Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

BBM Bersubsidi

Akademisi: Subsidi BBM tidak Tepat Sasaran Tak Dilengkapi Data Valid

Menurutnya, argumen pemerintah yang menyatakan subsidi BBM ditarik karena sudah terlalu memberatkan itu juga tidak reasonable.

Editor: Muh. Irham
Twitter Ubedilah Badrun
Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang juga Aktivis 98, Ubedilah Badrun 

JAKARTA, TRIBUN-TIMUR.COM - Akademisi Ubedillah Badrun menilai keputusan pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) dampak pengalihan sebagian subsidi adalah langkah keliru.

Menurutnya, argumen pemerintah yang menyatakan subsidi BBM ditarik karena sudah terlalu memberatkan itu juga tidak reasonable.

"Jangan anggap subsidi itu beban karena sebetulnya subsidi itu kewajiban negara terhadap rakyat," ucap Ubedilah diwawancarai Tribun Network, Kamis (8/9/2022).

Dosen UNJ tersebut menegaskan negara dipercaya mengelola kekayaan alam lalu digunakan sebaik-baiknya untuk kesejahteraan rakyat.

Hal itu merujuk Pasal 33 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, mengamanatkan bumi kekayaan alam yang ada didalamnya dimiliki negara dan dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

"Saya melihat paradigma negara kita menganggap subsidi sebagai beban. Nah kalau sampai subsidi dikurangi itu artinya pengelolaan kekayaan negara salah," tuturnya.

Menurutnya, argumen pemerintah yang menyatakan subsidi BBM tidak tepat sasaran dan dinikmati 70 persen orang mampu tanpa data valid.

Ubedillah memandang nilai subsidi BBM tidak besar seperti yang selama ini disampaikan mencapai Rp502 triliun.

"Katanya subsidinya Rp502 triliun setelah ita kroscek ternyata enggak, Rp 300 triliun juga enggak, subsidi untuk BBM ini hanya puluhan triliun. Itu subsidi energi keseluruhan sampai Rp502 triliun," tuturnya.

Justru sebaliknya, pemerintah seharusnya mampu menurunkan harga BBM di tengah penurunan harga minyak dunia.

Selain itu, Indonesia sedang mendapatkan banyak keuntungan dari naiknya harga komoditas batubara.

"Sekarang seharusnya banyak uang dong karena batubara naik harganya. Kita bisa dapat Rp450 triliun lebih dari keuntungan batubara karena sekarang lagi naik kan harganya," urainya.

Ubedillah menambahkan bahwa argumen yang dibangun pemerintah kepada masyarakat terkait kenaikan harga BBM ini dramatisasi dan imajinasi.

Ia juga mengkritik pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani yang menyebut subsidi energi bisa digunakan untuk membangun ratusan ribu sekolah.

"Bahkan kalau saya mau bilang uang ratusan triliun dikorupsi bisa melahirkan 20 ribu profesor lebih berguna lagi bagi bangsa dan negara ini, benahi dulu korupsinya, saya kira itu," imbuhnya.

Momentum Penataan Ulang

Pengamat Politik dan Ekonomi Dahlan Watihellu mengatakan, penyesuaian harga BBM subsidi menjadi momentum bagi pemerintah untuk menata ulang subsidi dan memaksimalkan Energi Baru dan Terbarukan (EBT).

Menurut Dahlan, kebijakan menaikan harga BBM bersubsidi dan pengalihan anggaran subsidi ke Bantuan Langsung Tunai (BLT) adalah langkah yang tepat.
Namun kebijakan ini harus dikawal agar tidak salah sasaran.

"Maka memang pentingnya itu harus sebagai civil society tentu kita harus kawal, bahwa pengalihan subsidi itu tepat sasaran baik itu berupa BLT dan lain-lain," ungkap Dahlan.

"Bahwa kemudian naiknya harga BBM itu kan kita semua tahu bahwa itu menyesuaikan harga minyak dunia yang memang ICP kita naik, harga minyak mentah dunia itu naik," sambungnya.

Dahlan menilai pengalihan subsidi BBM memang sepatutnya dialihkan kembali untuk rakyat yang benar-benar butuh.(*)

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved