Klakson
Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI)
Didirikan ulama lokal kharismatik, AGH. Abdurrahman Ambo Dalle pada 21 Desember 1938, di Mangkoso, Kabupaten Barru.
Oleh; Abdul Karim
Majelis Demokrasi & Humaniora
Pada mulanya adalah MAI (Madrasah Arabiyah Islamiyah) lalu DDI.
Didirikan ulama lokal kharismatik, AGH Abdurrahman Ambo Dalle pada 21 Desember 1938, di Mangkoso, Kabupaten Barru.
Madrasah sederhana ini nongol ditengah cekikan kolonialisme Jepang.
Pada tanggal 17 Februari 1947, MAI bertransformasi menjadi DDI (Darud Dakwah Wal Irsyad).
Berdiri pasca kemerdekaan republik, DDI belumlah kokoh sebagai institusi. Ia memerlukan perjuangan agar tak mati dilumat zaman.
DDI harga mati, tetapi ia nyaris "dibunuh" bertubi-tubi dalam sejarahnya.
Beruntunglah organisasi ini didirikan sekumpulan ulama lokal yang kaya karomah dan handal.
Mereka tak sekedar mengandalkan doa belaka. Mereka punya pula kecakapan dan taktik yang handal menghadapi rezim dzolim di masanya.
Disitu, berjejer sejumlah sosok penting; AGH Abdurrahman Ambo Dalle, AGH Abduh Pabbajah, AGH Daud Ismail, AGH Ali Yafie.
AGH Yunus Martan, AGH Abd. Muin Yusuf, AGH. Abd. Rahman Firdaus, dan sejumlah sosok alim lainnya.
Kita tahu dijaman perang kemerdekaan hingga Orde lama (orla) kehadiran organisasi menjadi penting sebagai strategi berlawan dan bertahan.
Walau dirintis ditengah sunyi-sepi lantaran kawanan serdadu Jepang, DDI pelan bergerak.
Ketika Orde lama memerintah, pertumbuhan organisasi kian pesat.
Entah itu organisasi sosial keagamaan, kemasyarakatan atau organisasi politik seperti Parpol.
Kala itu, DDI secara institusi tak berafiliasi dengan parpol tertentu.
Jamaah DDI diberi kebebasan meleburkan diri/memilih pada parpol tertentu dengan syarat canggih dizaman itu, yakni; tak boleh menyertakan ke-DDI-an didalamnya.
Barangkali ini sejenis strategi antisipasi agar DDI tak terpolitisasi dan terpolarisasi karena politik.
Dan AGH. Abdurrahman Ambo Dalle sendiri membuktikan itu. Ia memilih meleburkan diri di partai PSII tanpa embel-embel DDI.
Orde lama beranjak, Orde baru mulai merangkak. Di usia belianya, Orde baru memerlukan pengakuan banyak kalangan.
Ia pun mengupayakan agar berbagai kalangan mengakuinya.
Salah satu upaya penting yang keji adalah memobilisasi tokoh-tokoh penting untuk bernaung dibawah payung politiknya, yakni Golongan Karya.
ElitE-elitE DDI pun mau tak mau bernaung dibawah rindangnya beringin. Mereka tak dipaksa, tetapi dianjurkan dengan bisikan bising.
Di zaman kemilau Orba itulah DDI--seperti halnya pesantren dinegeri ini--tak ubahnya aksesoris kekuasaan.
Ia dianggap penting untuk menunjukkan bahwa Orba dibutuhkan rakyat, sekaligus untuk menampilkan jikalau Orba mengakomodasi pesantren.
Itulah karenanya, disetiap hajatan Orba, terselip lepasan pesantren merafal doa dengan khusyuk diakhir hajatan itu.
Ini terjadi di level atas hingga ke bawah.
Sebagai aksesoris, tentu sifatnya tak permanen. Dengan itulah pesantren dianaktirikan dalam jagad pendidikan nasional Orba. Pesantren dikasihani tetapi tanpa subsidi.
Ia dirangkul tetapi tak dipikul. Ketika itu, pesantren adalah cinta yang hambar bagi Orde baru.
Tantangannya tak ringan.
Kini, DDI berupaya mengatasi tantangannya. Di luar sana tantangan itu lempang menganga.
Di sektor kehidupan agama dan kebudayaan misalnya, agama saling bentrok dengan varian kebudayaan kita.
Belum lagi nampak bagaimana agamawan cenderung takluk didepan hartawan.
Sementara ummat tetap dengan keadaannya; merana.
Fenomen menjamurnya pesantren dengan krisis akhlak moral yang baik juga penting DDI mendekatkan matanya disitu.
Sebab dari surplus pesantren terselip pula perilaku binatang oknum pendidiknya yang ketahuan melakukan pelecehan seksual pada santrinya sendiri.
DDI sebagai jaringan pesantren tertua diera modern lokal Sulsel perlu merespon itu.
Di sektor politik, mata kian perih menyimak perilaku politik yang tak menguntungkan rakyat.
Di bidang ekonomi, minyak goreng kini jadi persoalan licin yang pelik.
Sementara di level kesehatan virus Covid 19 tak henti-hentinya beranak pinak.
Kapitalisme kesehatanpun makin menggila. Dan dengan virus ini pendidikan berlangsung dari jauh.
Kapitalisme tehnologi komunikasi menjadi kunci dalam pendidikan kita.
Di tengah situasi begitu, DDI mau berbuat apa? Semoga Muktamar ke XXII ini mampu menjawabnya.(*)