Negara Baru Tetangga Indonesia Kini Diincar Australia Setelah Kuras Timor Leste, Alam Masih Asli
Bougainville memiliki kekayaan alam yang melimpah. Keindahan alamnya pun juga tak kalah.
Ternyata dahulu lebih dari 60 ribu orang AS berbasis di Bougainville selama Perang Dunia II, serta negara tersebut menjadi tempat bersejarah tewasnya Laksamana Jepang Isoroku Yamamoto dalam kecelakaan pesawat di hutan Bougainville.
"Ekowisata adalah area pertumbuhan yang memungkinkan, tetapi selama dua tahun terakhir ini terhenti," sambung Dr Cintra-Oppermann.
Varian Delta Covid-19 juga masuk dan mewabah di tempat tersebut sehingga saat ini masih terbatas.
Tidak hanya karena Covid-19, penyakit endemi malaria juga harus dibasmi serta masih harus mengembangkan layanan kesehatan dan infrastruktur pariwisata.
Perlu waktu lama juga untuk Bougainville bisa membangun citra lokasi wisata yang baik, hal ini karena negara induknya sendiri tercatat sebagai negara dengan reputasi berbahaya untuk keselamatan pribadi.
Reputasi ini tumbuh karena kejahatan dan kekerasan antara penduduk setempat dan korupsi.
Indeks Persepsi Korupsi 2016 Transparency International menempatkan Papua Nugini urutan ke-142 dari 180 negara.
"Untuk waktu yang sangat lama satu-satunya industri wisata yang layak adalah wisata petualangan skala kecil dan untuk orang-orang dengan uang, karena biaya untuk sampai ke sana dan beraktivitas di sekitar Bougainville sangat tinggi," ungkap Dr Anthony Regan, pakar Papua Nugini di Australian National University.
"Hampir tidak ada akomodasi tingkat turis dalam bentuk apa pun, di luar wisma tamu kecil yang tidak terlalu terawat."
Namun mungkin bukan hanya masalah citra saja yang dihadapi Bougainville untuk merdeka menjadi negara wisata.
Perjuangan referendum 2019
Sejak 2019, Bougainville telah memperjuangkan kemerdekaan dari Papua Nugini, sayangnya Covid-19 menunda perjuangan tersebut.
Hasil referendum memang meyakinkan, tapi Lowy Institute mencatat jika pimpinan Bougainville berhasil dibujuk untuk setuju jika hasil referendum tidak mengikat dan bisa menjadi sasaran ratifikasi oleh parlemen Papua Nugini.
Bahkan Papua Nugini dibantu oleh Australia untuk membujuk dengan licik, yaitu oleh mantan Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer.
Bougainville diberi bujukan jika komunitas internasional akan menekan Papua Nugini agar menghormati referendum.