Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Dewan Pendidikan Makassar

Prof Heri Tahir: Nikah Dini hingga Ekonomi Buat Anak Putus Sekolah di Sulsel

"Ini menunjukan meskipun itu jumlah besar tapi pemerintah provinsi menaruh perhatian berkoordinasi pemerintah kabupaten kota," lanjutnya.

Penulis: Ari Maryadi | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM/ARI MARYADI
Guru besar ilmu hukum Universitas Negeri Makassar Prof Heri Tahir.   

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR -- Guru besar Universitas Negeri Makassar Prof Heri Tahir mengungkapkan fenomena anak tidak sekolah (ATS) di sejumlah kabupaten/kota Sulawesi Selatan.

Ia mengungkapkan, Dinas Pendidikan Sulsel menaruh perhatian pada kasus anak tidak sekolah (ATS) meskipun sejumlah kasus banyak terjadi di kalangan siswa jenjang SMP.

"ATS memang jadi atensi Pemprov Sulsel. Meskipun kebanyakan ATS berada di posisi SLTP, ini banyak. Sementara pemerintah provinsi domainnya SMA, tapi meskipun demikian, pemprov memberi perhatian ATS berkoordinasi kabupaten/kota," katanya.

"Ini menunjukan meskipun itu jumlah besar tapi pemerintah provinsi menaruh perhatian berkoordinasi pemerintah kabupaten kota," lanjutnya.


Wajo Paling Tinggi

Mantan Wakil Rektor III UNM itu mengungkapkan, kasus anak tidak sekolah paling banyak terjadi di Kabupaten Wajo.

Penyebabnya, kata Prof Heri, pertama sejumlah anak terlalu cepat terjun ke bidang ekonomi. Kedua budaya pernikahan dini.

Ia mencontohkan kasus yang viral baru-baru ini di Wajo. Sepasang remaja di Wajo memutuskan menikah dini.

"Kita lihat baru-baru ini viral di Wajo remaja sudah menikah. Ini fenomena terjadi di mana-mana. Ada juga di Malakaji tinggi ATS. Rata-rata SD sudah menikah," katanya.

Prof Heri mencontohkan salah seorang mahasiswanya mengaku sarjana pertama di Desa Malakaji Sulsel.

"Ini jadi persoalan, masalah anak tidak sekolah ini," katanya.


Bone dan Takalar Masif Cegah ATS

Prof Heri mengungkapkan, Kabupaten Bone dan Takalar adalah dua kabupaten masif melakukan penangan anak tidak sekolah.

Di Kabupaten Bone, seorang kepala desa akan mendapat hadiah seekor sapi jika mampu mengembalikan anak-anak bersekolah kembali.

"Ini saya kira mudah-mudahan setiap daerah ada inovasi," katanya.

Ia berharap pemerintah kabupaten/kota lain ikut mencontoh keseriusan Bone dan Takalar.

"Jadi ATS ini disebabkan masalah budaya. Ada anak kita cepat terjun cari nafkah membantu orang tua. Saya pernah katakan fenomena ini ingatkan saya pengalaman SD tahun 1962. Orang diburu-buru untuk pergi sekolah. Banyak orang diburu sampai sembunyi di rumah tidak mau sekolah," katanya.

Ia menyayangkan, strategi buru sergap atau buser anak sekolah pada tahun 1962 rupanya masih terjadi hingga tahun 2022 ini.

"Dulu pakai buser-buser, orang diburu-buru, ternyata pada abad 21 masih terjadi hal seperti ini," katanya.

Meski demikian, Prof Heri menemukan kasus menarik anak tidak sekolah di Malang.

"Di Malang ada fenomena bukan faktor kesulitan ekonomi terhadap ATS, Tapi di Malang itu warga sekitar kampus kos-kosan, mereka pikir, orang tua sukses kelola kos-kosan sehingga berpikir tidak perlu sekolah. Dia merasa mapan, hingga sisa melanjutkan usaha orang tua," katanya.

"Jadi pada umumnya ATS disebabkan masalah faktor budaya, dan ekonomi. Ini jadi atensi bagaimana kita memberi support. (cr2)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved