Tulehu Negeri Sepak Bola
Di Tulehu Negeri Sepak Bola, Bayi 7 Hari Diakikah dengan Rumput Lapangan Bola
Namun di gugus pulau Maluku, Indonesia, ada kampung pesisir kecil dan terpencil bernama Tulehu. Secara konsisten dalam 50 tahun terakhir, negeri
Penulis: Thamzil Thahir | Editor: Edi Sumardi
Laporan jurnalis Tribun-Timur.com, Thamzil Thahir
AMBON, TRIBUN-TIMUR.COM - Banyak kampung kecil dan terpencil melahirkan pemain bola hebat, terkenal, dan bergaji besar.
Kampung-kampung di bantaran sungai Amazon di Brazil, seperti Crete, Catalao, Rio Negro, hingga kampung urban di Rio de Jenario, hanya sekian contoh.
Namun di gugus pulau Maluku, Indonesia, ada kampung pesisir kecil dan terpencil bernama Tulehu.
Secara konsisten dalam 50 tahun terakhir, negeri atau kampung ini secara konsisten menyumbang pesepak bola kualifikasi regional, nasional, bahkan internasional.
Data terbaru awal November 2021 ini, tiga pemuda kampung Tulehu, dipanggil bergabung bersama 33 pemain Timnas PSSI U-18 di TC Ragunan, Jakarta mulai 8-11 November mendatang.
Tiga pemuda Tulehu itu adalah Ahmad Jaid Kotta (Tulehu Putra senior), Viandri Titaheluw (Maluku FC), dan Subri Umarella (Deltras Sidoarjo).
Mereka dipanggil merujuk surat resmi Nomor 5874/PGD/578/XI-2021.
Ya, Tulehu sepertinya memang ditakdirkan jadi negeri sepak bola.
Kampung pesisir dengan kontur bukit berbatu ini berjarak 23 km sebelah timur Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.
Kampung Sepak Bola bukan julukan biasa.
Nama itu resmi disematkan Ketua Umum PSSI, Prof Dr Ir H Djohar Arifin Husin (2011-2015) pada 18 Februari 2015 lalu.
Dari 81.616 desa/kampung di 515 kabupaten pada 34 provinsi di Indonesia, hanya Tulehu-lah yang mendapat julukan Kampung Sepak Bola.
Secara kultur dan bahasa, warga Tulehu juga berbeda dengan daerah sekitarnya.
Sejak abad ke-16, Tulehu adalah salah satu daerah persinggahan pelayaran jalur rempah teramai di Maluku.
Pendagang dan pelayar dari Buton, Baubau, Ternate, Bugis, dan daerah lain Nusantara juga membaur sejak 200 tahun lalu.
Secara administratif Tulehu ini tanggung.
Tulehu adalah ibu kota Kecamatan Salahutu, 1 dari 18 kecamatan di Kabupaten Maluku Tengah.
Ibu Kota Maluku Tengah ada di Masohi, Pulau Seram, sekitar 5,8 jam perjalanan laut dari Tulehu.
Sekitar 2,1 km dari kampung Tulehu juga terdapat industri PLTGM terbesar di Maluku dan Ambon.
Relatif banyaknya jumlah penduduk Tulehu dan Kecamatan Salahutu juga menjadi salah satu wilayah urban penyangga Kota Ambon, kota otonom sekaligus ibukota Provinsi Maluku.
Dari tiga daerah penyangga (atau satelite urban area), Tulehu paling strategis sebab di sekitarnya akan dibangun Ambon New Port dan Lumbung Ikan Nasional (LIN) di Liang dan Waai.
Di utara Kota Ambon ada Kecamatan Leihitu dan di sebelah barat Kecamatan Leihitu Barat.
Tulehu berada di Pulau Ambon, tepatnya di timur kaki Gunung Salahutu (1.039 mdpl), jazirah timur Pulau Ambon.
Luas wilayah adimistratifnya 2,3 Km2.
Penduduknya 22,107 jiwa di awal 2020 lalu.
Tingginya pertumbuhan penduduk sebab di Tulehu ada pelabuhan penyeberangan ke tiga kabupaten di Pulau Seram (Maluku Tengah, Serab Bagian Barat dan Seram Bagian Timur).
Seluas Gelora
Luas wilayah Tulehu ini setara dengan Kelurahan Gelora (2,59 Km2) salah satu kelurahan terbesar di wilayah Kecamatan Tanah Abang, Jakarta Pusat.
Dari delapan negeri di kaki Gunung Tertinggi di Pulau Ambon, Tulehu adalah negeri/desa adat dengan penduduk terbanyak dan terpadat.
Di sekitar Tulehu ada tujuh negeri lain adat lain, Liang, Waai, Tial, Suli, Mamala, Morella dan Passo.
Dengan penduduk 22 ribu per 2019 lalu, Tulehu tercatat sebagai Negeri penduduk terbanyak dan terpadat di Kecamatan Salahutu.
Jumlah total penduduknya setara gabungan tiga negeri tetangganya; Suli (11.682 jiwa) dan Tial (2.901 jiwa); dan Tengah-Tengah (2.531 jiwa). Dua kampung tetangganya Liang (8.319 jiwa) dan Waai (7.407 jiwa).
Di desa pesisir antara Selat Haruku, Pulau Saparua dan Pulau Seram di Maluku Tengah ini, kaki dan bola adalah hidup hingga mati.
Soal mata pencaharian masyarakat, hampir 40 persen sebagai petani.
Sisanya 21 pedagang, 7 persen nelayan, 15 persen sebagai buruh, 10 persen pegawai, dan 8 persen lain-lain.
Dekat tempat pelatihan tentara
Tulehu relatif aman sebab hanya berjarak kurang 1 Km dari pusat resimen pendidikan TNI yang dikelola Kodam XVI/Pattimura.
“Perantau sukses Tulehu itu menyebar sejak sebelum kemerdekaan di Surabaya, Makassar, dan Jakarta.”
Keanekaragaman dan semangat budaya terbuka inilah, yang juga membuat Tulehu jadi inspirasi novel dan film ternama dari Maluku, setelah kota Ambon dan Buru.
Tahun 2014 lalu, wartawan Zen Rahmat Sugito menulis novel 300 halaman, Jalan Lain ke Tulehu. Ini berkisah sisi lain konflik berdarah berbau SARA di Maluku dan Ambon akhir dekade 1990 dan awal 2000-an lalu.
Tulehu juga jadi inspirasi film adaptasi Cahaya dari Timur: Beta Maluku (2014) karya Angga Sasongko.
Film ini secara spesifik bercerita kisah sukses pemain sepak bola asal Tulehu.
Warga Tulehu seperti kampung hantu tak berpenghuni jika ada laga bola level nasional dan internasional.
Semuanya asik di dalam rumah atau kedai kopi.
“Baru selama pandemi ini, anak muda nonton live streaming lewat HP,” kata Amin (47), warga Dusun Pahlawan, Desa Tulehu, Jumat (5/11/2021) lalu.
Jika ingin menyaksikan gairah sepak bola di Tulehu, datanglah selepas shalat ashar.
Beberapa garis pantai pasir putih di Tulehu akan penuh dengan pemain sepak bola muda.
Sehabis shalat ashar, orangtua, kakek dan kakak akan membonceng anak usia SD dan SMP ke lapangan kampung, Matawaru.
Saat Tribun-Timur.com bertandang ke lapangan itu, legenda Persebaya Surabaya era 1990 dan 2000-an, Rachel Tuasalamony, sedang memimpin laga eksebisi usia 13-15 tahun.
Laga itu mempertemukan PS Tulehu Putra junior dengan PS Mandiri Liang, team junior dari kampung tetangga.
Rachel mengaku merasa lebih hidup jika mendengar anak asuhannya dibidik klub level kabupaten, provinsi, dan klub profesional liga II dan Liga I Indonesia.
“Kalau kita mau hiburan yang ke pinggir lapangan ini,” kata Aminah (38), pemilik kedai kopi di sebelah barat kuburan dan lapangan Matawaru.
Tulehu sepertinya ditakdirkan jadi negeri bola kaki.
Di desa pesisir antara Selat Haruku, Saparua dan Pulau Seram, Maluku Tengah ini, kaki dan bola adalah hidup hingga mati.
Anak lelaki di usia tujuh hari, langsung injak rumput kuda.
Itu akikah ala Negeri Sepak Bola.
Hajatannya usai ritual potong ujung rambut.
Rumput padat dari lapagan dicuci bersih. Air dari kepala air Wailatu. Rumput masuk baskom.
Saat kedua kaki balita direndam, ritual tua itu rampung.
"Kata nenek-nenek kami, rumput kuda itu tak ada matinya, dan bisa tumbuh di mana saja,” kata Syam Tuasalamony, kepada Tribun-Timur.com, Jumat (5/11/2021).
Warganya dimakamkan hanya 5 meter dari lapangan sepak bola.
Kematian (laiknya) dan kehidupan di Selat Haruku dan Saparua ini mereka persiapkan.
Semua untuk kehormatan dan sepakbola.
Hidangan makan malam hajat rakyatnya adalah Morea (Muraenidae C).
Ini belut raksasa licin khas muara Gunung Salahutu.
Tulehu adalah salah satu habitat belut air payau.
Lahir di laut, cari mangsa di anak sungai.
Kolam Morea di kepala air sungai jernih Tulehu adalah obyek wisata penghasil ‘devisa desa’.
Saban akhir pekan, ratusan pendatang dari Ambon bergembira di sini.(*)