Opini Tribun Timur
Agresivitas 'Mata Uang' Digital
Siapa yang mengontrol keuangan dunia? pemerintah atau swasta melalui pasar? Kehadiran Bitcoin sebagai mata uang / aset digital
Syamsu Alam
(Kaprodi Bisnis Digital FEB UNM / Ketua Masika ICMI Makassar)
Siapa yang mengontrol keuangan dunia? pemerintah atau swasta melalui pasar? Kehadiran Bitcoin sebagai mata uang / aset digital mendisrupsi sistem keuangan yang selama ini dikuasai oleh otoritas keuangan, seperti Bank Sentral.
Mata uang (currency) merupakan tren mutakhir dalam teknologi keuangan. Binance mengalamai kenaikan 500% selama periode 2018 (1) - 2021 (10).
Kapitaslisasi pasar Cryptocurrency semakin agresif, ini ancaman bagi Bank Sentral. Ke depan ditaksir akan terjadi War Currency antar negara super power.
Perkembangan teknologi digital dan industri keuangan di seluruh dunia mengintegrasikan teknologi dan produk digital.
Di bidang keuangan, salah satu perkembangan mutakhir mata uang digital yang dikenal sebagai Central Bank Digital Currencies (CBDC) yang menawarkan format uang bank sentral yang lebih beragam.
CBDC diatur untuk memiliki implikasi ekonomi dan keuangan yang luas, baik skala lokal maupun Global.
Bank Sentral akan menerbitkan CDBC sebagai respon atas kehadiran Bitcoin sebagai pioner mata uang digital (Digital Currency) versi swasta yang berbasis teknologi Blockchain.
Di Indonesia mungkin disbet, Rupiah Digital’. Teknologi baru ini memungkinkan tidak ada kontrol terpusat.
Dalam bidang keuangan Bank Sentral memiliki kekuasaan penuh mengontrol peredaran uang di suatu negara.
Otoritas tersebut terancam dengan hadirnya teknologi Blockchain ini, yang memungkinkan transaksi antar pihak terjadi tanpa adanya otoritas atau pihak perantara (intermediasi) yang selama ini menjadi inti bisnis Bank Sentral.
Volume dan harga Bitcoin yang meningkat agresif. Peningkatan volume Bitcoin fluktuatif cenderung meningkat.
Peningkatan volume Bitcoin sebesar 1689 % sepanjang periode maret 2018 sampai dengan maret 2021 atau meningkat setara 791,9 triliun rupiah.
Harga Bitcoin meningkat sebesar 526% atau setara 653,8 juta per koinnya. Volume transaksi Bitcoin tertinggi pada Jan 2021 dengan volume sebesar 918 triliun.
Cryptocurrency lainnya juga mengalami peningkatan kapitalisasi pasar.
KEPANIKAN OTORITAS
Jauh sebelum Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan Fatwa tentang Cryptocurrency. Pada tahun 2014, Bank Indonesia (BI) menerbitkan maklumat terkait Bitcoin.
BI melarang penggunaan Bitcoin sebagai alat pembayaran (legal tender) di seluruh wilayah Indonesia.
Pada tahun 2018, Bank Indonesia sudah merazia sejumlah gerai di Bali yang menawarkan pembelian produk menggunakan Bitcoin. Jadi apakah MUI akan melakukan razia?
Bitcoin“it has no value backing" ini seperti paradoks. Karena tidak semua uang yang diterbitkan Bank Komersil yang digunakan sebagai alat transaksi memiliki back-up uang fisik.
Contohnya, Bank Sentral, Federal Reserve AS melaporkan pasokan dolar global mencapai $20 triliun, hanya sekitar $2 triliun dalam bentuk uang fisik tunai.
Selebihnya hanya tercatat dalam catatan elektronik sebagai dollar digital.
Sistem Fractional Reserve Banking (FRB) yang berarti bank hanya perlu menyimpan sedikit bagian dari uang yang didepositokan dan dapat menggunakan sebagian besarnya.
Dapat juga digunakan untuk berspekulasi di aset derivative, saham atau obligasi, atau meminjamkan uang itu untuk kredit bagi nasabahnya.
Nampak fenomena mata uang digital ini seperti medan yang mempertemukan dua entitas besar antara yang pro sentralisasi mata uang dengan yang pro desentralisasi mata uang.
Jason Leibowitz (Profesional Wall Street) mengemukakan bahwa Bitcoin merupakan respons atas kekhawatiran pada bank "terlalu besar untuk gagal."
Bank yang gagal, bisa jadi sebab kehancuran ekonomi secara sistemik. Bitcoin lahir sebagai jawaban atas pertanyaan: "di mana seseorang dapat menyimpan harta jika sistem keuangan gagal?.
‘Kepanikan’ otoritas Moneter tercermin dari gagapnya menghadapi serbuan mata uang/ aset digital yang tumbuh agresif.
HINDARI ATAU ADOPSI
Cryptocurrency ibarat anak yang tidak diharapkan lahir oleh komunitas keuangan internasional yang sudah asik menikmati manfaat atas kontrol keuangan global.
Cerita horor di awal kemunculan Bitcoin, yang memaksa kepolisian Federal AS memeriksa siapapun yang namanya ada Satosi, Nakamoto.
Bitcoin sebagai antitesa dari uang fiat, bukan kali pertama mata uang Bank Sentral menghadapai kritikan.
Ekonomi liberal, khususnya mazhab Austria telah lama mengkritik kompetensi dan keandalan Bank sentral mengendalikan dan mengatur peredaran uang (Hayek, 1990).
Berdasarkan data Statista (2021) jumlah kripto meningkat sangat signifikan.
Secara rata-rata setiap tahun meningkat ribuan persen. Periode 2013 (1) sampai dengan 2021(8) jumlah cryptocurerncy meningkat sebesar 8445 persen, atau setara 5574 kripto.
Kenaikan tertinggi pada bulan Juli 2021, meningkat sebanyak 5978 kripto atau setara dengan 9058 persen.
Penurunan pada bulan agustus 2021, biasanya terjadi karena beberapa Cryptocurrency tidak terdaftar lagi di pasar crypto atau exchanger, atau biasa disebut dengan delisting.
BI belum menjelaskan model desentralisasi bagaimana yang akan diterapkan dalam mengadopsi CDBC, tantangan asrsitektur, model, dan sinkronisasi kelembagaan akan menjadi tantangan yang berat.
Perry Warjiyo (Gubernur BI, 2020) mengemukakan ada tiga tantangan menerbitkan Rupiah Digital. Pertama, mendesain mata uang digital agar dapat diterbitkan, diedarkan, dan dapat dikontrol oleh otoritas negara.
Kedua, mengintegrasikan antara infrastruktur sistem pembayaran dengan pasar keuangan. Ketiga, perkara pemilihan platform digital di mana uang digital akan diterbitkan.
Apakah pilihannya hanya dua, adaptasi atau punah? Tentu tidak. Ada 3 model CBDC, Model Pertama, indirect CBDC di mana tagihan (claim) dilakukan ke perantara (bank komersial), sementara bank sentral hanya melakukan pembayaran ke bank komersial.
Kedua, direct CBDC di mana tagihan dilakukan langsung ke bank sentral. Serta ketiga, hybrid CBDC di mana tagihan dilakukan ke bank sentral, tetapi bank komersial yang melakukan pembayaran.
Model dan desain manakah yang akan diadopsi dalam ‘Rupiah Digital’? Mungkin paradigma yang ditempuh adalah, penyelamatan model eksosistem perbankan, yang selama ‘happy’ dengan sistem kontrol terpusat.
Cryptocurrency hadir dengan tawaran desentralisasi mata uang. Ini bukan konflik terbuka, hanya proses evolusi saja. Nikmatilah agresivitasnya. Wassalam.(*)
Tulisan ini juga diterbitkan pada harian Tribun Timur edisi, Rabu (01/12/2021).