Pilrek Unhas
Menyambut Pemilihan Rektor Unhas, ke Mana Guru Besar Unhas?
Terlebih lagi, Unhas menyebut sebagai kedua terbanyak guru besarnya di Indonesia dan bahkan dengan anggaran riset dan pengabdian yang jumbo.
Mulawarman
Jurnalis/Alumnus FE Unhas
BELAKANGAN ini publik gaduh dengan polemik kaum intelektual kita. Mulai dari kecemasan menguatnya politisasi para intelektual, fenomena dosen, doktor, dan bahkan guru besar yang menghamba pada penguasa, semuanya takut pada penguasa, takut berbeda pandangan dengan pemerintah, hingga kualitas profesor di Indonesia yang belum berstandar internasional.
Kekhawatiran itu boleh jadi hal yang biasa, mengingat peran intelektual sejak dulu selalu dirindukan, mengawal dan memimpin perubahan. Mereka bukan hanya sibuk di menara gading, namun terlibat dalam proses rekayasa sosial.
Tulisan ini akan ikut menyoroti peran para guru besar lebih dekat dalam konteks perkembangan kita, sejauhmana tantangan itu dilihat dalam konteks masyarakat kita di Sulsel, khususnya dari sisi kiprah Unhas yang akan melaksanakan pemilihan Rektor Unhas oleh Majelis Wali Amanat Unhas pekan depan.
Apakah sudah sesuai harapan masyarakat, khusus warga Unhas dan Alumni Unhas.
Anggaran Fantastik
Unhas beberapa waktu lalu merilis jumlah guru besarnya. Ditetapkan bahwa kampus ini menjadi yang kedua terbanyak dengan guru besarnya di Indonesia, dengan total 316 orang, 25 di antaranya guru besar baru di tahun 2021 kemarin. Ditambah dengan 1.059 orang Doktor, 20 di antaranya Doktor baru, 55 dosen asing, 49 dosen diperbantukan, dan 102 dosen dan 30 tenaga kependidikan yang telah menerima penghargaan Satyalencana Karya Satya.
Adapun jumlah mahasiswanya, menurut pangkalan data PD Dikti per 2022 masih tercatat sebanyak 36.929 mahasiswa, yang terdiri dari setiap jenjang program kesarjanaan dan profesi.
Menurut data akademik Unhas juga diklaim memiliki reputasi baik di tingkat nasional maupun internasional. Antara lain, di tingkat global, berada di daftar 79 dunia dari pemeringkatan dunia Times Higher Education (THE) Impact Ranking SDG’s, 10 di tingkat Asia dan 2 di Indonesia.
Pemeringkatan dunia lainnya, seperti Quaquarelli Symonds (QS) World University Ranking, Unhas ada di rangking 1001-1200 dunia, 294-367 Asia dan 8-12 Indonesia. Untuk QS Asia University Rangking (AUR), Unhas di peringkat 351-400 Asia, 61 Asean dan 11 Indonesia).
Sementara pada perangkingan khusus riset penelitian yaitu pada Scimago Institutions Rangking, Unhas berada pada peringkat 695 dunia, 230 Asia dan 3 Indonesia. Di level nasional, berada pada peringkat 7 sebagai Perguruan Tinggi terbaik Indonesia.
Pertanyaan dari itu semua, kemana dan dimana letak pencapaian itu dalam relasinya dengan masyarakat di Sulsel, khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya? Tridharma perguruan tinggi: pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat dapat menjadi barometer untuk melihat efektivitas tiga peran Unhas tersebut.
Kemendikbud melalui program Merdeka Belajar bahkan menetapkan indikator lebih banyak lagi bagi sebuah univeritas unggul. Yakni melalui 8 Indikator kinerja utama (IKU), antara lain: lulusannya mendapat kerja yang layak, mahasiswa mendapat pendidikan di luar kampus, dosen berkegiatan di luar kampus, praktisi mengajar di dalam kampus, hasil kerja dosen digunakan masyarakat, program studi bekerja sama dengan mitra kelas dunia, kelas yang kolaboratif partisipatif, program studi berstandar internasional.
Tahun 2020, Kemenristek anggarkan untuk riset PTN badan hukum sebesar Rp514,2 miliar.
Dari itu, Unhas mendapat alokasi sebesar Rp73,5 miliar lebih. Besaran itu untuk membiayai sebanyak 724 judul kegiata riset dan pengabdian masyarakat. Selain dari Kemenristek, Unhas juga mendapat duit riset dari hibah internal (Rp 13 milyar) dan hibah kerjasama (Rp24,8 miliar).
Selain tiga sumber itu, Unhas juga mendapat uang riset dari hasil kompetisi riset atau kerjasama dengan luar negeri. Intinya uang yang diserap untuk dana riset Unhas bisa menyentuh angka Rp 100 milyar dalam setahun.
Itu baru komponen dana riset dan pengabdian masyarakat (PPM).
Bila digabungkan dengan anggaran lainnya seperti dari Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA), dana hibah, dana pembangunan sarana dan prasarana dan diantaranya bantuan operasional perguruan tinggi negeri (BOPTN), Unhas pertahun dipercaya mengelola uang babon hingga di atas Rp 1 triliun. Tahun 2021 lalu mencapai Rp1,09 triliun.
Bila berpikir sederhana: dengan anggaran riset sebesar itu, dan jumlah kontribusi ke masyarakat Unhas di tahun 2020, sudahkah berbanding lurus?
Meski tentu saja mengukurnya tidak bisa per periodik itu, namun relevan bila pertanyaan itu dikaitkan dengan uang rakyat yang digunakan setiap tahunnya. Sebut lah tahun 2020 saja yang besar biaya serapannya.
Untuk konstribusi dalam perbaikan tata kelola pemerintah Sulsel yang tengah hadapi korupsi, misalnya, di mana Unhas berperan?
Di mana para guru besar Unhas yang lantang menyuarakan kritik dan perbaikannya?
Dalam case Covid-19, di mana para ilmuan guru besar Unhas?
Dalam isu korupsi di Sulsel, kemiskinan, pengangguran, perkelahian mahasiswa, banjir dan isu sosial lainnya, dimana menyumbangkan pemikirannya?
Dan masih banyak persoalan lainnya baik yang bersifat lokal maupun nasional.
Di level nasional, guru besar Unhas memang tidak kelihatan sumbangsi pikirannya, seperti dalam soal mundurnya pelaksanaan demokrasi empat tahun terakhir, ekonomi yang jalan di tempat atau stagnan, pertumbuhannya tidak kunjung meroket. Justru yang terus meroket adalah utang luar negeri kita.
Hingga terbuktinya Guru Besar Unhas itu tidak pernah dihitung oleh elit nasional, seperti sebelum-sebelumnya, tidak ada guru besar dari Unhas yang dipake atau diikutkan menyusun naskah akademik UU di negara ini. Bukti terakhir, tidak ada satupun akademisi atau guru besar dari Unhas yang dilibatkan dalam proses pemikiran, perencanaan atau penyusunan naskah akademik UU IKN tentang pemindahan Ibu Kota Negara (IKN) ke Kalimantan yang disahkan DPR RI awal pekan ini.
Alih-alih mendengar berita baik, publik atau masyarakat Sulsel malah disuguhkan dengan pemberitaan guru besar Unhas dari yang jadi pemegang proyek pemerintah daerah, mereka para guru besar itu berebut jadi Kepala Dinas di Pemkot maupun di Pemprov, bangga merangkap jadi Komisaris di BUMN, sibuk berlomba jadi staf ahli Bupati, Walikota, DPRD, dan jadi anggota TGUPP Gubernur. Tak ketinggalan, guru beaar dari berlomba jadi Rektor di PTS, sampe guru besar yang tertangkap KPK.
Padahal dalam Buku Panduan IKU PT terbitan Kementerian Pendidikan, menyebutkan 13 indikator pengabdian ke masyarakat. Antara lain selain hasil risetnya dapat dipakai masyarakat, pemerintah dan kalangan pengusaha, juga para intelektual harusnya aktif dalam komunitas akademik menyuarakan opininya di media baik nasional internasional. Ditambah lagi menuliskan buku; dan aktif mendaftarkan kekayaan intelektualnya (KI).
Cemin
Selain Unhas, PTN di Sulsel sebetulnya ada 11, mulai dari yang berstatus sebagai institut, politeknik, dan universitas.
Belum lagi yang swasta. Artinya bila mau fair pertanyaan yang sama pun dapat dialamatkan ke para intelektual, mulai dari dosen, hingga guru besar di perguruan tinggi lainnya, baik yang PTN maupun swasta.
Namun, tak dapat dipungkiri bahwa Unhas memiliki tempat tersendiri baik dalam konteks representasi lokal maupun di tingkat nasional sebagai magnet Kawasan Timur Indonesia.
Terlebih lagi, Unhas menyebut sebagai kedua terbanyak guru besarnya di Indonesia dan bahkan dengan anggaran riset dan pengabdian yang jumbo.
Karena itu tidak berlebihan bila mempertanyakan Unhas, mempertanyakan kemajuan Sulsel ke depan. Bahkan Indonesia Timur secara keseluruhan. Majunya Sulsel, maju Unhas. Begitupun berlaku sebaliknya.
Bukankah sosiolog Peter L Berger pernah menyebut secara tidak langsung bahwa insitusi sosial, termasuk di dalamnya pendidikan adalah hasil dari proses eksternalisasi sekaligus internalisasi dari masyarakatnya.
Lembaga pendidikan seperti jadi cermin masyarakatnya. Bila cerminnya buram, bagaimana bisa memantulkan gambar yang terang.
Semoga Unhas bukan hanya jadi cermin, tapi jadi juru terang yang sebenarnya. Sesuai amanat Tridharma. Tabe diii.(*)