekecewaan atas keputusan orang tuanya dan melakukan perbuatan yang merenggut nyawa orang lain.
Dampak lain yang mungkin dilakukan seorang anak karena perlakuan kasar orang tua, mereka bisa saja memilih untuk melarikan diri. Seperti Zain, ia memilih untuk pergi dari rumah karena sangat kecewa dan merasa hidupnya tidak layak untuk dijalani.
Beberapa anak mengalami kekecewaan terhadap keluarga, khususnya orang tua mereka dengan alasan beragam. Baik karena perlakuan orang tua, ataupun karena kondisi yang sedang dialami keluarga mereka.
Sama seperti David, Zain dalam film Chapernaum juga mengungkapkan kekecewaan dengan caranya sendiri. Dalam persidangan, saat hakim bertanya “kau ingin mengatakan sesuatu?”
“Saya kecewa pada orang tua saya” jawab Zain.
“Kecewa kenapa?”
Sambi menahan air matanya, dengan nada berat Zain menjawab “Karena melahirkan saya”
Tidak ada orang tua yang sempurna. Tetapi sebagai seorang anak, setelah Tuhan, kepada merekalah rasa syukur dan penghargaan itu kita berikan berkat kehadiran kita di muka bumi.