Idham Khalid: Pemimpin Harus Punya Ide Dulu, Baru Punya Kekuasaan
Diskusi buku digelar di Hotel and Convention Centre Universitas Hasanuddin, Senin (13/6/2022) pagi dan disiarkan langsung melalui Youtube Tribun Timur
Penulis: Ari Maryadi | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unismuh Dr Idham Khalid didaulat jadi salah satu pembicara dalam Diseminasi Buku Abdul Madjid Sallatu, Senin (13/6/2022) pagi.
Dr Idham jadi pembicara ketiga setelah Arqam Azikin, dan Sawedi Muhammad.
Diskusi buku digelar di Hotel and Convention Centre Universitas Hasanuddin, Senin (13/6/2022) pagi dan disiarkan langsung melalui Youtube Tribun Timur.
Diskusi dipandu Wakil Pemimpin Redaksi Tribun Timur AS Kambie.
"Selamat atas bukunya, melintas dalam pikiran. Ada dua buku mirip-mirip itu diluncurkan beberapa waktu lalu, Sulawesi Selatan dalam lintasan perspektif," katanya.
Idham mengatakan, agak langka orang seperti Pak Madjid, selalu ada ide, selalu ada pikiran-pikiran kemudian baru dituangkan dalam buku.
Ia pun mengingatkan, keteladanan dari Nabi Sulaiman. Salah satu doanya selalu minta ilham, pikiran, nanti tahapan berikutnya minta kekuasaan.
"Sekarang terbalik, tidak punya ide, langsung minta kekuasaan. Itu yang terjadi selama ini. Pelajaran pertama, kepemimpinan itu harus punya ide dulu, punya pemikiran dulu, baru punya kekuasaan," katanya.
Idham mengatakan, carut kekuasaan hari ini dikarenakan Gus Dur dan Amien Rais, ibarat Nabi Musa, tidak berhasil bawa ummat keluar dari Mesin.
"Ini disorot Pak Madjid dalam otonomi masyarakat. Jadi persoalannya kedua tokoh ini kita taruh harapan besar baik Amien Rais ataupun Gus Dur. Untuk pertahankan UU Nomor 22 tahun 1999. Tapi dalam buku ini kelihatan bahwa UU 22/1999 itu tidak berhasil dipertahankan oleh kedua tokoh ini," katanya.
"Akhirnya diganti UU Nomor 23 Tahun 2014. Ini berlaku sampai saat ini, Menurut Pak Madjid ini akar persoalan dari kehidupan berbangsa dan bernegara," katanya.
Jadi istilah dalam buku Madjid, otonomi kebablasan. Menurut Idham, bukan kebablasan, tapi memang awal reformasi itu terjadi.
Artinya semua orang bersuara, semua berpendapat sehingga keluar dari koridor.
"Ini dimaksud Pak Madjid keadaan upnormal. Dalam buku ini hubungan pemerintah dengan masyarakat pasca UU tidak semakin membaik, tapi dibangun di atas kecurigaan. Ini diulas dengan baik oleh Pak Madjid," katanya.
Dalam situasi kondisi seperti itu, bangsa dihadapkan kondisi Covid-19. Kondisi diharapkan jadi new normal.
Tapi new normal tidak terbatas pada penanganan covid-19. Tapi fenomena lain seperti disampaikan pembahas sebelumnya.
Antara lain hubungan masyarakat dengan pemerintah, kondisi sosial ekonomi, dan kondisi sosial politik kita.
Kondisi new normal dalam buku Madjid tidak terbatas kehidupan normal pasca covid-19 tapi perbaikan semua aspek kehidupan masyarakat, sosial, ekonomi, dan politik.
Terkait ekonomi, Idham mengakui lahir ekonom baru di bidang Covid-19. Bisa disebut ekonom pandemi.
"Jadi Pak Madjid ini bisa kita angkat sebagai pakar di bidang ekonomi pandemi karena beberapa gagasan beliau terkait dengan pemulihan ekonomi pasca covid-19," katanya.
Ada beberapa point menarik terkait hal ini. Pikiran Madjid telah dilaksanakan secara tidak langsung oleh pemerintah pasca pandemi covid-19.
"Beliau pakar pengwilayahan. Penyelesaian ampuh menurut beliau tapi pengwilayahan covid untuk mempermudah selesaikan. Secara ekonomi pak Madjid sampaikan ada manfaat bisa diambil yaitu penanganannya melalui pengembangan UMKM," katanya.
"Selama ini kita terlalu berharap pada pengusaha besar, konglomerat, dengan covid-19 Pak Madjid sarankan pertumbuhan ekonomi secara alamiah tanpa direncanakan. Yaitu pengembangan UMKM berbasis kemasyarakatan," katanya.
Banyak pemikiran Madjid terkait pengembangan ekonomi masyarakat pasca covid-19. Mestinya Madjid diangkat ekonom baru di bidang covid-19.
"Jadi Sulsel melahirkan ahli ekonomi di bidang ahli ekonomi, karena sebagian besar isi bukunya bagaimana pemulihan ekonomi pasca pandemi covid-19," katanya. (*)