Klakson
Muadzin
Di negeri ini, “politik-politis” dan “kebijakan” tak pernah terpisah. Ia tak pernah terlerai.
Oleh: Abdul Karim
Majelis Demokrasi & Humaniora
Di negeri ini, “politik-politis” dan “kebijakan” tak pernah terpisah. Ia tak pernah terlerai.
Keduanya terus bercengkrama dalam ruang yang sama.
Politik, melahirkan pengatur. Pengatur memunculkan kebijakan.
Kebijakan yang meluncur seringkali disebut peraturan.
Yang diatur adalah segala sesuatu yang bertebaran dinegeri luas ini.
Negeri ini adalah negeri peraturan, sementara keadaan tak pernahlah mapan.
Peraturan ibaratnya rem pengendali. Juga bermakna peraturan sebagai pembatas kokoh yang tak tampak sekuat baja.
Ia juga bagai beton tinggi yang menjulang.
Tetapi peraturan remuk tertabrak oleh pelanggaran terhadapnya.
Kekokohannya ambruk lantaran sebuah peraturan memecah kaum yang diatur dengan kebiasaan, bahkan keyakinan yang dipeganginya selama ini.
Jenis peraturan ini diprotes sejak awal sebelum ia didirikan sebagai pembatas, pagar dan atau rem.
Barangkali inilah salah satu sisi pandang mengapa peraturan kadang mengecewakan, bahkan menderitakan.
Pernah suatu masa, warga sebuah kampung menderita gegara marbot masjid di kampung itu ditegur oleh kepala kampung.
Ia dilarang adzan ketika waktu sholat tiba gegara suaranya tak merdu, hingga bayati yang tak jelas kategorisasinya.
Maklumlah, dikampung itu tak ada muadzin yang definitif.
Aturan sang kepala kampung menyengsarakan warga. Mereka tak punya pengingat bila waktu solat tiba, sebab si marbot berdingin hati. Ia merasa tak berguna di masjid itu.
Lalu seorang tetuah kampung mengelus hatinya agar si marbot tak pensiun dari masjid.
Sebab di kampung itu, menjadi marbot dianggap profesi yang tergolong pilihan terakhir.
Sepanjang masih bisa bekerja di sawah atau ladang maka marbot tak masuk sebagai jenis pekerjaan yang pelamarnya membludak.
Namun marbot terlanjur kecewa dengan kebijakan kepala kampung. Ia tak adzan meski waktu solat tiba.
Hampir sepuluh hari ia “ngambek” begitu.
Warga kampungpun mulai resah. Mereka tak lagi mendengar lantunan adzan si marbot jomblo itu yang dipancarkan speaker Toa diatas menara.
Mereka yang di ladang atau di sawah tak lagi punya penanda waktu.
Mereka yang dirumah harus fokus melihat jam agar faham sekiranya waktu solat tiba sudah.
Mengakhiri itu, solusi ditempuh. Kepala kampung dan pengurus masjid bersepakat untuk merekrut muadzin khusus.
Maka ditunjuklah salah seorang anak muda tammatan Madrasah Tsanawiyah di kampung itu tanpa upah.
Dan hasilnya, tak mengecewakan. Suaranya membanggakan kepala kampung dan warga secara umum.
Dari atas menara Toa yang melemparkan kumandan adzannya yang merdu itu turut menggairahkan warga untuk bertolak ke masjid setiap lima waktu.
Bukan hanya suaranya yang handal. Akhlaknyapun juga handal. Ia sangat patuh, hormat dan segan pada kalangan tua dikampung itu.
Suatu hari, saat sedang adzan magrib dibelakang mimbar pas samping jendela kaca bening masjid itu--ia melihat seorang lelaki paruh baya yang lewat hendak balik kerumahnya dibelakang masjid.
Pria paruh baya ini adalah salah seorang tokoh yang disegani di kampung itu.
Ketika ia mengumandangkan “haiyalal shoalaaat”--pria yang disegani ini lewat dan pas membalikkan wajahnya ke muadzin handal ini.
“Haiyyalal soalaaah, eh puang” suara si muadzin, seraya membungkukkan badannya.
Melihat itu, pria paruh baya membentak; “apa ini, sementara adzan tapi mengucap kata-kata lain, lanjutkan adzanmu”.
Buru-buru, si muadzin melanjutkan adzannya; “aaa, aaa, aaaaaaaa”.
Si muadzin baru sadar bila sapaannya pada pria paruh baya ini saat adzan tadi terdengar oleh warga melalui Toa ketika salah seorang jamaah menyampaikannya usai solat magrib.
Sungguh ia merasa berdosa.
Begitulah. Semua kejadian itu bermula dari kebijakan sang kepala kampung memerintahkan si marbot berhenti adzan di masjid itu.
Itu artinya, tak semua kebijakan senantiasa membahagiakan penduduk.(*)