Ngobrol Virtual
Tanggapan FPMP Sulsel dan Polbangtan Gowa Soal Kasus Kekerasan Perempuan
Ngovi (Ngobrol Virtual) Tribun Timur kembali hadir, Jumat (4/3/2022).Temanya, Break the Bias terkait kekerasan perempuan dan perkawinan anak.
Penulis: Nining Angraeni | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Ngovi (Ngobrol Virtual) Tribun Timur kembali hadir, Jumat (4/3/2022).
Temanya, Break the Bias terkait kekerasan perempuan dan perkawinan anak.
Ngovi spesial women's day ini menghadirkan Alita Karen dari Forum Pemerhati Masalah Perempuan (FPMP) Sulsel dan Sri Endang Sukarsih dari Polbangtan Gowa.
Saat ini, kekerasan terhadap perempuan masih terus terjadi.
Kedua narasumber ini pun berbagi tanggapan mengenai perempuan yang tidak lepas dari kekerasan.
Menurut Alita Karen, ia melihat kalau perempuan itu tidak setara dengan laki-laki di masyarakat.
"Perempuan selalu dianggap di bawah. Apalagi budaya patriarki masih sangat melekat dan dominan," ucapnya.
Ia menuturkan jika perempuan selalu di nomor duakan.
Padahal jika berbicara potensi dan kapasitas perempuan dan laki-laki bisa setara.
"Kalau bicara potensi dan kapasitas, sebetulnya sama sih. Kadang, kalau mau jujur, secara IQ dan kepintaran, kita bisa lebih dari laki-laki," ucapnya.
Dikatakan, potensi kekerasan itu biasanya terjadi dalam taraf perekonomian di bawah rata-rata.
"Apalagi di tengah pandemi Covid-19, itu menambah grafik naiknya kekerasan dalam rumah tangga. Kekerasan ekonomi, psikis, fisik itu tidak jauh dari taraf kemiskinan," ucapnyan
Pendapat senada juga diutarakan, Sri Endang.
Ia melihat perempuan hari ini masih mendapat tekanan dan masih dilemahkan.
Hal itu dikarenakan, masyarakat Sulawesi Selatan masih menganut budaya patriarki.
"Bahwa dalam budaya ini sudah mengintervensi kehidupan kita. Dikehidupan ekonomi dan sosial itu kita timpang atau ada gap.
"Ada banyak kasus di mana perempuan itu dianggap makhluk lemah oleh orang-orang yang beranggapan kalau dia superior," paparnya.
Ia mengatakan, hambatan terberat perempuan itu biasanya dari keluarga sendiri.
Bahkan menurutnya, rata-rata pelaku kekerasan perempuan itu dilakukan oleh keluarga sendiri.
"Malah ada dari kakaknya, pamannya, kakeknya. Seharusnya kan keluarga jadi tempat berlindung paling nyaman. Tapi, ini malah sebaliknya," sebutnya.
Sri mengatakan seharunya perempuan dan laki-laki punya kesempatan yg sama.
"Sama-sama ingin hidup tentram, untuk dilindungi. Bukan malah orang yang diharapkan melindungi kita, justru dia yang menjadi pelaku," imbuhnya.
Laporan jurnalis Tribunpinrang.com, Nining Angreani.