Iduladha
Rukyat vs Hisab Bedakan Iduladha di Indonesia, Fisikawan Unhas: Jangan Lancang Sebut Nabi Buta Huruf
Perbedaan jadwal sholat Iduladha di Arab Saudi dan Indonesia memantik diskusi pakar Makassar di berbagai group WhatsApp.
TRIBUN-TIMUR.COM - Perbedaan jadwal sholat Iduladha di Arab Saudi dan Indonesia memantik diskusi pakar Makassar di berbagai group WhatsApp.
Pemerintah Arah Saudi telah menetapkan jadwal Iduladha 9 Juli dan Indonesia 10 Juli 2022.
Perbedaan jadwal sholat Iduladha di kalangan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) juga berbeda.
Muhammadiyah menetapkan jadwal Iduladha 9 Juli dan Nahdlatul Ulama (NU) 10 Juli 2022.
Guru besar UIN Alauddin Makassar, Prof Qasim Mathar, mengatakan, perbedaan jadwal pelaksaan sholat Iduladha adalah tradisi yang buruk.
"Biasalah, tradisi yang buruk ribut perbedaan Idulfitri dan Iduladha. Padahal kalau dipahami filsafat ilmunya, tidak perlu tradisi buruk itu dipelihara," ujar Prof Qasim Mathar di Group WhatsApp Senter-senter Bell dan Group WhatsApp Forum Dosen.
Menurut Prof Qasim Mathar, sesuai ontologi, epistemologi, dan aksiologi dari rukyat dan hisab, tentu bisa maklum.
Umat berbeda hari dalam beribadah sunnat salat Id.
Umat Islam Indonesia akan ber-Idul Adha pada Sabtu 9 Juli 2022 bagi pengikut Hisab, dan pada Ahad 10 Juli 2022 bagi pengikut Rukyat.
Menurut Prof Qasim Mathar, Rukyat pada permulaan abad ketujuh Masehi, masa Nabi Muhammad SAW adalah melihat hilal (bulan sabit) dengan mata telanjang.
Akibat perkembangan ilmu pengetahuan, kini Rukyat tidak lagi "telanjang", tetapi ber"pakaian", yakni teropong atau teleskop.
Setelah ber"pakaian", dijelaskanlah Rukyat itu ialah melakukan pengamatan visibilitas hilal pada saat matahari terbenam (saat Magrib) pada petang hari jelang hari pertama bulan kalender Hijriah, melalui teropong atau teleskop".
Sedang Hisab adalah "perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi hilal awal tersebut".
“Tradisi buruk semakin berisik, terpicu oleh keputusan Kerajaan Arab Saudi yang menetapkan wukuf di Arafah pada Jumat 8 Juli 2022 (9 Zulhijjah 1443), besoknya lebaran Iedul Adha 9 Juli 2022 (10 Zulhijjah 1443). Sama dengan lebaran Hisab, dan beda dengan lebaran Rukyat, umat Islam Indonesia,” jelas Prof Qasim Mathar.
Menurutnya, Ontologi dalam filsafat membimbing untuk tahu dan mengerti hakikat sesuatu.
Sedangkan Epistemologi membimbing untuk tahu dan mengerti kenapa sesuatu itu demikian.
Adapaun aksiologi, ia membimbing untuk tahu dan mengerti tujuan sesuatu itu.
Sehingga ontologi kedua hal itu diketahui dan dimengerti.
“Tidak sama. Beda, bukan. Orang buta mustahil melakukan Rukyat, walau pakai teropong atau teleskop.
Tapi, orang yang sama bisa melakukan Hisab, asal ahli matematika dan astronomi. Maka sudah sangat terang epistemologi keduanya, Rukyat dan Hisab itu berbeda,” kata Prof Qasim Mathar.
Di sisi lain, lanjut Prof Qasim Mathar, baik yang rukyat maupun yang hisab sama-sama ingin beribadah dengan plong.
“Lha, apa itu plong? plong adalah berasa lega, nyaman, atau berasa bebas dari beban pikiran, perasaan dan sebagainya. Jadi plong itu adalah aksiologi dari beragama dan beribadah. Jika rukyat dipaksa ikuti Hisab adalah hal yang gawat. Begitu pula sebaliknya,” kata Prof Qasim Mathar.
"Jadi mari tinggalkan tradisi buruk, ribut dalam perbedaan. Perbedaannya juga cuma dalam perkara fikhi, kok. Tradisi buruk itu pun sudah memperburuk yang pokok: Akhlak. Saya teringat buku Kang Jalal (alm.), tokoh Syiah itu: "Dahulukan Akhlak dari pada Fikhi". Benar juga, ya!," ujar Prod Qasim Mathar menambahkan.
Penjelasan Prof Qasim Mathar tersebut ditangkis oleh Fisikawan Unhas Prof Dr Tasrief Surungan.
Menurur Prof Tasrief Surungan, kaum yang melakukan Rukyatul Hilal tidak berarti tak melakukan perhitungan.
Mereka itu menghitung visibiltas hilal, lalu memverifikasinya dengan Observasi (Rukyatul Hilal).
“Menyebut Rukyatul Hilal itu sebagai akibat bahwa umat Islam awal tidak pandai hitung-hitungan merupakan bentuk kelancangan dan ceroboh. Lancang sebab meng-underestimate perintah Nabi sebagai akibat umat yang bodoh,” tegas Prof Tasrief Surungan.
Menurutnya, pengertian Ummi, telah diterjemahkan sembrono. Nabi Yang Ummi itu bukan berarti atau penekanannya pada Buta Huruf Sama sekali Bukan.
Ummi artinya, tidak membaca dan tidak menulis (informasi sebelumnya).
“Kenapa Nabi harus Ummi? Sebab sumber Informasinya dari Allah SWT. Beliau seorang nabi, bukan seperti kita ini yang butuh baca dan menulis untuk memperoleh ilmu,” ujar Prof Tasrief Surungan.
Kalau Nabi tidak Ummi, maka akan benar tudingan kaum munafik dan Ahli kitab bahwa Nabi itu mengcopy paste ajaran2 sebelumnya.
"Kalau bukan karena perbedaan yang ada, membosankan ini hidup. Dengan perbedaanlah kemudian kita saling berinteraksi dan saling memahami untuk selanjutnya menjadi sarana bagi saling mencerahkan," ujar Prof Tasrief Surungan.
Prof Tasrief Surungan menilai, Perbedaan awal bulan yang berlangsung sekian dekade, patut diakui bahwa ia telah menjadi sarana interaksi yg positif.
Bahwa kadang ada tensi, anggaplah itu bumbu masak atau smash dan tangkis dalam permainan badminton.
Perbendaan pendapat yang bertentangan secara diametral, berhadap hadapan dalam banyak segi, harus dicarikan solusinya, bukan untuk dilanggengkan.
"Tidak boleh permisif apalagi apatis dalam menyikapi perbedaan yang saling bertentangan. Saya agak provokatif menyampaikan bahwa konsep Wujudul Hilal Haqiqi itu keliru," ujar Prof Tasrief Surungan.(*)