Versi Lengkap Taqobalallahu Minna Wa Minkum dan Jawaban Sebenarnya, Bukan Sama-sama
Lantas bagaimana jawaban ketika seseorang mengucapkankan Taqobalallahu Minna Wa Minkum, pada saat Hari Raya Idul Fitri?
TRIBUN-TIMUR.COM - Umat muslim akan menunaikan Idul Fitri 1443 Hijriyah setelah 29 hari menunainaikan ibadah puasa.
Kini, suasana bulan suci Ramadan sudah berlalu.
Berbagai ucapan atau kata-kata permintaan maaf pun dikirim dari sanak keluarga maupun kerabat.
Salah satu kalimat yang sering kita baca atau dengar saat momen Hari Raya Idulfitri adalah Taqabbalallahu Minna Wa Minkum.
Tentunya, Taqobalallahu Minna Wa Minkum juga memiliki jawaban yang benar. Bukan sama-sama.
Lantas bagaimana jawaban ketika seseorang mengucapkankan Taqobalallahu Minna Wa Minkum, pada saat Hari Raya Idul Fitri?
Banyak ucapan dalam momentum Idul Fitri, seperti Taqobalallahu Minna Wa Minkum, sering disampaikan sesama muslim.
Lantas, apa sebenarnya arti dari Taqobalallahu Minna Wa Minkum dan bagaimana cara menjawabnya? Simak ulasannya berikut ini.
Momentum Idul Fitri sering dimanfaatkan oleh umat Muslim untuk bersilaturahmi sambil bermaaf-maafan.
Biasanya, dalam momentum ini terdapat ucapan khusus yang hanya ada pada Idul Fitri.
Salah satu ucapan dan doa itu adalah Taqobalallahu Minna Wa Minkum. Doa ini memiliki versi pendek dan panjang, berikut selengkapnya:
Versi pendek
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ
"Taqobalallahu minna wa minkum"
Arti: "Mudah-mudahan Allah menerima (amal ibadah) kita dan kalian".
Versi panjang
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ وَ تَقَبَّلْ ياَ كَرِيْمُ
"Taqobalallahu minna wa minkum, taqabbalallahu minna wa minkum wa taqabbal ya kariim"
Artinya: "Mudah-mudahan Allah menerima amal ibadah kita dan kamu semua, dan terimalah ya (Allah) yang maha Mulia".
Versi Lengkap
تَقَبَّلَ اللَّهُ مِنَّا وَمِنْكُمْ تَقَبَّلْ ياَ كَرِيْمُ وَجَعَلَنَا اللهُ وَاِيَّاكُمْ مِنَ الْعَاءِدِيْنَ وَالْفَائِزِيْنَ وَالْمَقْبُوْلِيْنَ كُلُّ عاَمٍ وَأَنْتُمْ بِخَيْرٍ
"Taqabbalallaahi minnaa wa minkum taqabbal yaa kariim, wa ja’alanaallaahu wa iyyaakum minal ‘aaidin wal faaiziin wal maqbuulin kullu ‘aamin wa antum bi khair"
Artinya: “Semoga Allah menerima (amal ibadah) kami dan kamu, Wahai Allah Yang Maha Mulia, terimalah! Dan semoga Allah menjadikan kami dan kamu termasuk orang-orang yang kembali dan orang-orang yang menang serta diterima (amal ibadah). Setiap tahun semoga kamu semua senantiasa dalam kebaikan.”
Jawaban dari 'Taqobalallahu Minna Wa Minkum'
Jika ada yang memberikan doa "taqobalallahu minna wa minkum", kita bisa menjawab dengan "minna waminkum taqobbal ya karim".
Arti dari jawaban itu ialah "Ya Allah Yang Maha Mulia terimalah amal kami dan kamu".
Makna Ucapan Minal Aidin Wal Faizin
Dilansir dari Kompas.com, Ketua Bidang Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Cholil Nafis menjelaskan, "Minal Aidin Wal Faizin" adalah istilah yang dipopulerkan di Indonesia dan menjadi tradisi Islam.
"Minal Aidin, termasuk orang-orang yang kembali kepada fitrah. Fitrah manusia yang sejati, nuraninya menyala, punya sifat baik dan peduli. Wal Faizin, dan orang yang beruntung. Karena dosanya diampuni, amal-amal baiknya diterima oleh Allah. Itulah makna dari Minal Aidin Wal Faizin," kata Cholil dilansir dari Kompas.com, Selasa (26/4/2022).
Tidak hanya itu, ucapan Minal Aidin Wal Faizin juga mengandung harapan agar setiap muslim selalu dalam keadaan baik, dan mudah-mudahan amalan Ramadhan yang telah dijalani dapat membuat menjadi lebih baik.
"Mudah-mudahan amal kita Ramadhan ini menjadi latihan, yang nantinya setelah Ramadhan bisa menjadi lebih baik, dan kita tahun depan bisa sampai pada Ramadhan yang akan datang," kata Cholil.
Sejarah Tradisi Halal Bihalal
Sementara itu, meski istilah halal bihalal berasal dari bahasa Arab, namun ternyata orang Arab sendiri tidak mengerti makna dan esensi dari halal bihalal.
Hal itu karena, tradisi halal bihalal adalah tradisi yang khas dan hanya dijumpai pada komunitas muslim di Indonesia.
Mengutip Kompas.com, Selasa (26/4/2022) pencetus terminologi halal bihalal adalah KH Wahab Chabullah, tokoh Nahdlatul Ulama (NU).
Istilah tersebut muncul sekitar pertengahan Ramadhan pada 1948.
Ketika itu, Presiden Soekarno tengah dihadapkan dengan permasalahan disintegrasi bangsa yang kian memanas pasca-pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dan PKI di Madiun.
Baca juga: Contoh Naskah Idul Fitri 2022 Tentang Menuntaskan Urusan Hak Sesama Manusia, Lengkap dengan Panduan
Di tengah situasi pelik itu, para elit politik pada saat itu justru saling bertengkar dan tak mau duduk bersama mencari solusi.
KH Wahab Chasbullah, yang dimintai pendapat oleh Bung Karno, kemudian menyarankan acara silaturahim di antara elit politik dengan memanfaatkan momentum Idul Fitri.
Meski sepakat dengan usulan itu, tapi Bung Karno merasa kurang cocok dengan penggunaan kata silaturahim untuk mendinginkan suhu politik saat itu.
Menurutnya, istilah itu terlalu biasa dan harus dicari istilah lain agar pertemuan itu jadi momentum dan mengena bagi para elit politik yang hadir.
Saling memaafkan saling menghalalkan KH Wahab Chasbullah kemudian menjelaskan sebuah alur pemikiran yang menjadi kunci pada penemuan istilah 'halal bihalal'.
Diawali dengan penjelasan situasi para elit politik yang saling serang dan menyalahkan satu sama lain, KH Wahab menjelaskan hukum saling menyalahkan dalam Islam.
Dia menyebut bahwa saling menyalahkan adalah dosa dan hukumnya haram. Agar elit politik terlepas dari dosa (haram), maka di antara mereka harus dihalalkan.
Caranya, para elit politik harus duduk satu meja, berbicara satu sama lain, saling memaafkan, dan saling menghalalkan.
KH Wahab Chasbullah menyebut acara itu sebagai 'Thalabu halal bi thariqin halal', maksudnya adalah mencari penyelesaian masalah atau keharmonisan hubungan dengan cara memaafkan kesalahan.
Alur pemikiran itu kemudian membawa K.H Wahab pada sebuah istilah yang hingga saat ini dikenal luas di Indonesia, yaitu halal bihalal.
Bung Karno pun menerima baik usulan itu. Saat Idul Fitri tiba, ia mengundang seluruh tokoh politik ke Istana untuk mengikuti acara halal bihalal.
Untuk pertama kalinya sejak perbedaan pendapat di antara mereka muncul, para elite politik yang berbeda-beda itu duduk di satu meja dan momen tersebut dinilai babak baru menyusun kekuatan dan persatuan bangsa.
Sejak saat itu, acara tatap muka, berbincang-bincang serta saling bersalam-salaman tersebut diikuti oleh instansi pemerintah hingga masyarakat luas hingga saat ini. (*)