Tribun Maros
Ramai di Sosmed Soal Aturan Berpakaian ASN Maros Akan Dicabut, Begini Penjelasan Ketua Pansus
Untuk tahap kedua ini, Pemda mengusulkan 29 Perda, termasuk di dalamnya Perda busana muslim.
Penulis: Nurul Hidayah | Editor: Hasriyani Latif
TRIBUNMAROS.COM, MAROS - Meski masih dalam tahap konsultasi, rencana pencabutan Perda no 16 tahun 2005 tentang busana muslim di Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan sudah mulai menuai polemik di sosial media.
Sejumlah tokoh agama bereaksi keras terhadap rencana pencabutan Perda tersebut.
Perda tersebut diakui oleh Kabag Hukum Sekda Maros, Sulastri masih dalam proses konsultasi di DPRD Maros.
Menurutnya belum ada keputusan yang pasti mengenai Perda tersebut, apakah akan diganti atau dicabut.
"Ini masih dalam tahap konsultasi, tapi di sosmed sudah ramai, padahal kan belum pasti apakah akan diganti atau dicabut," ujarnya.
Diakuinya isu ini memang sangat sensitif sehingga butuh kajian yang panjang dalam prosesnya.
Sulatri menambahkan, pihaknya memang sudah mengajukan usulan pencabutan sejumlah Perda yang ada di Maros.
Untuk tahap kedua ini, Pemda mengusulkan 29 Perda, termasuk di dalamnya Perda busana muslim.
"Kenapa diusulkan dicabut, karena sudah ada aturan yang lebih diatas, yang mengatur hal tersebut. Sehingga Perdanya kita cabut, di tahap pertama sudah ada 55 Perda yang sudah kita cabut bersama DPRD," terangnya.
Begitupun aturan berbusana muslim bagi ASN, itu sudah diatur oleh Kemendagri sehingga harus dicabut atau diperbarui.
"Bisa saja dicabut dulu, baru kemudian diganti dengan Perda yang baru. Karena sudah diatur lebih spesifik, supaya tidak tumpang tindih," ujarnya.
Sementara itu Anggota DPRD Kabupaten Maros yang juga merupakan Ketua Pansus Pencabutan Perda, Muhammad Rahmat Hidayat menyatakan pihaknya telah melakukan konsultasi kepada Mendagri rencana pencabutan tersebut.
"Alasan mereka (Kemendagri), Perda ini terlalu diskriminatif karena mengatur soal busana, sehingga diminta untuk dicabut," katanya.
Rahmat menjelaskan, dalam Perda tersebut juga mengatur mengenai aturan berbusana anak sekolah mulai dari SD hingga SMA.
Padahal, pemerintah daerah sudah tidak punya kewenangan mengatur SMA.