Headline Tribun Timur
Kulkas dan Kaus Kaki Pun Dapat Label Halal
Sertifikasi label halal sudah sangat identic dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR – Sertifikasi label halal sudah sangat identic dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pun dengan label penanda halal itu, sudah sangat familiar di masyarakat.
Meski sertifikasi halal itu menjadi kewenangan kementerian agama, termasuk membuat logo, tapi Menteri agama diingatkan bahwa logo yang identik dengan MUI itu sudah dikenal luar di masyarakat.
Baca juga: Kemenag Ambil Alih Sertifikasi Halal dari MUI, DS: Semoga Ga Ada Lagi Label yang Aneh2 seperti di. .
Baca juga: Menag Yaqut Sebut Sertifikasi Halal Bukan Lagi Wewenang Ormas, DS: MUI Itu Sebenarnya Ormas Toh. . .
“Secara estetika, logo yang lama itu lebih bagus dibanding logo yang baru itu,” ujar Ketua MUI Sulsel, Anre Gurutta Haji (AGH) Prof Najamuddin A Shafa MA, ketika diminta komentar terkait penggantian logo tersebut, kemarin.
Hanya saja, Gurutta Naja, sapaan AGH Najamuddin, mengatakan, pergantian logo itu menjadi kewenangan pemerintah, dalam hal ini kementerian agama.
“MUI itu mitra pemerintah. Kami masih menunggu sikap resmi dari MUI Pusat. Tapi pada dasarnya, apa yang diputuskan pemerintah, itu MUI akan mendukung,” jelas Gurutta Naja.
MUI dinilai sudah sukses sosialisasikan pentingnya label halal dalam rangka memberikan perlindungan pada konsumen, khususnya umat Islam.
Bukan hanya makanan dan minuman, bahkan lemari pendingin atau kulkas pun sudah ada yang mintakan sertifikat halalnya ke MUI.
Sebuah produk lemari pendingin atau kulkas pernah mendapatkan sertifikasi halal dari MUI pada tahun 2018 lalu.
Direktur Utama LPPOM MUI Muti Arintawati menjelaskan alasan pihaknya memberikan label halal untuk kulkas tersebut.
Menurut Muti, pemberian sertifikasi halal itu merupakakn amanat dari Undang-undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.
"Waktu itu kan 2014 keluar UU JPH dan salah satu yang wajib disertifikasi adalah yang disebut dengan barang gunaan," ujar Muti dalam dialog Tribun Corner, Jumat (18/3).
Masyarakat, kata Muti waktu itu belum mengetahui definisi mengenai barang gunaan.
Hal ini disebabkan belum adanya aturan turunan dari UU Jaminan Produk Halal dan terjemahan terkait barang gunaan.
Sehingga banyak produsen yang mengajukan untuk mendapatkan sertifikasi halal. "Kemudian banyak pihak yang ingin duluan disertifikasi. Kemudian masuk pengajuan ke MUI," ujar Muti.
Akhirnya Komisi Fatwa memberikan batasan mengenai barang gunaan yang perlu mendapatkan sertifikasi halal.
Barang gunaan yang boleh disertifikasi, menurut MUI, adalah yang kontak langsung dengan produk yang dikonsumsi.
Kulkas masuk kategori dalam barang yang disertifikasi karena bersentuhan dengan makanan.
"Misal kulkas, itu kita simpan makanan. Makanannya kontak langsung. Kalau seperti itu perlu disertifikasi. Jadi boleh disertifikasi," jelas Muti.
LPPOM MUI, kata Muti, melakukan audit kehalalan pada bahan pembuatnya untuk memastikan tidak ada bahan yang tidak halal.
"Bahan pembuatnya yang dipastikan tidak ada bahan, misalkan ada bahan tertentu yg dari turunan lemak misalnya. Itu yang kemudian dipastikan," jelas Muti.
Selain kulkas, ternyata kaus kaki juga pernah disertifikasi karena bersentuhan langsung dengan tubuh.
"Kaus kaki pernah kita sertifikasi karena itu kontak langsung dengan tubuh. Dan dipakai untuk ibadah, masih diterima untuk sertifikasi," ujar Muti.
Muti Arintawati juga mengungkapkan berbagai produk di tanah air pernah mengajukan sertifikasi halal kepada MUI.
Meski begitu, Muti mengungkapkan ada beberapa produk yang tidak seharusnya disertifikasi, namun mengajukan sertifikasi halal.
Muti mencontohkan produsen ban sempat mengajukan sertifikasi halal kepada MUI, namun akhirnya ditolak.
"Tidak semua diterima, ada juga yang aneh kita tolak. Ban mobil misalnya ada yang daftar. Ngapain disertifikasi," ucap Muti.
Bahkan ada produsen aspal yang juga mengajukan sertifikasi halal kepada MUI.
MUI kembali menolak karena dinilai tidak ada relevansi produk itu untuk mendapatkan sertifikasi halal.
"Aspal ada yang daftar. Minta disertifikasi, ya ditolak oleh MUI. MUI kan bukan sifatnya mengada ada. Waktu itu kan karena ada yang meminta, makanya dilihat relevan atau tidak," jelas Muti.
Selengkapnya, silakan baca Harian Tribun Timur edisi Minggu (20/3/2022)