Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Solar Langka di Maros

Kasian! Gegara Solar Langka, Nelayan di Bontoa Maros Terpaksa Tak Melaut

Nelayan di kampung pesisir, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros mulai mengeluhkan kelangkaan solar dua pekan terakhir. Imbasnya, terpaksa tak melaut.

Penulis: Nurul Hidayah | Editor: Sukmawati Ibrahim
NURUL HIDAYAH/TRIBUN TIMUR
Nelayan di Maros terpaksa tak melaut gegara solar langka. Untuk mengisi waktu mereka hanya membenahi kapalnya. 

TRIBUNMAROS.COM, MAROS - Nelayan di kampung pesisir, Kecamatan Bontoa, Kabupaten Maros mulai mengeluhkan kelangkaan solar dua pekan terakhir.

Sulitnya mendapatkan pasokan solar dari SPBU maupun eceran membuat nelayan terpaksa libur melaut. 

Mereka terpaksa harus menyandarkan kapalnya di dermaga. 
 
Para nelayan mengaku dampak solar langka sangatlah membebani mereka.

Apalagi saat ini, SPBU khusus nelayan sudah sepekan tak beroperasi. 

Hal ini dikarenakan tidak adanya pasokan solar dari Pertamina.

Salah seorang nelayan di Desa Pesisir, Hamka mengaku, agar tetap bisa beroperasi, nelayan terpaksa membeli solar secara eceran melaui pedagang dengan harga Rp 7 ribu perliternya.  

"Namun saat ini pedagang solar eceran pun sangat sulit kami dapatkan. Sementara para nelayan membutuhkan 50 liter solar sekali beroperasi," jelasnya.

Dia mengaku, kelangkaan solar ini membuat pemasukan mereka turun drastis.

Alhasilnya, selama tak melaut nelayan hanya mebenahi kapal.

Dia berharap ada solusi dari Pemerintah, supaya solar tersedia untuk nelayan.

"Mudah-mudahan tidak langka lagi dan harganya tidak naik," jelasnya. 

Diketahui, setiap melaut nelayan di Maros mencari ikan di perairan utara Sulawesi Selatan hingga wilayah perairan kalimantan dengan jarak 70 mil keluar dari permukaan daratan.

Sementara itu, Senior Supervisor Communication & Relation Pertamina Patra Niaga Regional Sulawesi, Taufiq Kurniawan menjelaskan, konsumsi BBM jenis solar di Sulsel pada bulan Maret memang mengalami peningkatan dua kali lipat, yaitu dari 1.400 hingga 1.500 kiloliter menjadi 3.000 kiloliter per hari.

Hal itu dibarengi dengan penyaluran solar di SPBU yang sudah melampaui kuota.

Sehingga permintaan ke Pertamina pun diatur agar SPBU tidak membayar selisih dari subsidi solar yang disalurkan kepada negara.

"Tidak bisa dipungkiri memang bulan Maret konsumsi meningkat dua kali lipat, hal ini bertepatan dengan kuota di SPBU yang sudah over," jelas Taufiq.

Dia melanjutkan, pihaknya sudah melakukan pertemuan dengan Pemerintah Daerah (Pemda) terkait kondisi antrean solar di Sulsel. 

Namun, hingga saat ini, Pertamina masih menunggu informasi terkait usulan untuk penambahan kuota dan sasaran dari kuota tersebut.

Pemetaan kebutuhan solar dan sasaran penerima prioritas seperti nelayan, angkutan logistik, organda, dan lain-lain, perlu dipetakan guna meminimalisir potensi terjadinya penyalahgunaan dan lebih tepat sasaran.

"Permasalahannya kan kalau kita salurkan harus sesuai dengan kuota, berarti harus ada dari Pemda yang mengusulkan tambahan kuota. Kemudian kita petakan bersama siapa-siapa saja yang berhak, misalnya nelayan, kendaraan logistik, itu kan semua di bawah Dinas teknis terkait, nah itulah yang sampai sekarang kita tunggu perannya yang belum ada," jelas Taufiq.

Lanjut dia, terkait stok solar, saat ini masih aman.

Pertamina juga menegaskan, tidak ada pembatasan atau pengurangan, tapi hanya menyesuaikan dengan kuota penyaluran. 

"Faktanya banyak SPBU yang sudah over dari kuota, kan dak mungkin juga dia ganti kerugian kepada negara, karena kan kalau dia menyalurkan over kuota, selisihnya itu dia bayarkan ke negara," pungkasnya. (*)

 

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved